Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8 Cepat Kemari

Suasana makan malam yang tadinya meriah mendadak berubah. Udara bagai terhisap ke suatu tempat. Ini keteledorannya. Jongseong salah bicara. Dia mengungkit soal Jungwoon secara tidak sengaja. Hasilnya, Seojoon dan Karina mulai bersitegang.

"Astaga, aku punya dua anak yang sama bandelnya. Apa susahnya kalian kuliah, eoh? Terutama kau, Karina-ya. Appa tidak melarangmu tinggal di sini, tapi pikirkan baik-baik masa depanmu. Jika memang tidak mau sekolah di Seoul, pindah saja ke Busan!" Seojoon kembali mengomel.

"Aku tidak mau!" bantah Karina kehilangan selera makan.

"Lalu apa yang kau inginkan di pulau kecil ini, Nak? Ataukah Appa menikahkan kau dengan Sunghoon?"

Karina tersentak. Diempaskan sumpitnya ke meja. Ini pertama kalinya bagi Jongseong melihat kedua anggota keluarganya adu mulut. Menjadikan Sunghoon sebagai saudara ipar, sama saja dengan malapetaka. Jongseong tak sudi.

"Kenapa harus Sunghoon?" tepis Karina, wajahnya merah merona. Mati-matian menyembunyikan gurat malu.

Setiap akhir pekan Sunghoon rajin menyambangi Karina. Mereka menikmati pemandangan laut berdua, sementara Jongseong ikut ayahnya mencari udang. Dan rumor bertebaran kalau kedua orang itu kencan.

Padahal Karina yakin, dia dan Sunghoon tak terikat oleh hubungan macam-macam. Kecuali mengobrol soal potensi wisata Tongyeong dan makanan semata.

"Tentu saja. Bahkan Appa bertemu ibunya. Dia berniat menjadikan kau penerus restoran generasi keempat! Jualan sup, itu masa depanmu, Nak! "

Karina melesat keluar rumah. Tak tahan mendengar ocehan Seojoon. Gadis itu lari ke pinggiran pantai. Kakinya basah oleh air laut. Hamparan putih pasir membuai telapak kakinya.

"Oi, Karina-ya!" panggil Jongseong melambaikan tangan. Gadis itu menoleh malas-malasan. "Ikut ke Tongyeong?"

"Tidak!" tegas Karina judes.

"Ah, padahal aku mau beli pizza."

"Tunggu!"

Bibir Karina yang cemberut mulai mengendur. Perlahan dia mulai tersenyum. Gadis itu maniak pizza, jadi Jongseong tahu bagaimana mengatasi sikap sentimental adiknya jika tidak bisa diajak bicara baik-baik.

Jongseong mulai menyalakan kapal. Tidak sampai satu jam kemudian, mereka tiba di Tongyeong.

"Pesan saja sana. Oppa harus menemui seseorang."

"Bagaimana aku bisa tahu apa yang kau inginkan?" sergah Karina.

"Milk Green Tea saja. Dan jangan pesan pizza nomor dua. Aku sudah mencoba. Rasanya kacau. Pilih saja nomor satu dan lima. Aku pergi dulu."

Buru-buru Jongseong kabur ke arah lain. Meninggalkan Karina seorang diri di dermaga kecil.

Jongseong pun mencari tempat yang lumayan tidak terjangkau deteksi pendengaran Karina. Dikeluarkan ponselnya hati-hati. Di sinilah tujuannya pergi ke Tongyeong. Dia harus mendapat sinyal selular agar bisa menghubungi seseorang.

"Jungwoon-ah, kapan kau datang kemari? Karina sudah tinggal di Bijindo. Cepat kemari. Firasatku berkata kalau dia sebentar lagi bakal pergi ke Seoul," tulis Jongseong dengan cepat. Jongseong menghela napas dalam-dalam. Pemuda itu tidak tega melihat kedua adiknya saling mencari, ingin melihat satu sama lainnya.

***

Perasaan Jungwoon remuk redam. Dia sudah berlayar mengarungi pulau kecil di lautan lepas Tongyeong. Singgah ke Bijindo dengan harapan melambung amat tinggi. Setiap musim panas, berharap Karina muncul di pulau itu untuk sekedar liburan.

Tidak ada siapapun di sana. Seojoon jarang pulang. Hanya ada Jongseong yang menyerah berulangkali. Kakaknya menjelaskan dengan lugas, bahwa dia tidak tahu seperti apa rupa Karina.

Jongseong janji akan menghubungi Jungwoon kalau Karina muncul di Bijindo. Setelah memegang janji itu, Jungwoon tidak pernah lagi datang ke sana. Jungwoon akan datang jika Jongseong mengirim pesan. Ditunggu pun bertahun-tahun, tidak ada telepon dari Jongseong. Sampai Jungwoon yakin, takdirnya telah digariskan bahwa dia tak akan tahu saudari kembarnya.

Dengan janji semacam itu, Jungwoon menapakkan kaki ke Seoul. Dia mati-matian mencari beasiswa agar kuliah di universitas bergengsi. Tujuannya hanya satu. Mencari ibu dan adiknya.

Seminggu terakhir ini dia tidak sengaja menemukan wanita yang sangat mirip Nahyun versi muda. Berbekal foto pemberian Jongseong, Jungwoon yakin itu adalah saudari kembarnya. Dia hanya tahu itu Karina. Sebab Jungwoon mengandalkan telepati antar saudara kembar.

Memang itu Karina. Gadis itu tersedak makan kimbab segitiga. Jungwoon tersenyum mendapati gadis itu makan makanan favoritnya. Kimbab segitiga rasa ikan tuna. Selera mereka ternyata sama.

Dia bergerak mendekat. Disodorkan minuman itu, lalu pergi. Mulanya Jungwoon yakin satu kali melihat Karina sudah cukup. Nyatanya tidak begitu. Dia semakin penasaran. Sampai akhirnya tahu, Karina sudah tidak pernah lagi berkeliaran di sepanjang kompleks apartemen mewah itu.

Jungwoon sangat ingin kenal dekat dengan Karina. Untuk memastikan posisi Karina, Jungwoon memberanikan diri bertamu malam-malam.

Penolakan adalah hal yang menyakitkan. Mungkin Nahyun tidak siap melihat putranya datang begitu saja. Mungkin kedatangan Jungwoon tidak pernah tepat. Jungwoon telah dibuang ke orang lain.

Jungwoon ingin melempar ponsel. Dia tak tahu bagaimana harus bertindak. Tujuannya berakhir. Pencariannya sukses dengan cara menyakitkan. Dia mengurungkan niat ketika pesan Jongseong masuk.

"Jungwoon-ah, kapan kau datang kemari? Karina sudah tinggal di Bijindo. Cepat kemari. Firasatku berkata kalau dia sebentar lagi bakal pergi ke Seoul."

Jika Karina kembali ke Seoul, Jungwoon yakin dia tidak akan pernah punya kesempatan mengobrol dengan Karina. Ibu mereka pasti memblokir pertemuan Jungwoon dan Karina. Pemuda itu bergegas lari ke halte. Dia pergi ke Tongyeong secepatnya.

Harapan yang padam kembali merekah. Kali ini lebih terang. Dia sangat bahagia. Merasa utuh karena kedua saudara kandungnya ada di Bijindo.

***

Kedua orang itu ribut di restoran kecil. Karina mengeluh karena pizza-nya tidak enak. Dia menyesal tidak memilih paket satu di mana topping-nya jamur. Jongseong mendelik kesal, tidak mau menu mereka diganti. Biar bagaimana pun, malam ini Jongseong yang membayar makan malam mereka.

"Oppa." Karina merajuk.

"Kau akan menyesal, Nona Besar!" Jongseong menggelengkan kepala.

"Hei, berhenti memanggilku seperti itu. Kau sama menyebalkannya dengan Sunghoon Oppa."

"Yya, sejak kapan kau memanggilnya Oppa? Apa kau kencan dengannya?"

Jongseong mendelik. Jika ada manusia yang ingin dijadikan keluarga secara resmi, Jongseong tidak akan memilih Sunghoon, meski kiamat menyisakan mereka berdua sebagai survivor.

Karina enggan menjawab. Dia menjejalkan pizza dengan gigitan besar. Tanpa diduga, malah tersedak hebat.

"Nah ketahuan, kan, kau menyukainya!" tuduh Jongseong.

"Berhenti bicara, Oppa! Demi Tuhan! Jangan sampai kau sama menyebalkan dengan Appa." Karina mengerang frustasi sambil memukulkan dadanya. Pulih dari batuk gara-gara pizza–masih menepuk dadanya–Karina menghujani Jongseong dengan gulungan tisu bekasnya.

Jongseong puas menertawai Karina. "Selagi kita di Tongyeong, apa kita harus menemui temanku? Aku yakin pipimu sedang hangus terbakar gara-gara senang bertemu Sunghoon!"

"Yya! Berhenti bicara!" Karina mendengus sebal. Dia kehilangan selera. Pizza tidak lagi menyenangkan di lidahnya. "Aku mau pulang. Cepat habiskan."

Karina menggerutu cara makan Jongseong yang lamban. Setengah jam mereka habiskan di restoran, ribut perkara Sunghoon. Tak lupa Karina belanja sesuatu di minimarket. Dia memborong banyak makanan ringan untuk disimpan di lemarinya sendiri. Gadis itu sudah punya kamar sendiri. Sementara Seojoon menghuni di kamar Jongseong.

Mood kedua orang itu terbakar. Karina dengan tegas menolak berbagi snack. Dia tersinggung pasca diledek Jongseong. Lima puluh menit kemudian, mereka sampai di pulau berbentuk barbel. Keduanya turun dengan wajah sama cemberutnya. Ini adalah ketidakkompakan mereka yang pertama. Untuk pertama kalinya Jongseong merasa tidak enak punya saudara. Berdebat untuk perkara sepele.

Namun, di rumah mereka yang berupa rumah bambu, langkah Jongseong terhenti. Dia melihat dua orang berpakaian formal menunggu di luar. Sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Pasti. Rumahnya jarang dikunjungi kalau tidak ada sesuatu yang genting.

Karina mencengkerem lengan Jongseong. Wajahnya sepucat hantu. Tentu saja Jongseong tahu. Sesuatu genting telah hinggap ke keluarganya. Karina mengenal siapa yang datang.

Nahyun.

Ibu mereka.

Kemarahan menggelegak dalam benak Jongseong. Pemuda itu menghambur masuk rumah, tetapi dihadang dua pria bersetelan resmi.

"Kenapa aku tak boleh masuk ke rumahku sendiri?!" teriak Jongseong kesal. Dia mendorong salah satu pria dengan kasar, lalu menyerbu masuk disusul Karina.

Di ruang kecil bermodalkan lampu dari genset, wajah Seojoon datar. Kedua mata tua itu menatap lurus satu perempuan berambut pendek. Nahyun duduk tenang. Tidak ada minuman sebagai jamuan dari tuan rumah. Nahyun adalah tamu tak diundang, sekalipun dia pernah tinggal tiga tahun di rumah bambu itu.

"Siapa kau?" tanya Jongseong berdiri menjulang di depan Nahyun.

Jongseong amat merindukan wanita itu. Tetapi segala tanya menghujamnya. Kenapa dia ditinggalkan. Kenapa?

"Kau pasti Jongseong." Tangan Nahyun terulur, siap memeluk Jongseong. "Anak sulungku."

"Aku bukan anakmu," elak Jongseong mundur. Dia mendekat ke sisi Seojoon. Tidak sudi berinteraksi terlalu lama dengan Nahyun.

"Sayang sekali, pertemuan pertama setelah bertahun-tahun kita tidak bertemu." Nahyun tidak menyembunyikan ekspresi kecewa. "Seperti yang kukatakan Seojoon-ssi, aku akan bermalam di sini, satu atau dua malam. Di hotel dekat sini. Dan kuberi waktu kau bersama Karina. Setelah itu aku membawanya pulang."

"Aku tidak mau pulang denganmu!" Karina menolak. Dia mendelik ke ibunya.

"Ini bukan rumahmu, Sayang."

"Ini rumahku. Eomma sudah menamparku. Itu sudah cukup sebagai alasan bahwa aku tidak mau kembali ke Seoul!"

"Ayahmu setuju denganku, Sayang. Kau harus menamatkan sekolahmu dulu."

"Tidak mau!"

Karina tampak terluka. Ditatapnya Seojoon, berharap kata-kata Nahyun dusta semata. Nyatanya, Seojoon setuju dengan Nahyun kali ini.

"Appa!" rengek Karina.

"Masuk ke kamarmu, Karina-ya."

Perintah Seojoon tidak bisa dibantah. Pria itu yang punya otoritas atas rumah ini. Karina muak dengan keluarga yang dimilikinya. Karina merasa tak punya rumah. Dia tidak punya tujuan lagi. Ibunya telah menamparnya. Bagaimana bisa dia pulang, jika ibunya adalah monster.

Karina menurut. Dia masuk kamar dengan membanting pintu. Suara tangis menembus pekatnya malam. Gara-gara kekacauan yang dibuat orang tua mereka. Kelahiran Karina adalah kesalahan Seojoon dan Nahyun. Bertahun-tahun, mereka tak pernah mau membereskan masalah.

~~~~~~~~~

Haduuuuuu-----
Kenapa sih pas mereka mau ketemu, malah Karina ditarik pulang ke Seoul. Jungwoon datang nggak ya?

Ihhhhh gergetan deh sama si emak bisa kejam begitu.

Uhhhh~~~~~ yang sabar yes kalo mau nunggu part berikutnya. Karena aku semangat teman-teman suka sama ff aku. Tiap ada vote masuk itu, alhamdulillah sesuatu banget.

Yuk baca FF aku yang lain. Semoga suka :)

Bondowoso, 10 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro