Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04. Lima Belas Jam

***

Keduanya masih mematung sampai akhirnya Naya menghampiri Tany yang diikuti Rengga.

"Kita batal berangkat nih?" Naya melempar pertanyaan pada tiga pasang mata di hadapannya.

Tany menoleh pada sahabatnya dan sama-sama sedang memproses pengumuman yang masih dikumandangkan pihak stasiun.

Banyu lalu memandang Naya, "Bentar gue tanya dulu ke informasi, Nay."

"Sekalian tanya jurusan kereta lain yang searah ke sana, Banyu." Naya memiliki inisiatif lain seolah lupa drama yang baru ditontonnya.

Rengga seperti biasa segera membuat story yang menurutnya menarik untuk diabadikan. Tany berjalan menuju arah sebaliknya, ia menghampiri bangku tempatnya duduk tadi dengan lunglai.

Banyu ingin sekali mengikuti Tany dan berusaha menghibur mantan kekasihnya. Tapi ia tahu tindakannya hanya akan membuat drama tidak penting. Banyu sadar selama enam tahun mereka bersama, Tany juga memiliki kekurangan. Sikap meledak-ledaknya kadang membuat Banyu jengah.

Tany memang dikenal periang dan mampu berbaur dengan cepat dalam lingkungan baru tapi cara mantan kekasihnya merespon perubahan tidak lebih baik dari Banyu. Usia berpengaruh pada watak Tany yang sering mendramatisir keadaan.

***

Banyu kembali pada gerombolan setelah mencari informasi tentang pembatalan keberangkatan yang disebabkan oleh kecelakaan beruntun di dua stasiun sebelumnya. Kedatangan Banyu hanya disambut anggukan singkat Naya dan tampang masam dari Tany yang bahkan melirik dirinya pun tidak.

"Gimana, Bay?" Naya bertanya seraya menyingkat namanya.

"Nama gue Banyu, Nay. Bukan BayNyuu," koreksi Banyu terhadap sahabat Tany.

Banyu melihat sudut bibir Tany agak diangkat. Ia tahu mantan kekasihnya itu hafal bagaimana Banyu paling tidak suka namanya disingkat atau kesalahan-kesalahan kecil lain yang membuat sepasang telinganya gatal.

"Nama dia Banyu, Naya." Tany ikut bersuara mengomentari kesalahan sahabatnya.

Hati Banyu sedikit berdesir saat Tany mengulang namanya.

Naya kesal sendiri berada di antara dua orang yang terlihat sedang gencatan senjata tapi juga siap berperang di saat yang sama. "Jadi gimana ini posisinya?"

"Kita batal berangkat," keluh Tany yang tidak terdengar ikhlas dengan usulnya sendiri. "Mau naik apa coba lagi musim libur panjang terus kaya gini?"

"Jurusan lain gimana, Bay?" Naya bersikeras menggunakan nama panggilan yang sudah ditetapkan untuk Banyu.

Banyu kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Kini hanya Naya yang menjadi tumpuannya agar bisa mendukung Banyu agar tetap diikutsertakan dalam trip kecil mereka. Memotong nama dan membuat telinga gatal tidak seberapa dengan misi yang harus dilakukan Banyu untuk mengambil hati Tany kembali.

"Penuh, Naya."

"Jadi, kita nggak mungkin ngelanjutin perjalanan naik kereta?"

Banyu menggeleng tapi maniknya mengunci Tany yang masih menolak memandang balik tatapan yang dikirim Banyu.

Naya sibuk dengan ponsel dan mengetik sesuatu pada aplikasi online yang selalu diandalkan olehnya jika harus memeriksa jam keberangkatan atau kepulangan sang pacar dari luar kota.

Saat Banyu hendak mendekati tempat Tany duduk. Rengga menyerobot langkahnya.

"Kyra bilang ada beberapa teman yang terjebak di stasiun yang sama. Tapi Kyra dan teman-teman yang berangkat tadi subuh sih udah aman. Mereka sendiri malah tidak tahu ada kecelakaan kereta yang cukup fatal," urai Rengga pada Tany.

Tany mengangguk mendengar penjelasan Rengga yang lancar jaya. Sepertinya memang pria ajaib di hadapan mereka ini memiliki ketertarikan terhadap reportase berita langsung.

"Gue nggak nemu kursi kosong yang bisa kita manfaatkan buat ke Surabaya di aplikasi," sahut Naya seraya memperlihatkan aplikasi yang tertera di layar pada ketiga orang di hadapannya.

"Pesawat?" Rengga bertanya santai.

"Ada sih, dua kursi tapi. Nih," imbuh Tany seraya memperlihatkan lagi jam penerbangan yang tertera. "Harganya gilak. Gue nggak ikutan ya."

Tany melotot pada sahabatnya.

Rengga menyerobot ponsel Naya dengan tidak sopan. Untuk melihat harga yang baru disebut sahabat Tany itu.

"Aduh, segini doang. Lima tiket langsung gue duitin sekarang," jawab Rengga dengan pongah.

Tany sudah tidak tertarik ikut dalam percakapan yang melibatkan tiket pesawat dan penerbangan ke Surabaya saat ini. Mereka semua memang harus berangkat menuju Surabaya baru setelah itu melanjutkan ke Sidoarjo untuk mencapai Taman Nasional Baluran.

Banyu dapat menangkap kekecewaan di wajah mantan kekasihnya. Tidak tega melihat wajah Tany mendadak mendung seperti langit di bulan Desember. Banyu lalu mengutarakan pendapatanya.

"Kalau gitu kita berangkat pakai mobil aja. Gimana?" Banyu memandang Tany dan Naya bergantian. Ia malas meminta dukungan dari Rengga.

"Lama nyampenya dong, Bro." Rengga yang tidak diminta pendapatnya malah bersuara lebih dulu.

"Kan lu ada pesawat. Tinggal berangkat aja udah," sambung Banyu dengan ramah yang terdengar dibuat-buat. Padahal Banyu sudah berusaha menekan intonasinya agar tidak terdengar mencibir.

"Ya udah, Tany sama gue aja naik pesawat. Sedangkan lo sama Maya tuh naik mobil," balas Rengga.

"Naya, Rengga. Nama gue Naya," jelas Naya seraya bersungut-sungut. Karma dibayar begitu cepat ya? Seseorang yang salah menyebut namamu ternyata memang tidak enak didengar.

"Oke-oke. Problem solved, kan? Kita semua sama-sama berangkat dan ketemu di Sidoarjo sekalian masing-masing." Rengga mengatakan usulnya dengan kemenangan. Akhirnya ia akan memiliki waktu yang panjang hanya untuk berduaan dengan Tany.

Banyu dapat menangkap nada yang mencurigakan dari Rengga. Ia tidak bisa langsung mempercayai pria yang sedang berdiri di hadapannya ini.

"Aku nggak setuju. Pokoknya kalau tetap mau berangkat, aku nggak mau pisah dari Naya." Tany akhirnya mengeluarkan suara. Perkataan Tany seolah memadamkan rencana Rengga.

"Batalin aja keberangkatannya kalau gini," lanjut Tany dengan lemah. Ia sudah tidak bisa berpikir jernih. Sebetulnya bukan karena pembatalan keberangkatan kereta saja tapi lebih banyak karena keberadaan Banyu yang hilir mudik di hadapannya.

Pertemuannya dengan Banyu menimbulkan banyak emosi baru yang sedang dirasakan Tany saat ini. Kesal, sebal, dan jengkel bercampur menjadi satu. Emosi yang berusaha dilipat baik-baik dan dimasukkan dalam kotak bernama masa lalu selama hampir dua belas bulan terakhir.

"Tapi kan main ke Baluran, Tany." Naya protes terhadap keputusan sahabatnya sendiri, "Kapan lagi coba sebelum lo berangkat kan?"

Tany segera menghampiri Naya dengan panik dan membekap mulut sahabatnya erat-erat dengan kedua tangannya, "Sst! Jangan asal bunyi, Naya." Tany tidak berani memandang ke arah samping dan menangkap pandangan Banyu yang kini penasaran dengan berita yang baru didengarnya.

"Dahlah, kita ambil jalan tengah. Gue mau nggak mau harus absen ke Baluran karena nggak enak sama Kyra. Lo semua terserah mau gimana? Tany, kalau lo mau ikut? Be my guest. Tiket pulang-pergi Jakarta-Surabaya, gue yang bayar." Rengga berkata pendek dan tidak sabar. Notifikasi di ponselnya tidak berhenti berbunyi sejak tadi.

Tany yang ditembak pertanyaan seperti itu merasa bingung sendiri. Mengunjungi Baluran adalah impiannya selama ini. Apalagi tahun depan Tany memiliki proyek lain yang tidak memungkinkannya untuk mengambil cuti panjang seperti ini.

"Aku bisa bawa mobil dan kita tetap berangkat ke Baluran," usul Banyu untuk mencari jalan tengah.

Tany menggeleng. "Jangan. Mobil kamu kan harus standby di rumah. Kalau mama mendadak kambuh, bagaimana nanti?"

Banyu mengulas senyum, "Maksudnya, aku bisa sewa mobil dan kita tetap pergi ke Baluran."

"Itu bukan pilihan, Banyu. Tidak perlu repot-repot." Tany paham pilihan Banyu terbatas karena kondisi Mamanya yang sering dibawa ke UGD rumah sakit.

"Ini lagi pada ribut soal mobil," sela Rengga pada di tengah percakapan keduanya. "Gue pulang pake ojek online ntar kita berangkat dari sini. Gitu aja gimana?"

Tany memandang kedua pria yang berusaha membuat impian liburannya tercapai. Memandangnya bergantian. Tany lalu menatap Naya agar memberikan solusi lain.

Banyu paham mantan kekasihnya sedang bimbang luar biasa. Menyerahkan dua perempuan pada pria pongah macam Rengga sepertinya juga bukan tindakan pintar. Apalagi membiarkan satu-satunya perempuan yang menjadi target cinta Banyu berangkat tanpa dirinya, itu sama saja memberi umpan pada buaya darat.

Banyu mengangguk, "Jarak tempuh Jakarta ke Baluran juga bukan perjalanan pendek. Kita bisa gantian setir dan berbagi uang bensin."

"Nah, ide paling masuk akal ini." Naya menjentikkan jarinya. "Menurut lo gimana idenya Banyu, Tan?"

Tany memandang Banyu dengan sorot mata yang berbeda. Banyu tahu Tany bukan mempertimbangkan uang bensin yang memang akan dibagi di antara mereka berempat atau jarak tempuh lima belas jam perjalanan ke depan.

Sorot mata Tany menyiratkan hal yang lebih dalam dari itu tapi tidak bisa diutarakan dengan kata-kata. Andai Banyu bisa membahasakan dalam sebuah kalimat, tatapan Tany lebih menunjukkan keraguan. Entah pada Banyu atau pada dirinya sendiri. Pertanyaan tentang apakah mereka akan baik-baik saja selama lima belas jam ke depan nanti?***

Add this book to your library! Love and Vote!

[Ada yang pernah melakukan perjalanan roadtrip seperti Tany dan Banyu? Sharing, yuks!]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro