5 Aku Punya Kakak Kembar
Dengan penerangan sekadarnya dari lampu senter, Karina berjalan tersaruk-saruk. Dia menyesal mengenakan celana pendek. Hampir tengah malam dia tiba di pulau yang sunyi. Mereka melangkah di atas dermaga yang dibuat asal-asalan. Kemudian pasir mengambil alih kayu sebagai pijakan. Pulau itu benar-benar gelap total. Lebih mirip pulau berhantu.
Refleks Karina menyambar lengan Sunghoon sebagai perlindungan. Dia tidak terbiasa di tempat gelap yang sunyi. Matanya butuh beberapa menit untuk menyesuaikan diri. Di balik rimbunan pohon bakau, ada siluet rumah bambu. Sunghoon mengarah ke rumah itu dengan cepat.
Perasaan Karina berdesir. Sebab dia menyadari, sosok di dalam rumah bukanlah ayahnya. Karina amat mengenali postur tubuh Seojoon, dan itu bukan postur Seojoon. Melainkan postur tubuh orang lain.
"Hoi... Park Jeongseong!" teriak Sunghoon mengagetkan Karina. Sunghoon menggoyangkan senternya ke jendela yang terbuka.
"Hoi!" sahut suara berat dari dalam menyahut. "Sunghoon, itu kau?"
"Ya, keluar. Ada seseorang yang berkunjung."
Beberapa hal terjadi bersamaan. Suara gedebuk keras seseorang menabrak sesuatu, erangan keras Jeongsong menyumpah gelas yang diinjak dan embusan kencang angin. Rumah seketika menyala, lalu pintu depan menjeblak terbuka. Sosok itu menyipitkan mata pada Karina.
"Siapa kau?" tanya Jongseong menundukkan kepala, berusaha mengenali gadis di belakang Sunghoon.
"Kau, Jongseong Oppa?" tanya Karina ragu-ragu. Dia mengerjapkan mata tak yakin. Kebingungan jelas terpancar di wajahnya. "Benarkah kau kakakku? Atau mungkin aku salah mengenal."
Karina yakin foto Jeongsong yang ditunjukkan ayahnya berhidung sangat mancung, mata kecil seperti Karina dan bibirnya tipis. Postur tubuhnya tinggi ramping dengan badan atletis.
"Apa-apaan ini? Kalian ini adik kakak atau bagaimana? Kau tak setuju kakakmu tak setampan aku?" ledek Sunghoon.
"Apa kau...?" Mata Jeongsong menyipit semakin tajam. Kemudian cengiran lebar tersungging di bibir tebalnya. Dengan cepat Jongseong menuruni empat anak tangga. Dia merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Jongseong mendekap erat Karina penuh haru. Kerinduannya tak terbantahkan.
"Ya Tuhan! Kusangka aku tak akan pernah melihat adik kandungku! Astaga Karina-ya! Kau lebih cantik daripada di foto!"
Bibir Jongseong sukses menghajar kening Karina dengan ciuman sayang. Tapi Karina malah berontak ingin melepaskan diri. Jongseong melepaskan pelukan. Dia menari tak jelas sebagai ucapan selamat datang. Sementara Sunghoon jengah menatap tarian itu. Ini bukan Hawai. Dia sudah sering melihat atraksi yang dilakukan Jongseong setiap Sunghoon singgah ke Bijindo.
Setelah reuni heboh itu, ketiganya masuk ke dalam rumah. Bau cat baru bercampur kayu hangus tampak kentara di dalam ruangan. Rumah itu tampak jauh lebih berantakan dari kelihatannya. Jongseong mengeluarkan makanan dari rak makanan, tetapi belasan ikan kering tumpah ruah menimpa kepalanya.
"Astaga!" pekik Karina terkesiap. Dia tak menduga gaya hidup Jongseong tak ubahnya tarzan yang terdampar di pulau aneh.
Permukaan lantai berdebu. Sebuah TV keluaran tahun 80-an tergeletak lesu di salah satu sudut. Antenanya panjang sebelah menyalurkan satu-satunya stasiun TV yaitu MBC. Itu pun menyala normal jika tidak terhalang mendung.
"Appa pulang paling cepat besok malam. Jadi sebaiknya, eoh... Kau tidur di kamar Appa saja," kata Jongseong menyodorkan kesemek kering. Tawanya tak pernah ketinggalan. Renyah di telinga. Membuat orang lain ikut tertawa.
"Dan kau, pulang saja sana!" Jongseong mendorong bahu Sunghoon kasar.
"Kenapa aku pulang! Ya, aku menunggu bayaran darinya, bagaimana bisa aku pulang tanpa bayaran?!" protes Sunghoon tak terima.
"Akan kubayar nanti. Aku janji!" Jongseong terus mendorong Sunghoon. Keduanya berjalan keluar rumah.
Mau tak mau Karina tersenyum melihat kedua ulah pemuda yang akrab dengan pulau-pulau di sekitarnya. Keduanya tampak dekat satu sama lain, seperti menyatu dengan kepulauan yang tumbuh di pesisir Tongyeong.
Karina yakin dia bakal betah tinggal di sini. Perasaannya menyatakan bahwa inilah kehidupan yang harus dia jalani. Bukan kehidupan penuh aturan ketat boleh dan tidaknya tindakan. Gadis itu mengembuskan napas lega. Kakaknya menyambut Karina dengan tangan terbuka. Jadi Karina merasa punya hak terhadap rumah ini.
Gadis itu melihat seisi rumah dengan senter milik Sunghoon. Rumahnya tak pernah disentuh wanita selama paling tidak seumur hidup Karina. Tak terawat dan serba apa adanya.
Namun, kini tangannya yang akan mengubah rumah ini menjadi lebih hidup.
***
Aroma asin menyambar udara di awal pagi. Karina bangun dengan perasaan segar. Dia beruntung menemukan selimut tebal dari lemari yang berbau apak di kamar Seojoon. Jadi dia tak akan mengeluh soal hawa dingin yang menyergap seluruh tubuhnya.
Isi rumah Seojoon tampak lebih jelas daripada semalam. Karina terganga mendapati sarang laba-laba menghias setiap sudut atap. Pantas saja pagi-pagi Karina sudah terbatuk-batuk gara-gara debu. Di sebelah lemari pakaian, terdapat laci-laci yang keropos dimakan usia. Bertumpuk-tumpuk buku edisi lama terpajang rapi. Hanya kamar Seojoon yang tampak rapi daripada bagian rumah lain.
Karina bangun dari tempat pembaringan yang hangat. Dia melepas jaketnya. Gadis itu menuju ruang utama yang serba multifungsi. Di sanalah penyebab Karina bangun dari lelapnya. Ada bau ramen yang dimasak oleh Jongseong.
"Pagi!" sapa Jongseong ceria. Kakaknya menurunkan panci ramen ke meja kecil.
"Pagi juga. Apa Jongseong Oppa terbiasa sarapan sepagi ini?" tanya Karina melirik arlojinya. Masih jam setengah enam pagi.
"Hanya mengganjal perut. Sarapannya nanti pukul 11 siang."
"Sarapan pukul 11? Bukankah itu makan siang?"
"Makan siang tidak ada. Ke sinilah. Aku buat ramen cup untuk dua orang."
"Tapi di sini tak ada gas," kata Karina melirik dapur. Dia sangat yakin semalam, tak ada kompor gas yang terpasang.
"Memang tak ada. Aku memasak dengan kayu bakar. Hanya merebus air. Dan jika tidak keberatan, kita makan nasi kemarin. Aku sudah menghangatkan," ucap Jongseong menunjukkan penanak nasi yang mengepulkan uap. Tapi alat itu tak pernah mencium stop kontak listrik sekian lama jika tidak benar-benar terpaksa. Genset lebih sering digunakan untuk menyalakan lampu.
Tentu saja Karina terkejut dengan segala keterbatasan tinggal di rumah itu. Tak ada internet. TV pun lebih sering menampilkan ribuan semut alias sinyal buruk.
Dan Karina harus tinggal seperti berada di zaman purbakala.
"Baiklah,"
Karina mengalah. Dia bersila di depan mangkuk yang disediakan Jongseong. Keduanya makan sambil mengobrol. Semalam mereka bertukar cerita selama terpisah. Jongseong tidak melanjutkan kuliah setelah lulus dari SMA di Tongyeong. Dia menjadi nelayan yang hobi menangkap babi laut dan lobster lalu dijual ke pusat kota. Sementara Karina menjelaskan dengan gamblang mengenai konflik besar dengan ibu mereka. Dan Jongseong tak banyak komentar soal ibu mereka.
Jongseong marah kenapa dia tidak diajak tinggal di Seoul juga. Jangankan menjemputnya, mengirim surat untuknya pun tak pernah. Jadi dia pun mengizinkan Karina tinggal lama di rumah kayu mereka. Jongseong sangat terbuka pada siapapun yang merasa dirugikan oleh ibu mereka.
Dan obrolan lanjutan kali ini mengarah ke rencana mereka untuk menjelajahi pulau ini. Karina mencatat beberapa hal yang harus ada di rumah, terutama stok makanan yang luar biasa expired disimpan Jongseong. Begitu ayah mereka pulang, Karina ingin membuat masakan ala rumah. Bukan makan makanan serba instan yang tak baik untuk kesehatan.
"Kau yakin tak ingin pulang ke Seoul?" tanya Jongseong kembali mengangkat topik itu pada tengah hari.
Mereka menjelajahi hutan kecil yang tumbuh di pulau itu. Di punggung Jongseong terdapat belasan ranting kering sebagai persediaan kayu bakar. Karina memungut salah satu kayu dan meletakkan di punggung Jongseong yang menyandang semacam tas kayu bakar. Bentuknya unik, hanya rangka kotak dari kayu yang dirajut dengan jaring. Dan ukurannya lumayan besar.
"Aku harap, pulang ke Seoul dengan Jongseong Oppa dan Appa. Aku tak mau sendirian di sana," kata Karina parau.
"Tapi siapa yang menjaga Eomma? Aku di sini juga karena menjaga Appa," timpal Jongseong tanpa nada menghakimi.
"Sudah ada dua pria sebagai keluarga barunya. Dan aku hanya ada dua pria yang harus kujaga. Kalian, Jongseong Oppa dan Appa," jawab Karina yakin.
"Sebenarnya, kau punya satu kakak lagi," ralat Jongseong muram.
"Masa?" tanya Karina bingung.
Nahyun dan Seojoon tak pernah menjelaskan apapun soal kakak Karina yang lain. Dia hanya tahu satu kakak, itu pun Jongseong namanya.
"Tepatnya saudara kembar." Jongseong menjelaskan. Matanya setengah menerawang. Pria berusia 26 tahun ini tidak tahu gejolak yang mendera Karina. "Ah, aku punya fotonya. Tunggu sebentar!"
Jongseong mencabut charger ponsel flap yang nge-trend di tahun 2003. Dia sibuk mencari gambar beberapa menit kemudian, lalu menyodorkan pada Karina.
"Mungkin kau tak pernah tahu, tapi dia tinggal di Seoul."
"Oppa," panggil Karina masih terguncang. "Anak ini," kata Karina ragu-ragu, "Aku pernah melihatnya. Semalam, dia memberi aku minuman, lalu pergi begitu saja. Aku tak salah mengenal. Dia..."
Air mata tumpah ruah. Ada semacam kerinduan yang merebak di sekujur tubuh. Pantas saja di kala tertentu, Karina memiliki perasaan asing yang tak bisa dijelaskan. Terkadang dia menangis di tengah bioskop yang menayangkan film komedi. Terkadang pula dia tertawa di tengah pemakaman seseorang.
Mulanya Karina mengira dirinya punya kelainan jiwa. Lalu dipeluk dadanya sendiri. Perasaannya menghangat. Ini bukan hal yang mencurigakan. Bila punya hubungan terikat yang tidak kasat mata. Dan itu adalah hubungan telepati. Sejauh apapun saudara kembar dipisahkan, perasaan seseorang akan dirasakan oleh yang lainnya.
Pantas saja, dada Karina berdesir hebat. Bukan semata dia naksir musisi yang memberi Karina minuman kala tersedak. Itu adalah euforia. Ikatan darah yang berjumpa satu sama lain. Persis dua magnet yang memiliki medan magnet yang sama.
"Ceritakan padaku. Bagaimana kita terpisah seperti ini? Kau, aku dan dia," pinta Karina penuh harap.
"Kau tahu, orang tua kita tidak menikah, tapi tinggal bersama. Sebelum bertemu appa kita, eomma menikah dengan seseorang. Ah entahlah menikah atau bohongan. Eomma punya ikatan dengan orang lain. Lalu dia kabur dari Tongyeong, mengejar appa. Dia tak peduli mantannya membunuhnya. Eomma hanya ingin ikut appa. Di pulau ini lahirlah aku. Satu tahun enam bulan kemudian, pada bulan April, kalian lahir. Park Jungwoo dan Lee Karina. Tadinya namamu Park Karina, sekarang berubah mengikuti nama marga Eomma."
"Berubah lagi. Mengikuti marga suami baru Eomma. Dan bulan kelahiranku April."
"Kapan kau lahir?
"11 April," jawab Karina mantap.
"Tidak, kau lahir 09 Februari, itulah kebenarannya. Namun, saat itu keluarga kita benar-benar miskin. Jadi eomma bersedia menyerahkan Jungwoon ke seseorang yang sangat menginginkan anak. Sepasang suami istri yang sepuluh tahun menikah tak punya anak. Jadi itulah ceritanya, Jungwoon diadopsi orang lain.
"Lalu suatu hari ada orang asing datang ke rumah ini. Dia membawa Eomma dan kau. Hari itu aku dan Appa sedang mencari sidat untuk makan malam. Begitu pulang, rumah ini kosong melompong dan sangat berantakan. Aku tahu ada kapal putih yang membawa kalian. Aku mengejar kalian sampai ke tepi pantai. Tapi Appa memelukku. Berkata bahwa inilah takdirnya. Eomma kembali ke kehidupan lamanya. Sebagai istri walikota di Seoul. Akhir ceritanya begitu."
Jongseong bertepuk tangan satu kali dengan keras lalu tertawa terbahak-bahak.
"Aigoo.... Aku menyesal harus menceritakan kisah ini. Ini adalah aib Eomma yang berpikiran pendek mengejar cinta sejati. Tapi cinta itu tak bisa membuatnya bebas dari finasial. Nah, Karina-ya, kau mau berlayar? Atau tidur di rumah saja? Aku nanti sore pulang. Ah, kuharap kau tidak bermain dengan gas dan genset. Terakhir kalinya, aku membakar rumah ini tanpa sengaja," tutur Jongseong mulai mengeluarkan sesuatu dari pantry.
"Aku di rumah saja," kata Karina mengamati rumah yang luar biasa mengerikan untuk dipandang. Jika menganggap rumah serba bambu ini rumahnya sendiri, gadis itu harus membereskannya agar tampak layak huni.
"Oppa, kapan kira-kira kita ke kota?" tanya Karina baru ingat sesuatu. Dia ingin membeli beberapa keperluan mendasar.
"Hm... Minggu depan. Kenapa?"
"Bagaimana kalau kita pergi hari ini?"
"Ah... Tapi..."
"Tidak setiap hari kita makan ramen, kan? Lagi pula aku harus membeli baju ganti. Dan terutama pembalut sebagai jaga-jaga."
Pipi Jongseong merona. Pemuda itu buta soal wanita. Tak heran kata pembalut membuat Jongseong kelabakan. Baginya kata itu terlalu asing untuk dijangkau. Mau tak mau, Karina menertawai kelakuan Jongseong yang agaknya polos.
"Ba... Baiklah. Tapi aku tidak disuruh mengambil roti merah itu kan?" tanya Jongseong semakin kikuk.
"Roti merah?" tanya Karina semakin tak mengerti.
"Maksudku.... Pembalut itu."
"Hahahahaha.... Perumpamaan yang sangat bagus. Dapat dari mana kata-kata itu?"
"Ah.. Seseorang bilang begitu." Jongseong berkilah. Tak ingin membahas lebih dalam lagi bagaimana dia menemukan kata kiasan untuk pembalut.
"Baiklah. Aku segera cuci muka. Setelah ini kita berangkat."
Jongseong menganggukkan kepala setuju. Setelah menyelesaikan sarapan ala kadarnya, mereka menaiki kapal yang sama seperti yang ditumpangi Sunghoon semalam. Namun, aroma kapal putih ini lebih pekat. Tembakau dipadu dengan mint, tak lupa ada bau amis ikan. Mau tak mau Karina merasa mual dengan aroma ini. Dia lebih suka meminjam kapal milik Sunghoon.
"Omong-omong soal teman Oppa semalam, dia sering ke sini?" tanya Karina ingin tahu.
"Sunghoon? Ah.... Ya. Setiap kali dia suntuk, pasti berlayar ke mari. Kadang-kadang aku yang mampir ke rumahnya. Kenapa kau menanyakan soal dia?"
"Tidak apa-apa. Aku akan mencairkan uang lalu membayar tumpangan semalam," kata Karina.
Adik bungsu Jongseong pun memandang cakrawala serba biru. Sejauh mata memandang, semua yang dilihatnya serba biru. Langit amat cerah. Laut yang tenang. Dan dia bersyukur tidak menumpang kapal, pertama kalinya berada di badai dalam perjalanan pulang.
"Ehei... Biarkan saja. Oppa yang akan membayar untukmu. Seandainya aku bisa menjemputnya, aku harus menyembunyikan kau dari Sunghoon."
"Kenapa?" balas Karina yang bertanya.
"Tentu saja aku tak suka punya adik ipar menyebalkan," gumam Jongseong. Pemuda itu tidak menyembunyikan kejengkelannya. Terang-terangan mendengkus kasar.
Mau tak mau, ini mengingatkan pada Daniel yang mengungkit soal kakak ipar. Itu artinya Karina punya tiga kakak. Dua kakak kandung dan satu kakak tiri yang membencinya.
Dan artinya, kebencian Heesung selama ini– sebatas dia tahu—Karina adik tiri dari wanita yang paling dicintai ayah kandung Heesung. Dan ibu kandung Heesung bukan wanita yang dicintai Sangyeob dengan tulus. Hanya alat stabilitas kehidupan ayah Heesung. Berhubung dia mati, maka Sangyeob bebas menikahi Nahyun.
Aroma di kapal sukses mengombang-ambingkan pikiran Karina kembali ke Seoul. Bisa-bisanya dia memikirkan orang yang jelas membenci Karina seumur hidup. Karina menarik napas dalam-dalam. Ketenangan mampet. Aroma busuk yang berasal dari salah satu kotak gabus penyebabnya. Kotak berisi gurita busuk yang lupa dikeluarkan Jongseong.
"Bukankah kau senang ada tambahan keluarga dalam kehidupan kita?" lanjut Karina.
Lebih baik dia bicara, dari pada diam mematung, menghisap aroma yang bakal meledakkan lambungnya sendiri.
"Dengar ya, aku senang kau di sini. Tapi masa aku senang memilikimu sebagai adik lajang beberapa saat? Tunggu sampai Oppa punya pacar, baru kau boleh punya juga."
"Harus begitu?"
"Tentu saja!"
"Apa-apaan itu?"
Keduanya serentak tertawa. Satu kesamaan mereka sebagai anak Seojoon, tidak punya pacar. Itu adalah hal yang positif. Tak ada orang lain yang bakal mengusik mereka dalam waktu dekat. Kecuali Sunghoon yang bakal mengganggu Karina bila mereka bertemu.
"Haruskah aku mengenalkanmu ke seseorang?"
"Ya, boleh kalau kau punya gadis tipe idealku."
"Seperti apa tipe idealmu?"
"Hm..." Bibir Jongseong mengerucut. Wajahnya tampak serius. "Rambut ikal, kulit coklat eksostik. Mata lebar. Tidak terlalu kurus seperti penderita aeroknesia. Tidak terlalu gemuk. Yah... Pokoknya gadis manis yang bisa menjadi pendengar baik dan ramah pada siapapun. Menyenangkan sekali."
Hanya ada satu gadis yang menarik dalam benak Karina. Dan gadis itu amat cocok disandingkan dengan Jongseong. Lee Hyejin yang mempesona. Dia adalah penyanyi yang bakal debut beberapa bulan lagi.
"Baiklah. Aku akan mengenalkan kalian."
"Jinjjayo?" lengking Jongseong tidak percaya.
"Eoh... Hei kemudikan motornya dengan benar! Kalau kau menari tak jelas, kau bisa menabrak karang dengan sembarangan. Aku tak mau jadi korban Titanic!" tegur Karina semakin was-was melihat Jongseong melompat tak jelas.
****
~~~~~~~~
Curhat dikit nih.
Ini Sosok Sunghoon aslinya aku visualin dia adalah Jang Dongwoo. Dinosaurus. Heboh. Ceroboh. Dan berbibir tebal (entah kusebutin apa nggak yang terakhir ini).
(Sebelumnya, FF ini pakai Kim Nana sebagai original characterku. Bisa mampir baca FF Kim Nana di inspiritauthor, lalu diubah menjadi Kwon Eunbi dan kini jadi Karina)
Gak sengaja nemu video Kwon Eunbi duet sama Dongwoo di That Summer 3 (2016), bawain Embedded in Mind di bagian solo part. Kebetulan pas waktu itu, Dongwoo dijadikan tokoh Jang Woo Dong di webtoon Lookism. Komikusnya kebetulannya lagi, sohibnya Dongwoo. Makanya terciptalah lagu itu. Dengerin ya.
Lagunya enak, masuk list favoritku.
Eunbi ini sudah lama jadi trainee di agensi Woollim. Cuma aku ga ngeh, Eunbi ini yang duet sama Dongwoo.
Gara-gara fancam masternim kesayangan buay stalk Bang Dino, yeaaa~~~~
Aku jadi labil mode on. Pengen balikin Sunghoonjadi Dongwoo. Tapi males buat rombak ulang. Huhuhu~~~~ Karena FF ini secara keseluruhan, pas proses nulis akhir tahun 2016an, kudedikasikan buat Sunggyu, Myungsoo dan Dongwoo. Eaaakkkk.
Tapi sudahlah. Uda kun fayakun. 2016 berlalu. Kali ini sudah 2018. Mau ganti tahun. #GantiSuasana2019 eh 2021.
Hohoho~~~~ nikmati aja apa yang ada.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro