4 Kapal
Perjalanan ditempuh selama dua jam dengan naik bus. Badan Karina remuk duduk dengan kaki tertekuk. Dia naik bus pertama antar kota yang menurunkan Karina di dekat lokasi wisata Kereta Gantung Hallyeosudo. Gunung Mireuksan tampak hebat. Menjulang perkasa dengan hijau membentang. Gugusan Hallyeo Haesang menyembul di tengah perairan.
Kim Minjeong menjemput Karina di halte. Dia menawari Karina sarapan di rumahnya, namun gadis asli Seoul itu menggelengkan kepala.
"Maafkan aku, Minjeong-ssi, bukannya aku tidak sopan dengan kebaikanmu. Tapi aku agak buru-buru harus bertemu seseorang." Karina tak enak hati menjelaskan.
Raut gusar tampak jelas di wajah adik kelas Karina. Minjeong yang tiga tahun lebih muda itu menganggukkan kepala pengertian.
"Jadi bagaimana aku harus membantumu, Eonni?" tanya Minjeong.
"Wah, ada banyak pulau. Tapi aku tak tahu pulau mana ayahku tinggal," gumam Karina kecewa.
Dia menyesal tak pernah tahu rumah ayahnya. Seojoon selalu datang di Seoul, menghabiskan waktu paling maksimal tiga jam dengan Karina untuk sekadar makan di luar. Tapi mengunjungi rumah Seojoon, Karina bagai menyelami segitiga bermuda. Hanya kehampaan yang dia terima.
"Aku pikir Tongyeong hanya kota kecil." Lagi-lagi Karina bergumam putus asa.
Minjeong tersenyum, "Tongyeong cukup besar. Apa Karina Eonni yakin, ayahmu tinggal di pulau?"
Karina mengangguk lesu.
"Di sini ada beberapa pulau. Geojedo, Somaemuldo, Saryangdo, Hansando, Bijindo, dan Oedo. Kau harus menyewa kapal untuk menyeberangi pulau-pulau itu. Di sini ada layanan antar pulau. Hanya saja Eonni harus menunggu beberapa jam untuk pergi ke pulau-pulau itu. Apa kau ingin pergi secepatnya?"
Karina mengangguk kecil "Berapa biayanya?"
Pipi Minjeong memerah. Dia tak nyaman membicarakan sesuatu yang dia tak tahu. Aura Karina membuat Minjeong selalu merasa segan.
"Apa Eonni mau kukenalkan pada kakak sepupuku? Mungkin dia mau membantumu," ucap Minjeong tersenyum, dikendalikan perasaan gugup. Dia takut salah bicara di depan Karina.
"Kau baik sekali, Minjeong-ah. Bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu?"
"Ah, tak usah. Sebaiknya kita bergegas. Kakak sepupuku, biasanya masih di rumah sebelum jam delapan."
***
Seperti biasa, Sunghoon masih meringkuk di kasur lipat. Dia tampak nyaman di balik selimut. Acara semalam melelahkan sekali. Dia pergi ke Bijindo untuk membantu Joongseong bongkar pasang rumahnya yang mirip sarang ular.
Ayah Joongseong hampir dua minggu di laut, berlayar mengarah ke Jepang untuk menangkap ikan. Praktis Joongseong merasa bebas di rumah. Dia membuat berbagai eksperimen makanan laut di dapur seorang diri. Sialnya rumah mereka separuh terbakar gara-gara gas meledak. Dan begitu ayah Joongseong pulang, pemuda setengah sinting itu bakal mampus dihajar.
Hanya ekspresi Joongseong yang membuat hati Sunghoon luluh. Pemuda itu mengiyakan permintaan Soonyoung. Jadi pagi ini dia terkapar kelelahan. Untuk merenovasi rumah Joongseong dibutuhkan tiga hari bolak-balik dari tenggara Tongyeong ke Bijindo lalu balik ke Tongyeong. Kedua orang yang beranjak usia dewasa itu harus membeli banyak peralatan dan perlengkapan.
Hari ini dia ingin tidur seharian lagi. Melepas dendam tidur setelah hampir 36 jam matanya tidak istirahat.
"Sunghoon-ah!" panggil ibunya sengaja menarik selimut Sunghoon.
"Eomma, biarkan aku tidur sebentar. Uh, padahal baru tidur tiga jam!"
"Bangunlah. Ada gadis cantik di depan!" desis ibunya.
Mendengar gadis cantik, serta merta mata Sunghoon mengerjab lebar. Dia bangkit dari bantalnya. Duduk tegak sempurna. Dibenahi rambutnya agar rapi. Kedua tangannya lalu mengusap wajahnya, dia berharap wajah bared tidak akan membuat si gadis cantik kabur ketakutan.
"Di mana?" tanya Sunghoon semangat.
"Dasar kau ini! Nah temui Minjeong sana. Dia membawa teman yang sangat cantik!"
Sepasang anak dan ibu itu pun keluar dari kamar Sunghoon. Nyonya Park kembali sibuk dengan bahan makanan di dapur, sementara Sunghoon menuju beranda.
Di sana dia melihat untuk pertama kalinya. Meskipun dia terlihat sangat capek dengan dua lingkaran menghiasi matanya, namun teman adik sepupunya memang cantik. Ibu Sunghoon tak salah menilai wanita.
"Minjeong-ah, ada apa?" tanya Sunghoon pada Minjeong, namun matanya tertuju lurus pada gadis berwajah kusut itu.
"Ini kenalanku dari Seoul. Dia datang mencari ayahnya di daerah sini. Namun, tak tahu tepatnya pulau yang mana ayah Karina Eonni tinggal. Eonni, ini dia yang kumaksud. Dia bisa membantumu mencari," kata Minjeong menjelaskan dua maksud sekaligus ke dua orang yang berbeda.
"Kenapa bukan kau yang menemaniku?" tuntut Karina.
"Maafkan aku, tapi aku gampang mabuk laut. Jadi kakak sepupuku yang kurasa bisa menolongmu."
"Jadi aku harus menemanimu keliling pulau mencari ayahmu?" tanya Sunghoon santai.
Karina masih memandang ragu-ragu ke Sunghoon. Dia tidak yakin dengan keputusan yang disusun Minjeong.
"Berapa bayaran yang akan kau berikan padaku?"
"Sepantasnya yang kau terima," ucap Karina hati-hati.
Sunghoon menyeringai. Dia suka gadis tipe semacam ini. Memiliki wajah cantik yang kepribadiannya sok penting. Membuat Sunghoon semakin penasaran saja dibuatnya
"Sepantasnya? Apa sebanding dengan kepuasan yang kau peroleh bila uang tak bisa ditukar dengan kebahagiaan?"
"Uang bukanlah segalanya. Tapi segalanya butuh uang. Realistis saja. Aku akan membayar sesuai yang kau butuhkan untuk perjalanan mencari ayahku."
"Sebaiknya tak usah, Nona dari Kota Besar. Telepon saja polisi, maka ayahmu langsung ditemukan. Dunia ini serba ajaib. Apapun yang kau inginkan, pasti muncul," dengkus Sunghoon.
"Oppa!" tegur Minjeong. Dia memelototi kakak sepupunya yang terus menggoda Karina dengan kata-kata sarkastik.
"Apakah satu juta won cukup?" tanya Karina tenang, tanpa ekspresi.
Baik Minjeong dan Sunghoon tercengang. Karina tak kelihatan punya banyak uang. Gadis itu menatap Sunghoon, tak sabar dengan perundingan alot. Sikap main-main Sunghoon berakhir sudah. Gadis itu kelewat serius.
"Apakah uang bukan segalanya, Nona Besar? Kenapa mudah sekali kau membuang uang?" Sunghoon terang-terangan menguap lebar. Dia tak tahan terjaga meskipun di depannya ada gadis cantik.
"Tarif kapalku paling murah daripada kapal yang lain. Tapi pertama, aku butuh tidur. Kedua tangki solar kapalku habis. Dan aku harus ke pusat kota untuk membeli bahan bakar. Jadi kalau kau tak sabar, silahkan mencari nelayan lain yang bisa kau mintai bantuan."
Sunghoon bersikap acuh tak acuh. Dia merentangkan kedua tangan.
"Minjeong-ah, beritahu temanmu, hati-hati simpan uang. Jika orang lain mendengar, si Nona Besar bakal dibuang di laut." Sunghoon mengingatkan, lalu masuk ke dalam rumah lagi.
***
Karina duduk di salah satu restoran. Dia bosan setengah mati menunggu sore muncul. Namun, beberapa jam lagi sudah masuk senja. Akhirnya diputuskan dia lebih suka duduk di salah satu restoran yang menjual makanan laut.
Gadis itu memilih makan lobster sendirian. Minjeong pulang ke rumahnya untuk membersihkan diri. Begitu Karina sampai di Tongyeong, Minjeong langsung keluar menjemput Karina tanpa sempat mandi. Dia menyampaikan ucapan semoga cepat bertemu ayahnya. Setelah memastikan janji Karina bakal mengunjungi rumahnya, Minjeong pun segera pulang.
Sudah belasan kali Karina melirik arlojinya. Dia berharap Sunghoon sudah menyiapkan bahan bakar yang cukup untuk perjalanan laut. Karina sudah mengeluarkan uang yang dititipkan Minjeong. Sunghoon harus sudah siap sedia begitu muncul di depan Karina.
Namun, untungnya Karina orang yang termasuk gigih menunggu. Tepat jam tiga sore, Sunghoon muncul di depannya dengan wajah segar. Samar-samar Sunghoon berbau bahan bakar. Mungkin dia baru saja membeli solar di tempat pengisian bahan bakar.
"Baiklah, kita berangkat sekarang. Tapi beritahu aku, siapa keluargamu yang ingin kau temui?"
"Namanya Park Seojoon."
"Kau memang gadis yang sangat beruntung. Bagaimana bisa pencarianmu sangat mulus. Ah, itu mudah. Kau bertemu orang yang sangat tepat. Tapi sebaiknya, kupertemukan dulu dengan seseorang."
"Aku tak ingin bertemu siapapun kecuali ayahku."
"Kau yakin? Bagaimana jika ayahmu tak ada di rumah?"
"Akan kutunggu sampai dia pulang."
"Sungguh keras kepala. Aku yakin dia pulang dua minggu lagi."
"Tetap kutunggu," sambar Karina, mulai terganggu dengan sosok Sunghoon yang banyak bicara.
Sunghoon nyengir lebar. Dia mengajak Karina ke dermaga di mana deretan kapal berbagai ukuran terparkir dengan jangkar ditambatkan. Pemuda jangkung itu tanpa ragu melompat ke salah satu speedboad putih. Dia mengeluarkan kunci dari saku kemeja.
Dengan hati-hati, Karina mengikuti Sunghoon. Dia berdiri di belakang Sunghoon yang sibuk mengemudikan speedboat. Burung camar berkelebatan di langit yang biru. Karina mengagumi keindahan Tongyeong yang tampak alami.
Speedboat mulai bergerak lambat mengarungi permukaan laut. Ombak mengempas malas. Untungnya lautan jinak. Sunghoon bisa mengemudikan speedboad dengan mudah. Dia paling angkat tangan jika badai mengamuk di lautan.
"Cantik," gumam Karina. Mata Karina menyusuri sebuah pulau mungil yang serba hijau.
"Relatif. Pulaunya tidak cantik," timbrung Sunghoon ogah-ogahan.
"Itu karena kau setiap hari melihatnya. Jadi biasa," bantah Karina belum puas mengamati pulau yang naik turun dalam pandangannya. Dari speeadboat, pulau itulah yang bergoyang. "Tapi bagaimana dengan wanita cantik?" tanya Karina, ingat bagaimana ibu Sunghoon mengungkit gadis cantik tadi pagi.
"Relatif juga. Terkadang membosankan. Seperti kau."
"Aku membosankan?"
"Wanita, terutama sepertimu, hanya cantik dalam satu kali pandangan. Sama seperti pemandangan di depan kita. Hanya pandangan pertama yang menarik perhatian. Selebihnya gampang terlupakan."
"Begitu?"
Karina mengamati tajam-tajam ke Sunghoon. Anehnya keterbukaan Sunghoon tidak menyinggung perasaannya. Bahkan Karina tersenyum kecil menanggapi opini itu.
"Ya, tidak semua orang ingin menarik perhatian."
"Jadi kau benci menjadi cantik?"
"Ya, aku benci hal itu."
"Kau ini aneh. Seharusnya bersyukur memiliki wajah cantik. Nah, Nona Besar, turun ke bawah. Nikmati pemandangan bawah laut yang bagus. Aku harus konsentrasi mengemudi. Bila banyak bicara, aku khawatir kita tidak akan sampai ke tempat tujuan dengan kecepatan normal."
"Kau memang banyak bicara. Luruskan saja pandanganmu ke depan. Jangan melihatku terus."
Karina dan Sunghoon saling melempar senyum. Kemudian Karina turun di lantai bawah melalui pintu tingkap di belakang Sunghoon. Ruangannya cukup nyaman untuk ditiduri. Deretan kursi dengan bantal-bantal yang empuk. Lantai kaca memamerkan aneka kehidupan makhluk laut. Pemandangan itu tidak mampu menghalau kantuk yang menyerang hebat. Dia pun tertidur, melupakan letih yang menyergapnya tiba-tiba.
Seandainya dia merasakan kebebasan yang utuh, mungkin ini tempatnya. Menyusuri perairan sambil menyandarkan kepala di atas tumpukan bantal. Dan untuk pertama kalinya, Karina merasa nyenyak tidur. Perasaannya seperti pulang ke rumah yang sesungguhnya.
~~~~~~~
Ecieeeee, debat sama Sunghoon. Bakal seperti apa kelanjutannya? Ditungguin saja. Aslinya aku gergetan pengen cepet share semua part, biar yang baca gergetan langsung khatam.
Tapi ga seru kalo dipost sekaligus.
Jangan lupa vote komen ditunggu. See you again.
~~~~~~~~
Bondowoso, 6 Agustus 2021
16:20 WAKTU INDONESIA BAHAGIA
Tetep jaga kesehatan ya, Gaes.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro