21. Curi Pandang Terus, Tany
***
Tany terbangun tepat setengah jam sebelum bus mereka sampai di terminal. Seperti beruang kutub yang bertemu bantal kesayangan, Tany menghabiskan tiga jam lebih untuk tidur di sisa sepanjang.
"Tan, bangun ihh. Bentar lagi mau sampai terminal. Kita sudah mau masuk Surabaya nih," ujar Naya menepuk paha Tany pelan.
"Uhm." Tany masih memejamkan mata. Ia merasa lemas dan dehidrasi luar biasa. Sepasang telinganya juga sedikit berdengung karena Tany ketiduran untuk waktu yang cukup lama.
"Sudah sampai mana nih, Nay?" Tany memindahkan kepala dan bersandar pada bahu sahabatnya. Mengapit lengan Naya dalam pelukan dan menolak membuka mata.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul lima sore saat Tany mengintip melalui smartwatch yang baru dibelinya beberapa bulan lalu. Tany akhirnya mengerjapkan sepasang maniknya dan mendapat pemandangan jalan tol melalui kaca besar bus.
"Nggak haus?" Naya memiliki inisiatif mengambil botol air mineral dan menyodorkan pada Tany.
"Makasi, Sayang." Tany menjawab mesra, "Kamu so sweet banget, aku 'kan makin cinta."
"Terakhir kali ngomong sama gue bukan itu kalimatnya," sindir Naya yang mengungkit percakapan mereka tepat sebelum Tany tertidur pulas dan bersandar seperti boneka mungil di pinggir jendela.
Tany mengerutkan dahi, "Aku udah lupa tuh, Sayang. Kan baru bangun bobo, jadi memorinya ada yang kehapus."
"Alhamdulillah kalau sudah lupa marah sama gue," ujar Naya seraya tersenyum simpul. Ibu jarinya lalu dengan jahil menunjuk ke sebelah kiri, "Nah, kalau sama tetangga gue, gimana?"
Kedua kepala perempuan saling bersahabat itu secara tidak sadar lalu memperhatikan Banyu yang sedang mengerutkan kening seraya mengetik sesuatu pada tablet di hadapannya serta disertai airpods di sepasang telingannya.
Tany mengerucutkan bibir seraya berbisik pada Naya, "Nggak tahu ah, suruh ke laut aja. Lama-lama kok lo jadi antek Banyu sih bukan jadi sahabat gue, Nay?"
Naya menarik nafas, "Mulai bete-bete lagi, mulai ngeselin lagi. Lagian lo kenapa sih pake acara ngamuk segala tadi? Memang sekarang nggak lapar apa?"
Tany mengangkat bahu, "Nggak tahu, Nay. Pokoknya tadi gue di warung makan rest area kesel banget sama Banyu. Lo pengen tahu nggak masalahnya apa?"
Naya menggeleng. "Nggak, makasih. Lo cerita sama gue juga nggak bikin hubungan kalian ujug-ujug baik 'kan? Gue yakin lo berdua bisa menuntaskan -apa-pun-yang-sekarang-sedang-terjadi-disini. Sendirian." Naya bahkan menggunakan jari untuk menunjuk antara Tany dan Banyu bergantian.
"Thanks, Nay. Lo memang pengertian," ujar Tany sedikit lega karena sahabatnya tidak bersikap kepo atau memiliki rasa ingin tahu berlebihan. Dengan pertambahan usia ada beberapa hal yang menurut Tany perlu diceritakan dan ada yang sebaiknya disimpan sendiri.
"Sama-sama, Tan." Naya mengambil ponsel dan kembali membuka aplikasi Airbnb lagi. "Rencana kita itu langsung on the way Sidoarjo buat menyusul rombongan Kyra atau gimana sih?"
Tany menggeleng. "Gue nggak tahu."
"Lah terus? Kita mau menginap lagi di Surabaya maksud lo?" Naya terkejut karena ternyata sahabatnya tidak memiliki rencana lengkap tentang perjalanan liburan mereka. Padahal sepanjang perjalanan, Naya beranggapan Tany sudah menyiapkan segala hal termasuk rute yang akan dilalui oleh mereka.
"Sidoarjo itu sebetulnya meeting point sih, Nay. Jadi, misal gini lo berangkat dari Bandung ntar bisa ketemunya di Sidoarjo. Atau lo juga menyeberang dari Banyuwangi terus ketemu teman-teman lain juga di Sidoarjo. Nah, nanti dari sana kita naik elf bareng-bareng ke Baluran. Lusa baru ada kegiatan hiking dan camping di pinggir Pantai."
Naya memperhatikan penjelasan Tany, "Kalau gitu ntar malam kita tidur dimana, Tany?"
Tany mengangkat bahu, "Gue juga bingung. Meeting point nya itu sebenarnya besok tapi karena gue ngikutin jadwal Kyra jadi ya gue nggak yakin lebih baik kita bermalam di Surabaya atau lanjut terus ke Sidoarjo sekalian baru ntar cari penginapan di sana."
"Rencana awalnya gimana sih, Tany?" Naya mulai sedikit kesal karena ia harus menghadapi situasi yang tidak pasti.
"Gue, lo, Obie dan Rengga 'kan seharusnya naik kereta tuh dari Gambir. Kita sampai di Surabaya terus nanti ketemuan sama Kyra di Surabaya. Baru setelahnya kita berangkat bareng ke Sidoarjo gitu, Nay." Tany menjelaskan tanpa rasa bersalah.
"Terus sekarang lo nggak tahu kita mau menginap dimana?"
Tany menggeleng.
"Coba lo periksa posisi di Rengga dari story, itu cowok sudah sampai mana?" Naya bertanya pada Tany.
"Aduh, males gue."
"Lah?" Naya gemas sendiri tapi paham juga bagaimana perasaan dongkol dan kesal untuk bertemu dengan Rengga yang hampir menggagahi dirinya di apartemen yang mereka sewa kemarin malam.
"Gue belum siap ketemu Rengga hari ini, Nay. Kebayang nggak sih lo gue harus ini-itu menjelaskan pada Kyra kejadian yang terjadi semalam?" Tany memandang sahabatnya.
"Tapi mau nggak mau lo harus ketemu sama si Norak Rengga. Persoalannya, dompet lo ketinggalan di mobil dia juga 'kan," ujar Naya tenang.
"Nah, gue lebih memilih ketemu mereka di area yang lebih publik. Males gue basa-basi. Kalau lebih banyak orang di sekitar, Rengga 'kan nggak mungkin macam-macam lagi sama gue. Ngerti nggak sih lo, Nay?"
"Paham gue tapi ...." Kalimat Naya tergantung karena ponselnya mendadak berdering. Nama di layar ponsel memperlihatkan nama kekasihnya, 'Beruangnya Naya'.
"Tuh pacar lo, Nay." Tany mendadak ingin tertawa jika melihat label nama yang diberikan Naya pada kekasihnya di ponsel.
"Iya tahu. Bentar ya, gue angkat dulu." Naya menekan tombol jawab untuk menjawab panggilan telepon dengan kekasihnya.
"Halo, Papa Beruang." Naya menyapa kekasihnya dengan manis. Tany bergidik dengan kelakuan Naya. Sepengetahuan Tany, sahabatnya tidak pernah sebucin ini saat menjalin hubungan romansa dengan lawan jenis selain Obie.
Meski baru setahun tapi Obie memang menunjukkan keseriusannya pada Naya. Apalagi di umur-umur mereka saat ini yang selalu rawan ditanya kapan menikah, maka memiliki kekasih dengan satu visi dan misi seperti Obie dan Naya merupakan nilai plus tersendiri dalam sebuah hubungan yang dewasa.
Tany mencuri pandang pada Banyu yang masih sibuk mengetik sesuatu di ponsel dan tablet. Dalam hati, Tany penasaran apa yang sedang dilakukan mantan kekasihnya di perjalanan liburan mereka. Kerut-kerut di dahi Banyu menandakan sesuatu yang jelas tidak berhubungan dengan urusan keluarga atau bahkan persoalan menggantung di antara mereka berdua.
"Apa kata Obie, Nay?" Tany melirik sahabatnya yang baru menutup pembicaraan bersama kekasihnya.
"Nggak tahu, aneh banget deh. Obie nanya-nanya terus kapan gue sampai di terminal. Lah, apa juga hubungannya sama dia? Dia kan masih di Batam, mana bisa nyusul gue kesini. Iya nggak sih, Tan?"
Tany kembali mengangkat bahu, "Kalau itu gue nggak bisa jawab ya. Pacar lo penuh kejutan sih. Coba anniversary ke berapa dia menyewa dua lusin dancer anak kpop buat bikin flash mob dance?"
Naya dan Tany mendadak tertawa-tawa bersama. Pasalnya, Obie memang melakukan kejutan-kejutan random yang selalu disiapkannya untuk Naya.
"Pacar lo memang random 'kan, Nay?"
Naya mengusap air mata setitik yang muncul karena tertawa-tawa bersama Tany saat mengingat kelakuan kekasihnya yang unik. "Yah, masih untung ada yang mau sama dia, Tan. Obie memang agak-agak ajaib sih tapi gue sayang banget soalnya, gimana dong?"
"Lah, bagus 'kan sama-sama sayang. Sama-sama jelas mau ngapain meski rintangan sudah menunggu lo di depan mata ... Tuhan memang satu kita yang tak samaaaa," dendang Tany menyanyikan satu baris lirik lagu untuk menggoda persoalan besar yang menjadi penghalang bagi hubungan Naya dan kekasihnya.
"Jangan gengges deh lo, Tany." Naya terdengar miris tapi akhirnya ikut menertawakan persoalan cintanya sendiri.
"Jujur ya, gue iri sih sama lo berdua. Temboknya tinggi, hambatannya berlapis tapi lo berdua jalan-jalan aja tuh. Nggak kayak gue sama tetangga lo," cibir Tany sembari melirik Banyu dan berharap airpods menunaikan tugasnya dengan baik sehingga telinga Banyu tidak akan mendengar ucapan mereka.
"Oh, jadi sebenarnya lo masih mau balikan sama tetangga?" Naya berkata jahil agak volume agak keras agar Banyu mendengar gurauan yang dikeluarkan olehnya.
Tany melotot sambil mencubit kecil paha sahabatnya, "Naya jahat! Ntar kedengaran sama Banyu, awas ya!"
Sesaat kemudian, Banyu menghentikan kesibukan dari ponsel dan menoleh ke samping. Tindakannya membuat sepasang maniknya beradu pandang dengan milik Tany.***
Add this book to your library! Love and Vote!
[Halo-halo, siapa yang punya sahabat iseng seperti Naya? Sebenarnya Naya juga nggak berharap banyak Tany dan Banyu jadian lagi. Lagian sahabat mana sih yang tega sahabatnya digantungin tanpa diseriusin. Kebayang nggak sih kalau jadi Tany? Enam tahun bukan waktu yang singkat dan satu tahun juga bukan waktu yang cukup panjang untuk menghapus semua memori. Penasaran?]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro