06. Pertemuan Pertama
***
Tany masih menolak air mineral yang disodorkan Banyu padahal wajahnya sudah bersemu merah menahan batuk. Kesal dengan mantan kekasihnya sendiri yang keras kepala, Banyu mengalah dan meletakkan botol yang digenggamnya di samping Tany.
"Jangan lupa minum, Tany." Banyu berkata pendek lalu meninggalkan Tany dan kembali pada bangkunya.
Tany menatap Banyu dengan pandangan tidak percaya. Biasanya pertikaian kecil mereka tidak akan berakhir baik sampai salah satu kalah telak. Tany sedikit heran dengan perilaku Banyu yang mengalah dan duduk teratur tanpa perlawanan besar.
Banyu mengambil kembali buku bacaannya dan kembali pura-pura sibuk. Ia melakukannya dengan sengaja agar Tany merasa sudah tidak diperhatikan dan mau mengambil air mineral yang ditawarkannya.
Banyu memandang foto mereka yang pernah dicetak dan kini menjadi pembatas buku. Bukan sok cari perhatian tapi setelah perpisahan mereka, Banyu memang merasa kehilangan Tany.
***
Tujuh tahun lalu.
Banyu yang sudah menyerahkan tiga bab awal untuk Tugas Akhir kuliah sarjananya pada dosen pembimbing, berencana melakukan liburan sendiri. Liburan singkat itu diperlukan Banyu untuk menyegarkan isi kepala sebelum proses pengolahan dan penulisan data di Bab Empat. Atas ajakan salah satu teman sekolahnya, Banyu mengiyakan ajakan teman untuk ikut trip ke Pulau Seribu.
Liburan murah yang tidak merogoh ongkos terlalu besar, menurut Banyu. Waktu itu malam tahun baru, cuaca memang tidak baik untuk menyeberang ke Pulau Tidung di Kepulauan Seribu karena hujan terus menerus.
Dasar penasaran, Banyu tetap mengikuti intuisinya untuk berangkat dari pelabuhan kecil Muara Angke ke Pulau Harapan sebelum berakhir di Pulau yang ditujunya, Pulau Tidung. Banyu hanya mengenal satu temannya saja. Banyu bukan termasuk mahasiswa yang memiliki kemewahan uang dan waktu untuk menikmati perjalanan berlibur.
Seingat dirinya, Banyu harus mengatur antara kuliahnya pada program studi Teknik Kelautan dengan jadwal kerja paruh waktu pada kedai kopi di mall dekat kampusnya. Jangan tanya soal asmara, ia tidak memiliki energi lebih untuk mengurus persoalan hati.
Itu adalah pertama kalinya Banyu ikut dalam sebuah kegiatan komunitas yang fokus mengumpulkan para traveler dari seluruh dunia untuk berbagi informasi dan jaringan.
Pertemuan pertama Banyu dengan Tany dalam komunitas yang sama karena mereka ternyata kebetulan berangkat berbarengan dari Bandung. Tany baru lulus sekolah menengah dan sedang menunggu libur panjang sebelum memulai tahun pertama sebagai mahasiswa program studi Filsafat. Gadis itu memberanikan diri untuk berangkat sendiri, hal yang membuat Banyu semakin takjub.
Perkenalan mereka juga biasa saja. Tidak ada copet yang di baku hantam atau penjahat kelamin yang harus dikalahkan Banyu untuk berkenalan dengan Tany. Perjumpaan mereka sebatas Tany sedang menyeruput es kelapa hijau berpapasan dengan Banyu yang mengenakan kaos angkatan dan ada lambang universitas di dada bagian kiri.
"Wah, kakak kuliah di sana?" Tany bertanya tanpa malu-malu.
Banyu menoleh pada kaos yang dipakai dan sekilas melihat lambang almamaternya. Banyu lalu mengangguk bangga, "Fakultas Teknik."
"Semester ini aku juga diterima sebagai mahasiswa di sana loh, Kak." Tany berkata dengan enteng, "Aku, Tany. Kakak, siapa namanya kalau boleh tahu?"
Percakapan mereka pun dimulai dan mengalir sampai tidak terasa bahwa keduanya sudah menghabiskan hampir setengah hari bersama hanya untuk mengobrol. Tidak ada yang menarik dari kegiatan komunitas sebetulnya, Banyu ikut hanya untuk menikmati pemandangan Pulau Tidung.
Saat ia berhasil berkenalan dengan gadis manis bernama Tany, Banyu bahkan tidak memiliki tendensi apapun selain mengobrol dengan orang baru. Menariknya, Tany tidak melepaskan diri dari Banyu. Termasuk saat perjalanan pulang kembali ke Bandung dari Pulau Tidung.
Pengalaman berlibur tiga hari dua malam yang berkesan, menurut Banyu. Berangkat tanpa secuil harapan untuk menemukan cinta, setelah pulang berlibur justru jantungnya ikut berdegup saat Tany bertanya apa ia punya kesempatan untuk dekat dengan Banyu dan keduanya bertukar nomor.
Banyu mengakui keberanian Tany dan fisiknya yang manis menjadi salah satu alasan mengapa ia juga mudah menaruh hati terhadap perempuan itu. Tany pandai menempatkan diri. Saat perempuan lain mungkin sibuk menggunakan sederet make-up untuk membuat mereka lebih menarik di tengah teriknya pinggir pantai, Tany yang sudah manis dari lahir hanya mengenakan sunblock secukupnya.
Tany yang ekspresif juga membuat Banyu mudah mengerti apa yang diinginkan perempuan itu. Kesulitan Banyu menghadapi mantan pacarnya sebelum Tany adalah komunikasi. Banyu paling malas menebak apa maunya perempuan jika yang bersangkutan tidak mengatakan langsung keinginannya pada Banyu.
Tidak butuh waktu lama untuk pendekatan, tiga bulan sejak pertemuan mereka di Pulau Tidung. Banyu dan Tany meresmikan hubungannya sebagai sepasang kekasih.
Lamunan Banyu terhenti sejak Naya melambaikan tangan tepat di wajah Banyu.
"Ngelamun jorok lo ya, Bay?" Naya kini tidak sungkan mengganggunya. "Mau ikut berangkat atau nggak? Ayo buruan!"
Banyu kembali pada realita di hadapannya. Ruang tunggu yang masih ramai dan Tany yang sedang memperhatikannya dari pintu lobby stasiun seraya menenteng ransel daypack. Banyu menutup buku bacaan dan segera meraih carrier miliknya sendiri.
Banyu mengikuti Naya seraya menggeser carrier milik Rengga yang sudah dititipkan padanya.
Rengga memarkir mobil tepat di area drop-off dan membuka bagasi belakang Rubicon merah terbaru miliknya. Banyu terhenyak. Pantas saja pria di hadapan Banyu ini pongahnya setengah mati, harga mobil Rengga sendiri bisa seharga dua kali rumah Banyu dibayar tunai.
"Buruan, yuk! Berangkat sekarang," ujar Rengga pada Tany. Ia bahkan tidak perlu repot-repot memandang dua kurcaci lain di samping Tany.
Selesai merapikan semua barang bawaan mereka di bagasi belakang mobil, Rengga lalu bertanya pada Banyu. "Lo punya sim kan?"
Banyu mengangguk pendek, "Kasih tahu aja kapan lo mau gantian nyetir."
"Nggak usah. Gue sanggup cuma ke Surabaya doang mah. Lagian gue nggak yakin lo biasa bawa mobil kek gini," Rengga berkata pendek setelah menutup pintu penumpang milik Tany.
Banyu mengepalkan tangan dan meniupkan nafas sabar ke dalam dada, 'Kalau bukan untuk mendapatkan Tany kembali, ia juga pantang ikut-ikut naik mobil punya orang sombong seperti Rengga.'
Banyu kembali mengangguk singkat. Demi Tany apapun akan dilakukannya saat ini, gumam Banyu dalam hati seraya membuka pintu penumpang di belakang supir dan duduk di samping Naya.
Sepasang mata Banyu berusaha mencari manik Tany dari balik kaca depan mobil. Kebetulan posisi duduk Banyu juga tepat berada di belakang Rengga. Banyu tidak berhasil menemukan pandangan Tany.
"Apa kita siap berangkat?" Rengga bertanya pada Tany.
Tany menoleh ke belakang untuk memeriksa Naya yang mengangguk padanya. Pandangan Tany juga lalu berakhir pada Banyu sehingga mereka akhirnya saling bertatapan meski sepersekian detik. Jantung Banyu kembali berdesir saat ia berhasil menangkap binar milik mantan kekasihnya. Hati Banyu mengiyakan bahwa ini adalah perjalanan panjang yang akan menguras energi baik secara fisik maupun emosi.***
Add this book to your library! Love and Vote!
[Ada yang sudah kesal sama Rengga? Semua salah Banyu sih. Coba dari dulu sadar sama perasaannya sendiri dan nggak pernah ngelepasin Tany. Mereka nggak mungkin dalam posisi ini kan? Siapa juga yang mau kenal sama orang pongah seperti Rengga. Ada yang punya kenalan mirip-mirip Rengga? Sharing yuks!]
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro