20. Tugas Negara Dadakan
***
Banyu masih terpaku memandang manik mantan kekasihnya yang baru saja menanyakan pertanyaan yang cukup menohok ulu hatinya sendiri, 'Kalau hubungan kita memang nggak serius, kenapa kamu nggak ngelepas aku aja?'
Tidak sempat menjawab pertanyaan dari Tany. Naya sudah berdiri di sisi pintu masuk bus yang akan membawa mereka menuju terminal bus di Surabaya. Sahabat Tany itu melambaikan tangan dengan semangat.
Banyu tidak memiliki waktu untuk menjawab pertanyaan mantan kekasihnya. Ia lalu melihat Tany bangkit dari kursi untuk melepas colokan listrik pengisi daya ponselnya. Lalu melewati Banyu begitu saja seolah ia hanya tembok penghalang yang harus dihindari. Lama-lama Banyu memang merasa seperti tembok penghalang untuk Tany dan tujuan liburan miliknya kali ini.
Tidak memiliki banyak pilihan, Banyu mengekor Tany menuju bus. Banyu menyadari bahwa Tany meninggalkan bungkusan nasi goreng yang dipesan Naya untuk sahabatnya. Dengan seribu langkah, Banyu kembali ke tempat Tany duduk dan mengambil bungkusan nasi yang ketinggalan.
Mau tertawa tidak lucu tapi begitulah keadaannya. Kadang amarah dan jengkel memang membuat perut kenyang oleh ego. Sama seperti yang dilakukan Tany, mantan kekasih Banyu itu bukan tipe perempuan yang gampang kenyang. Tapi jika ada sesuatu yang mengganjal pikiran, makanan menjadi nomor sekian bagi Tany karena perempuan itu akan sibuk sendiri dengan pikirannya.
***
Beberapa saat kemudian di bus ...
Naya memandang Banyu yang tergopoh-gopoh setengah berlari dengan bungkusan nasi goreng yang dibelikan untuk Tany.
"Nih, nasi goreng kamu ketinggalan. Kamu tuh kebiasaan kalau marah selalu lupa dengan situasi sekitar," ujar Banyu pada Tany sembari menyodorkan bungkus nasi goreng.
Tany mendongak dan memandang bungkusan yang hendak diserahkan Banyu. Ia lalu bercakap dengan bungkusan yang memang sejajar dengan pandangannya, "Aku nggak lapar. Berikan saja pada kenek bus."
"Nasi goreng ini bukan dari aku, Tan. Melainkan dari Naya yang pesankan untuk kamu," ucap Banyu tanpa emosi. Ia sendiri seolah sengaja membangun kembali tembok antara dirinya dengan Tany. Bahkan dalam lubuk hati paling dalam Banyu menyadari kesalahannya yang telah mengacaukan liburan mantan kekasihnya ke Baluran.
Tany meraih nasi goreng yang masih disodorkan Banyu lalu berdiri dari bangku. Tangan Tany mendorong pintu akrilik bening yang menjadi penyekat antara ruang pengemudi dan ruang penumpang. Merealisasi apa yang baru disampaikan pada Banyu, Tany menyerahkan bungkusan nasi goreng pada kenek bus yang berada di samping pengemudi.
Banyu melihat awalnya kenek menolak pemberian Tany tapi tidak tahu apa yang sedang disampaikan perempuan itu. Akhirnya kenek bus mau juga menerima bungkusan nasi goreng yang seharusnya menjadi makan siang Tany.
Naya hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan jual mahal sahabatnya sendiri.
***
Banyu masih mencuri pandang pada Tany yang kini duduk di samping jendela. Setelah merengek sedikit pada Naya untuk bertukar kursi, posisi Tany dan Banyu kini terpisah oleh Naya yang berada di tengah keduanya.
Saat Tany menyandarkan sisi kepala di jendela dan menutup tirai agar tidak silau sambil memejamkan mata, Naya memandang Banyu dan mengucap B-E-G-O tanpa suara. Banyu sebetulnya ingin tertawa dengan kelakuan kekanak-kanakan Naya yang meledeknya. Tapi sahabat Tany itu benar juga, bukannya memperbaiki hubungan Banyu justru memperkeruh situasi antara dia dengan mantan kekasihnya.
Ponsel Banyu berdering. Logikanya ragu untuk mengangkat panggilan telepon itu setelah melihat nama yang tertera di layar ponsel. Mas Bakti. Atasan Banyu langsung di kantor.
Firasat Banyu berkata tidak enak. Jika Mas Bakti sampai menghubunginya di masa-masa cuti seperti ini artinya ada situasi darurat di kantor. Banyu menghela nafas dan menekan mode silent.
Ponsel memang berhenti berdering tapi nada lain menunjukkan bahwa Banyu baru saja menerima pesan singkat di aplikasi WhatsApp dan kotak surat elektroniknya. Tanpa membuka aplikasi, Banyu tahu siapa di balik sederet pesan yang mengetuk notifikasi ponselnya dalam sepuluh menit terakhir.
"Sibuk banget, Mas? Liburan gini juga," ujar Naya mengintip dari samping bangku. Namun tidak lama kembali mengetik sesuatu pada ponselnya sendiri.
"Nggak punya kerjaan selain merhatiin gue?" Banyu lupa menekan mode silent untuk semua notifikasi ponsel yang sedang digenggamnya.
"Galak banget sih. Kekenyangan makan soto?" Naya menyindir Banyu yang membuat sahabatnya tidak jadi makan siang karena keburu kenyang oleh gengsi.
Deringan memang berhenti tapi mode getar kini cukup mengganggu Banyu. Ia tidak memiliki pilihan selain mengangkat panggilan telepon dari Mas Bakti.
"Halo, selamat siang, Mas Bakti." Banyu berdehem dan mengatur suaranya agar tidak mencurigakan. Banyu menyadari kepanikan selama lima belas menit terakhir karena ia berusaha mengenyahkan gangguan atasan pada perjalanan liburannya setelah enam bulan bekerja tanpa mengajukan jatah cuti.
"Banyu, lo dimana sih? Susah amat dihubungi," papar Mas Bakti tanpa menjawab sapaan selamat siang sebagai bagian dari basa-basi. "Lo, nggak kemana-mana 'kan? Ada di Jakarta?"
Banyu agak sedikit lega karena jika ia berada jauh dari ibukota, Mas Bakti tidak akan bisa menyuruhnya langsung putar balik pulang. "Kebetulan saya sedang dalam perjalanan, Mas. Mau ke Sidoarjo."
"Wah, pas banget nih." Mas Bakti menyahut dengan lega, "Lo sudah cek email yang tadi gue kirim. Periksa dulu ya, sepuluh menit lagi gue telepon."
Tepat seperti dugaan Banyu. Intuisinya tidak meleset, Mas Bakti pasti memiliki rencana untuk melimpahkan beberapa tugas di luar jam kerjanya. Tidak banyak berpikir, Banyu membaca kiriman surat elektronik yang dikirim Mas Bakti.
Pengirim: [email protected]
Subyek: Pelabuhan Surabaya. [Urgent]
Penerima: [email protected]
Banyu memperhatikan isi surat elektronik yang dikirim Mas Bakti. Jelas beberapa lampiran yang ada disertakan dalam badan email menitahkan agar Banyu mengambil alih tugas yang seharusnya dilakukan oleh teman kerjanya yang lain.
Ponsel Banyu kembali berdering. Ia tidak memiliki tempat bersembunyi atau menghindari dari Mas Bakti meski mereka terpisah hampir 650 kilometer.
Dengan enggan Banyu kembali menjawab panggilan Mas Bakti, "Ya, Mas."
"Banyu, lo udah baca?"
"Sudah, Mas. Kalau nggak salah ini kerjaan Ario."
"Nah itu masalahnya, Banyu. Ario mendadak nggak bisa berangkat ke Surabaya karena istrinya kritis setelah operasi caesar. Gue nggak bisa maksa."
"Terus, Mas?" Banyu masih merespon pernyataan atasannya dengan pertanyaan terbuka. Meski dalam hati ia juga ingin berteriak, 'Terus kalau Ario nggak bisa, harus gue gitu yang berangkat, Mas? Mentang-mentang gue belum berkeluarga dan seolah available setiap saat dan setiap waktu.'
"Gue tahu, ini adalah cuti terpanjang yang lo ambil dalam enam bulan terakhir. Tapi, lo bisa bantu 'kan gantiin tugas Ario dulu buat periksa kapal di Pelabuhan Surabaya. Perhitungan upah lembur hari libur, lo udah paham 'kan ya. Libur cuti lo juga boleh diperpanjang satu-dua hari khusus kompensasi dari gue."
"Tapi, Mas Bakti. Saya sepertinya tidak bisa menggantikan tugas Ario ke Pelabuhan Surabaya."
"Kamu 'kan kebetulan ada di Timur, Banyu. Apa susahnya menyimpang sebentar, periksa, lalu tulis laporan singkat, kirim ke kantor?" Mas Bakti bersikeras agar Banyu menggantikan tugas Ario.
"Masalahnya saya sedang dalam perjalanan yang tidak memungkinkan menuju ke Pelabuhan Surabaya untuk menggantikan tugas Ario," sahut Banyu dan berharap agar atasannya paham bahwa ia sedang dalam masa cuti.
"Apa ada anggota keluarga yang sekarat di sekitar kamu, Banyu?"
Banyu menggeleng meski atasannya tidak bisa melihat tindakan Banyu, "Alhamdulillah, tidak ada, Mas."
"Apa kamu sekarang berada di wilayah Timur?"
Banyu sudah mati kutu menjawab pertanyaan Mas Bakti. "Ya, Mas."
"Bukannya kamu menuju Baluran?"
Banyu tidak merespon pertanyaan terakhir Mas Bakti.
"Klien kita yang ini termasuk VVIP, Banyu. Saya tidak mau mengecewakan klien dengan jasa kita yang lambat dan tidak responsif. Saya harap kamu bisa bijak mempertimbangkan tugas dadakan ini."
"Ya, Mas." Banyu berkata lemah.
"Satu lagi, Banyu. Saya mau ingatkan perjuangan kamu mendapat tangga promosi itu tidak mudah loh. Kamu masih punya dua bulan untuk membuktikan bahwa kamu memang layak berada di posisi ini. Jangan kecewakan saya yang sudah merekomendasikan kamu," ujar Mas Bakti menagih hutang budi Banyu.
Banyu mengakhiri percakapannya dengan Mas Bakti. Memandang layar dan memperhatikan lampiran yang dikirim Mas Bakti melalui surat elektronik. Sepasang manik Banyu menerawang ke depan. Perjalanan mereka menuju Surabaya mungkin masih tiga-empat jam perjalanan darat.
Banyu kini bimbang apa ia menggantikan tugas Ario ke Pelabuhan Surabaya dan meninggalkan Tany serta Naya yang akan melanjutkan ke Baluran atau ia tetap pergi menemani keduanya yang akan berdampak pada pekerjaannya di masa depan? Banyu bingung.***
Add this book to your library! Love and Vote!
[Halo-halo, ada yang pernah mengalami kebimbangan seperti Banyu? Lagi cuti mendadak atasan menghubungi dan melimpahkan tugas diluar jam kerja yang diiringi dengan ancaman manis. Ada yang bisa kasih saran untuk Banyu. Sharing yuks! Ikuti terus perjalanan mereka ya. Terima kasih, lovely readers.]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro