Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9 Keluarga Lengkap

Jungwoon menelepon Jongseong. Dia berharap Jongseong mau menjemputnya begitu sampai di Pelabuhan Tongyeong. Nasib sial. Jungwoon mengutuk dalam hati. Sinyal di Bijindo buruk sekali. Tak heran Jongseong harus ke Tongyeong dulu untuk menghubungi Jungwoon.

Akhirnya pemuda itu menyewa kapal. Dia sudah mengenal Sunghoon sebagai teman baik kakaknya. Umur Jungwoon dan Sunghoon sama. Jadi mereka gampang membaur.

"Ayolah, Sunghoon-ah. Antarkan aku ke rumah Jongseong Hyung," desak Jungwoon tak sabar.

"Astaga, aku baru ke sana. Aku lelah sekali. Bawa saja kapalku. Kemudikan sendiri!" tepis Sunghoon menguap lebar-lebar.

"Apa kau senang kapalmu tenggelam?" pancing Jungwoon menyipitkan mata.

Mendengar kapal tenggelam sukses membuat Sunghoon standby 100 persen. Dia mengerjapkan mata. Lenyap kantuknya. Seperti disuntik tenaga seribu volt.

"Kajja!"

Sunghoon bergegas masuk ke speedboat putih. Mereka berangkat ke Bijindo. Lautan benar-benar tenang. Tebing mencuat di tengah. Ada pula sebuah kuil di salah satu pulau. Kedua orang itu mengisi malam dengan dua cup ramen hangat. Mereka bertukar cerita. Hampir tiga tahun Jungwoon tidak berkunjung ke sini.

"Jadi belahan hatimu sudah pulang?" tanya Sunghoon tak senang. Kecemburuan mengisi setiap rongga hatinya.

"Iya," sahut Jungwoon dengan semangat. "Sudah lama mencarinya. Tapi rasanya lega penantianku sudah berakhir. Bertemu dengan Karina membuatku lega." Jungwoon terus berceloteh. Dia tidak tahu, betapa besar niat Sunghoon menjungkalkan dirinya di tengah laut.

Tentu saja Sunghoon menyukai Karina. Masalahnya dia tak tahu, bahwa keduanya punya ikatan darah.

"Aigoo... Semoga hubunganmu berlanjut dengannya, ya!" Sunghoon masuk ke ruang kemudi. Jengkel hebat. Dia menyesal bersedia mengantar Jungwoon ke belahan jiwanya. Seandainya dia tahu, Sunghoon pasti punya alasan untuk menolak ke Bijindo.

Speedboat itu merapat di dermaga kecil. Jungwoon bergegas lari, dia membayar sekadarnya untuk Sunghoon. Pemuda itu tidak berbalik ke Sunghoon. Emosi Sunghoon semakin menjadi.

Jungwoon hafal jalan yang menuju rumah bambu itu. Dengan cepat, Jungwoon menghambur masuk ke rumah itu.

"Aigoo, kenapa banyak orang yang masuk ke rumahku!" Seojoon mengeluh. Pria itu mengurut kening. Mati-matian menetralkan suasana hati yang memburuk.

Belum cukup Nahyun bermalam di hotel, kini Jungwoon muncul satu malam sesudah kedatangan Nahyun.

Seojoon merasa dunia semakin sesak dengan keberadaan banyak orang. Pulau kecil itu mendadak pengap. Seluruh anak-anaknya berkumpul. Lengkap dengan ibu mereka. Tidak cukup satu anak bernama Jongseong membuat urat Seojoon nyaris lepas, ditambah lagi dua anak lain. Memusingkan.

Jungwoon tersenyum meminta maaf. Belum-belum, dia sudah kena omel Seojoon.

"Kenapa kau ke sini?"

Seojoon adalah pria yang sangat ramah. Masalahnya Seojoon kelewat stres gara-gara kebanyakan tamu di rumahnya.

"Aku hanya datang berkunjung. Apa Aboji baik-baik saja?"

"Apanya yang baik-baik saja?" lenguh Seojoon berkacak pinggang.

Sebelum dia mulai mengomel, Jongseong keluar kamar. Dia mendapati keributan yang dibuat oleh Seojoon. Jongseong pun menarik Jungwoon keluar dari rumah itu.

"Akhir-akhir ini Aboji sensitif. Bagaimana kalau kau bermalam di hotel saja? Aboji sekarang tidur di kamarku," ucap Jongseong pelan.

"Apa?" Jungwoon tampak tidak terima tidak dipersilahkan tidur di rumah itu.

"Masalah semakin rumit. Karina sedang bertengkar dengan ibunya. Hanya saja sekarang ibunya datang kemari. Sulit untuk mempertemukan kau dengan Karina kalau esok Karina sudah pulang."

"Pulang?"

"Tunggu di sini. Aku akan bangunkan Karina. Dia mengurung diri di kamar sejak semalam. Marah karena Aboji menyuruhnya pulang ke Seoul. Marah karena wanita gila itu, muncul di rumah kami tanpa merasa harus minta maaf."

Jungwoon terguncang akan fakta itu.

"Tapi Hyung, apa Karina tahu kalau dia punya aku sebagai saudaranya?"

Jongseong tersenyum lebar, "Dia mengenalimu meski dari kamera ponselku. Percayalah. Karina tidak pernah bosan membicarakanmu. Pertemuan kalian akan mengharukan sekali."

Jongseong pun masuk ke rumah. Diketuk pintu kamar Karina. Gadis itu sulit ditangani jika amarah sedang bergejolak di dadanya. Hanya satu cara untuk menjinakkan emosi Karina. Membiarkan gadis itu begitu saja. Namun Jongseong tidak gentar kena semprot. Sudah cukup ayahnya yang memupuk mentalnya, jadi Jongseong terbiasa dengan cara Karina merajuk.

"Karina-ya! Aku punya kejutan untukmu. Oppa punya soda dan cokelat." Jongseong mengetuk pintu.

"Pergi sana!" Karina berteriak mengusir. Dia tak mau diganggu.

"Masalahnya, oppa-mu yang satunya menunggumu keluar."

"Berhenti bicara soal Sunghoon!" sergah Karina muak. Tetapi Jongseong malah tertawa mengejek.

"Siapa yang bicara soal Sunghoon? Ini oppa kandungmu yang lain. Jungwoon, nae namdongsaeng. Neo Oppa!"

"Apa katamu?" Pintu menjeblak terbuka. Hidung Karina kembang kempis.

Dengan isyarat berupa sentakan dagu, Jongseong membimbing adik bungsunya di depan rumah. Jungwoon masih menghadap ke laut yang menghempaskan ombak. Jantungnya jumpalitan lagi. Meski pernah bertemu, tapi ini pertemuan yang pertama secara resmi. Karina sudah tahu siapa Jungwoon. Tak heran, Jungwoon menjadi gugup.

Bagaimana jika sikap Karina sedingin ibu mereka?

Namun, bayangan buruk memudar. Karina berdiri di sana, tercenung sejenak lalu tersenyum manis untuk Jungwoon.

"Oerinmanieya. Annyeonghaseyo, Oppa." Karina menyapa dengan lembut.

Karina tahu, Jungwoon orang asing dalam kehidupannya. Seasing Jongseong, kakak pertama mereka. Hanya masalah waktu, sikap mereka masih formal pada beberapa pertemuan awal. Namun, Karina menyingkat sikap formal. Dia akan menganggap Jungwoon orang yang lama sekali dikenal oleh Karina. Dipanggilnya Jungwoon dengan gelar oppa di belakang nama pemuda itu.

Kata-kata itu terlalu indah di pendengaran Jungwoon. Kata-kata yang mengguyur gersang di hatinya. Kata-kata yang menyudahi segala kekosongan yang menyergap kehidupan Jungwoon.

Hati Jungwoon yang bolong separuh, kini kembali utuh. Sebab, dia tahu, Karina mengenal Jungwoon sebagai bagian kehidupannya.

Jungwoon membalas jabat tangan itu dengan pelukan haru. Dia mendekap Karina erat-erat. Yang dipeluk tentu saja merasa rikuh. Dia tidak terbiasa dipeluk pria manapun termasuk Jongseong apalagi Jungwoon.

"Aku sangat bersyukur bisa melihatmu lagi, saudariku," ucap Jungwoon sungguh-sungguh. Dia memeluk lagi, seolah tak percaya hari ini akhirnya bertemu Karina.

Jungwoon senang. Kedatangannya tak sia-sia. Karina ada di Bijindo. Dan genaplah pengembaraan Jungwoon mencari Karina.

"Bagaimana kabarmu, Karina-ssi?"

"Bagaimana kabarmu, Jungwoon Oppa?"

Kedua orang itu bertanya bersamaan. Lalu terkejut dengan pertanyaan yang mereka ajukan. Keduanya nyengir satu sama lain. Karina tahu, pemuda itu sosok baik hati yang pantang menyerah. Dan anak perempuan itu mengangkat bahu.

"Kelihatannya kau sangat baik. Dan seperti yang kau lihat aku juga cukup baik," ujar Karina menggerai rambutnya.

"Eh, Jungwoon-ah, kau tidak tanya kabarku?" Jongseong menginterupsi. Wajah galaknya tertuju ke Jungwoon. Sejak awal kedatangan Jungwoon di pulau kecil itu, hal pertama yang ditanyakan adalah Karina, bukan Jongseong.

"Eh?" Jungwoon menggaruk kepala bingung. Dia melirik Karina sekilas. Tetapi gadis itu tersenyum simpul.

"Minggirlah Jongseong Oppa! Sana tidur. Aku yang akan memonopoli Jungwoon Oppa. Mau keliling tempat, Oppa? Selagi aku belum kembali ke Seoul," kata Karina ringan.

"Kau mau pulang?"

"Iya. Nae Eomma..." Karina terdiam. Dia sadar ada sesuatu yang salah. "Uri Eomma sudah menungguku di hotel. Aku tidak bisa kabur dari pulau ini. Appa sudah menyegel speedboat. Dan eomma menyuruh seseorang mengawasiku."

Karina menyentak dagunya ke salah satu pohon. Kini Jungwoon mengerti mereka tidak bertiga di luar. Ada salah satu pria berdiri tak jauh dari mereka. Tangannya memegang walki talkie.

"Kau benar-benar beruntung memiliki ibu yang sangat peduli denganmu," kata Jungwoon pelan.

Namun, Jongseong dan Karina mendengkus kesal. Tidak terima dengan sanjungan itu.

"Kau akan menyesal berkata begitu. Ibu kita tidak sepeduli itu. Besok, aku akan menyiapkan sarapan. Akan kusuruh Eomma datang kemari. Kita akan makan bersama sebagai keluarga yang utuh." Karina menganggukkan kepala, puas dengan gagasan itu.

"Tidak usah. Aku sudah bertemu dengan ibumu. Dan pertemuannya tidak menyenangkan."

"Benarkah?" Jongseong terperanjat. Bingung bagaimana bisa Jungwoon mengenal Nahyun.

Kini meluncurlah segala curahan hati masing-masing anak Seojoon. Mereka tidak tidur sama sekali. Memandang cakrawala yang membuncah dari hitam pekat menjadi merah darah. Ketiga anak itu menyukai satu hal yang sama.

Mereka tidak ingin dipisahkan lagi.

***

Ruang makan itu sangat sesak. Namun, Jongseong berjuang dengan api di tungku buatannya. Wajahnya hitam kena jelaga. Dia menggosok keringat di wajahnya, tanpa tahu tangannya kotor. Sementara Karina berkutat dengan cabai hijau besar di talenan kayu. Dia membuat sarapan ala kadarnya berupa ramen.

Namun, gadis itu yakin ramen buatan Jongseong paling lezat seumur hidup yang pernah Karina santap. Inilah ramen terbaik. Dengan bumbu paling sempurna. Apalagi kalau bukan kekeluargaan yang membuat ramennya enak.

Jungwoon menyemplungkan ramen ke panci aluminium keemasan. Dia bersiul riang. Ketiga anak itu mengabaikan omelan Seojoon. Namun, Karina balas berteriak ke ayahnya.

"Ini perpisahan terakhirku datang kemari, Appa! Jangan merusak momen ini, atau kau tidak akan pernah melihatku lagi!" balas Karina sengit, lengkap tatapan galak sama menyeramkan dengan Seojoon. Di antara ketiga anak itu, sikap Karina-lah yang paling mirip Seojoon.

"Yya! Cepat buka pintunya!" Seojoon menggedor pintu kamar Jongseong. Namun, Jongseong bergeming tak mau menolong Seojoon sampai siap pada waktunya.

Karina mengunci pintu kamar selagi ayah mereka tidur nyenyak. Dan dia tidak peduli betapa hebatnya keinginan Seojoon ke toilet. Sudah pasti Seojoon bakal mengusir Jungwoon pulang ke Busan. Dia menganggap biang keladinya adalah Nahyun dan Jungwoon.

Bagi Seojoon, Jungwoon bukan anaknya. Pemuda itu anak seorang saudagar kaya di Busan. Dan Seojoon tidak punya urusan apapun dengan Jungwoon lagi.

Jelas ini membuat hati Jungwoon remuk. Pemuda itu sudah ditolak Nahyun, bagaimana bisa Seojoon ikut melakukannya juga. Melarang Jungwoon menjejakkan kaki di rumah bambunya. Tak heran Seojoon lebih suka berlayar dari pada satu atap dengan Jungwoon kala putra keduanya singgah di Bijindo.

Hanya satu hal yang bisa mengobati perasaan duka yang menaungi Jungwoon. Dan itu adalah kehadiran Jongseong dan Karina.

Lima belas menit kemudian, sarapan berupa ramen pedas kebanyakan kuah, nasi yang menggepul – agak gosong— dan jus jeruk tersaji di meja. Seojoon sudah selesai dari kamar mandi. Wajahnya merah padam, ingin mengamuk, tapi Karina terus mendelik pada Seojoon.

Terdengar suara derap sepatu melangkah ke beranda. Karina menghela napas sedih ketika ibunya datang untuk menjemput. Setengah jam lagi, Karina harus pulang ke Seoul.

"Sedang apa dia di sini?" tanya Nahyun tanpa basa-basi, berdiri tegak di ambang pintu. Tatapannya amat dingin ke Jungwoon.

"Eomma, duduklah. Kita makan bersama." Karina mengamit ibunya, pura-pura riang. Jelas saja suasana di meja amat mencekam. Masing-masing anggota tidak menyukai satu sama lain.

Jungwoon merasa asing di tengah orang tua yang menolak kehadirannya. Jongseong yang muak dicampakkan Nahyun, Seojoon yang benci luar biasa dengan Nahyun dan dan campur aduk merasa tak enak hati pada Jungwoon. Dan Karina yang tak suka sarapan ala keluarga sempurna palsu luar biasa.

"Sedang apa dia di sini?" tanya Nahyun, matanya terpatri seribu tuduhan dan ejekan pada Seojoon. "Apa kau ingin aku kembali ke masa lalumu yang indah, dengan anak-anakmu yang lucu?" sindirnya pedas.

Seojoon tidak menjawab. Kemarahannya di ambang batas. Dan inilah bentuk kemarahan terpendamnya. Satu kata tak berkenan di hati, Seojoon tinggal mencekik siapapun.

"Eomma, jangan banyak komentar. Dan ini yang kuinginkan. Kita satu keluarga. Meskipun Eomma dan Appa tidak sudi satu meja, mengalah saja hari ini. Aku ingin merasakan satu kali saja makan bersama, lengkap dengan kedua saudaraku." Karina bersikeras.

Ditariknya Nahyun duduk di sebelahnya. Karina menyumpit potongan cabai dan menjejalkan ke mulutnya.

"Dan aku tak pernah sebahagia ini makan bersama kalian. Tapi kalian, orang tuaku yang kuhormati, malah mencerai-beraikan anak-anaknya."

"Tutup mulutmu, Karina-ya!" Nahyun ingin sekali menampar pipi putrinya. Dia muak berhadapan dengan keluarga itu. Dia menyesal pernah hidup dengan Seojoon. Menyesal telah melahirkan keturunan Seojoon.

"Makanlah," bujuk Jongseong.

Karina melanjutkan makan. Dia mengabaikan kedua orang tua mereka. Sibuk mengobrol soal rasa ramen buatan mereka bertiga. Nahyun sama sekali tidak menyentuh mangkoknya. Dia memelototi tangannya. Usai membersihkan peralatan makan, Karina mengemasi barang-barangnya.

Sepatah kata pun tidak terucap dari mulut Karina. Dia kecewa dengan Seojoon. Pria tua itu, sama sekali tidak mencegah Karina bertahan di pulau ini.

"Eomma, setidaknya biarkan Jungwoon Oppa ikut kita. Setiba di pelabuhan, Jungwoon Oppa bakal mencari jalan pulangnya sendiri," bujuk Karina.

"Tidak usah." Nahyun tegas menolaknya.

"Apakah Jungwoon Oppa bukan putramu? Bagaimana bisa seorang ibu sangat tega menolak keberadaan anak kandung yang diadopsi orang lain?" Karina meradang. "Dan kau menjemputku, karena permintaan Sangyeob Aboji, kan? Bukan karena kau merindukan aku!"

PLAK!

Lagi-lagi tamparan keras singgah di pipi Karina. Aliran hangat dan asin terasa di mulut gadis itu. Tangan Karina menyentuh ujung bibirnya. Amis darah tercium jelas di penciuman. Karina gemetar di tempat.

"Hentikan omong kosongmu, Karina-ya! Jangan sok tahu dengan apapun yang kulakukan!" desis Nahyun murka.

Belum pulih dari rasa kaget, Nahyun menyeret Karina keluar. Dibantu dua bodyguard, Nahyun menjebloskan Karina ke speedboat sewaan.

Tak ada perpisahan antar keluarga yang membahagiakan. Keluarga Karina tercerai berai. Oleh satu monster egois. Ibunya memang monster.

Karina tak akan pernah bisa menerima tamparan itu.

Gadis itu tidak punya nomor telepon Jongseong meski satu bulan tinggal bersama. Dan kesempatan bersama Jungwoon hanya delapan jam semenjak pemuda itu datang di Bijindo.

Dan kini, harapannya padam. Kehilangan ketiga pria yang lebih pantas disebut sebagai keluarga yang sesungguhnya.

~~~~~~~~~~~~~

Vote komen silahkan ya kawan kalau suka part ini. Hehehehe.

Maaf kalau ceritanya absurd. Kasihan si Jungwoon. Anak terbuang.

Tapi perjuangannya mendapat pengakuan gak bakal berhenti begitu saja sekali pun diperlakulan tidak adil.

Karina balik ke Seoul. Tak ketemu lagi sama dua abangnya, LHA TERUS NASIB SUNGHOON GIMANA DITINGGAL KARINA????

Gak jadian dong??

Tenang saja, part berikutnya seru kok. Ditungguin saja ya guys.

Bondowoso, 11 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro