Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Uang Panas

***

Tany mengikuti Naya yang sudah kabur duluan ke kamar kecil. Banyu mengekor langkahnya dari belakang. Tany masuk ke salah satu rumah makan kecil yang berada di parkiran rest area. Dengan menenteng kabel pengisi daya ponsel, matanya dengan awas mencari-cari sumber daya.

Aha! Tany menemukan satu meja makan yang kebetulan berdekatan dengan colokan listrik. Langkahnya bergegas ke meja yang dimaksud. Banyu masih mengikuti dari belakang seraya memanggil pelayan yang sigap membawakan menu ke meja yang mereka tuju.

"Tiga orang, Mas." Banyu berkata pada pelayan yang sudah meletakkan buku menu dan nota polos yang dapat diisi pengunjung untuk mencatat pesanannya.

"Silakan, Mas." Pelayan berlalu dan mengambil pesanan lain.

"Kamu mau makan siang nggak?" Banyu memperhatikan daftar menu dan membacakan beberapa menu yang familiar untuk di telinga mantan kekasihnya.

"Pesan yang cepat saja, Ay ... eh ... aku mau makan ... uhm ... soto daging bening atau soto ayam saja deh," ujar Tany sedikit kikuk karena hampir keceplosan sendiri.

Banyu hampir saja menggoda Tany kembali tapi niatnya diurungkan karena ia tidak ingin suasana baik yang sudah hadir di antara mereka harus buyar kembali karena tindakan norak Banyu.

"Nasinya satu atau setengah?" Banyu bertanya seraya mencatat cepat pesanan Tany. "Kamu mau minum apa sekalian? Es jeruk? Biasanya kalau sudah makan kuah yang pedas-pedas nanti kamu panik cari yang segar," kata Banyu sembari menatap manik Tany.

"Terserah kamu aja deh," jawab Tany. "Duh, tapi kayaknya aku nggak bisa bayar pakai QRIS nih. Tuh lihat warungnya sederhana banget."

Banyu mengangkat sepasang alisnya, "Kan ada aku, Tan. Nanti aku bayarin dulu ya."

Tany mengangguk pendek. Dompet yang berisi uang tunai miliknya ketinggalan di mobil Rengga. Sontak Tany hanya bisa bertahan dengan akses uang digital yang dimilikinya melalui ponsel.

Persoalan ketinggalan uang tunai mungkin tidak akan menjadi masalah jika Tany sedang berada di Jakarta, Bandung atau beberapa kota besar lain. Namun, ketinggalan uang tunai di daerah pinggiran Jawa seperti ini tentu membuat dirinya harus memutar otak.

"Kamu royal banget deh. Promosinya jadi tahun ini?" Tany menanyakan hal lain tentang sisi lain pekerjaan Banyu. Selama dua tahun terakhir sebelum mereka putus, Banyu memang memacu dirinya agar bekerja lebih giat dari sebelumnya. Tuntutan dan beban sebagai anak sulung menjadikannya tulang punggung keluarga untuk ibu yang sedang berobat bolak-balik rumah sakit dan sepasang adik kembar yang akan kuliah.

Banyu mengangguk, "Baru dua bulan sih berjalan. Aku nggak nyangka load kerjanya gila. Jujur ya, ini saja cuti pertama aku setelah tiga bulan nonstop tidak mengambil jatah libur selain Minggu."

Tany menganga mendengar pernyataan Banyu tentang pekerjaan dan promosi yang baru diterima mantan kekasihnya.

"Wah, enak dong. Gaji kamu sudah tiga kali lipat dari yang terakhir?" Celetuk Tany yang terdengar seakan menyindir. Banyu dapat menangkap intonasi yang berbeda dari pertanyaan terakhir perempuan yang kini menyemprot hand sanitizer ke seluruh telapak tangan lalu meletakkannya di atas meja.

Banyu terdiam karena ia tidak mau Tany salah sangka terhadap jawabannya. "Kan makanya aku memberanikan diri menemui kamu lagi, Tan. Kita mungkin bisa ..."

Tany melotot mendengar perkataan Banyu yang belum tuntas. Darahnya mendidih hingga ke wajah. Bukan marah tapi dongkol, "Kalau menurut kamu, kita bubar karena alasan duit maka kamu salah besar, Bregas Banyu."

"Tany, maksud aku ..." Banyu tahu kemana arah pembicaraan mereka. Ia tidak menyangka jawabannya seolah menyiram bensin pada bara api di antara mereka yang ternyata masih belum usai.

"Aku pikir kamu sudah berubah, Banyu. Kalau di kepala kamu–bahwa aku itu adalah perempuan haus uang dan alasan aku ingin menikah hanya untuk menumpang hidup–maka kamu salah besar, Banyu." Tany berdiri dan menarik colokan listrik pengisi daya ponsel miliknya dengan sedikit kasar.

Banyu yang duduk di hadapan Tany ikut berdiri karena ingin mencegah perempuan itu agar kembali duduk di kursinya.

Tany mengangkat tangan dan memberi sinyal pada Banyu, "Aku kecewa sama kamu, Banyu. Aku perlu sendirian."

Banyu hanya bisa memandang punggung Tany yang bergegas keluar dari warung makan. Meski terlihat pendiam dan sedikit manja tapi Tany memang memiliki sikap keras kepala yang aduhai. Banyu sadar bahwa tantangan dalam hubungan mereka masih tetap sama dan akan tetap sama meski mereka nanti membina rumah tangga bersama, 'Siapa yang akan mengalah dalam hubungan itu?'

Tany berpapasan dengan Naya di ambang pintu warung makan dan berkata, "Gue mau sendiri, Nay. Lo makan aja pesenan gue, ntar gue ganti."

Naya yang memandang raut dongkol di wajah sahabatnya lalu melempar tanya pada Banyu di udara. Banyu mengangguk pada Naya. Anggukan pendek itu seolah mengakui kedongkolan Tany saat ini adalah murni kesalahannya.

Merasa tidak bisa mendinginkan gunung merapi yang sedang erupsi, Naya dengan canggung menempelkan setengah punggungnya pada dinding agar Tany bisa melewati ambang pintu warung makan. Sepeninggal Tany, Naya lalu berinisiatif mendekati Banyu.

***

Naya dengan santai duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Tany. Matanya dengan sigap membaca daftar menu kembali dan memanggil pelayan agar mendekati meja mereka.

"Mas, nasi goreng ayam satu tapi nggak pakai kecap ya. Telurnya tolong didadar saja, ingat. Jangan diorak-arik sama nasi. Tambahin potongan rawit secukupnya. Bungkus ya," ucap Naya pada pelayan yang sedikit kelimpungan dengan pesanan detail yang baru disebutkan perempuan itu.

Sepeninggal pelayan, Banyu lalu bertanya pada Naya. "Itu pesanan bungkus buat Tany?"

"Iyalah," tegas Naya pendek. "Lo pikir kalau sahabat gue lagi jengkel larinya ke makanan? Nggak lah, dia mah. Paling juga putar lagu Labrinth sampai bibirnya monyong-monyong sendiri tanpa suara sambil ngeliatin langit. Hhhh."

Pesanan makan siang yang dipesan Tany dan Banyu diantar dan tersaji di meja mereka. Naya tidak menunggu aba-aba meraih sendok dan garpu dan segera menyuap soto daging yang dipesan sahabatnya.

Meski sedikit terheran dengan tindakan Naya yang seolah tidak terjadi apa-apa, Banyu menuruti apa yang sedang dilakukan sahabat Tany itu. Menghabiskan makan siang dengan cepat.

Tepat saat pesanan nasi goreng milik Tany diletakkan pelayan ke atas meja mereka, nasi soto milik Naya pun sudah tandas tak bersisa. Banyu yang sudah menyelesaikan makan siang lebih dulu, tidak sabar bertanya pada Naya. "Lo kok nggak nanya kenapa gue dan Tany berantem, Nay?"

Naya menoleh sebentar sebelum menyelesaikan seruputan terakhir es jeruk murni yang sebetulnya dipesankan Banyu untuk Tany. Naya menggelengkan kepala sebelum merespon pertanyaan Banyu.

"Percuma nanya juga," lontar Naya seraya memanggil pelayan untuk menghitung jumlah yang harus dibayar olehnya. Banyu tidak bersikeras untuk membayari nominal makanan mereka karena terlampau penasaran dengan lontaran Naya.

"Maksud lo apa, Naya?"

"Persoalan kalian tuh disitu-situ aja, Banyu. Lagian, apa juga yang perlu gue harap akan terjadi dari cowok yang bikin sahabat gue digantung selama enam tahun, Heh?" Naya sengaja menekan intonasi pada dua kata 'yang' dalam pertanyaannya untuk Banyu.

Banyu terdiam dan memproses pertanyaan Naya.

"Gini deh, orang mah enam tahun itu Wajib Belajar kan sampai lulus SD terus naik tingkat ke kelas tujuh, kelas delapan sampai nanti kelas dua belas. Nah elu, mau ngapain sama Tany, gue tanya?"

Banyu membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Naya. Tapi tindakannya dihentikan oleh lima jari yang dilambaikan tepat di wajahnya.

"Itu pertanyaan buat lo sendiri, Banyu. Lo nggak perlu jelasin maksud dan tujuan lo ke gue. Nggak ada urusan juga," tegas Naya sembari memandang manik Banyu.

Sekarang Banyu paham mengapa Tany nyaman bersahabat dengan Naya. Mulut perempuan itu memang hampir pedas setingkat seratus rawit diulek untuk penyetan. Rasa pedas di mulut saat kunyahan pertama memang membuat mata melotot tapi lama-kelamaan akan terbiasa terganti dengan rasa nikmat. Kejujuran memang menyakitkan tapi jika tidak diramu dengan kehidupan maka kita akan selalu berada dalam kebohongan.

"Dah ya, gue balik duluan ke Bus. Nih bawain buat Ayang Beb lo," cetus Naya pada Banyu. "Tany memang gampang meletus tapi gampang dingin juga 'kan asal lo jangan bawa ranjau aja lagi, Banyu."

Banyu mendongak memandang Naya. "Thanks, Nay."

"Anytime, Bay. Don't break her heart again. Susah tahu nyatuin potongannya lagi." Naya berbalik dan meninggalkan Banyu. Detik itu Banyu tersadar bahwa kadang saran paling ampuh memang bukan datang dari orang terdekat atau orang yang sedang tersakiti oleh perbuatannya melainkan orang lain yang jauh dari persoalan serta mampu bersikap netral terhadap masalah itu sendiri.***

Add this book to your library! Love and Vote!

[Hola-hola, apa kabar hari libur kejepit teman-teman semua? Semoga baik-baik ya. Mungkin ada yang bertanya-tanya ya mengapa Tany gampang banget kesulut amarahnya gara-gara urusan uang. Padahal tadi nggak ada bahasan yang gimana-gimana 'kan? Penasaran? Ikuti terus ya ceritanya. Thankies, lovely readers.]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro