13 Kau Kakakku
"Sudah kubilang aku bisa melacakmu." Heesung berpuas diri. Tampak bahagia bisa memergoki Karina bersembunyi di balik bangku.
Semilir angin mempengaruhi suasana Heesung. Pemuda itu tersenyum manis memamerkan kehebatan teknologi yang dimiliki ponselnya.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Karina judes.
"Duduklah." Heesung memerintah. Tangannya diketukkan ke bagian bangku kosong.
"Kita selesaikan masalah kita, Karina-ya. Rumah kita semakin tidak harmonis. Dan aku harap kau mau membantuku. Kau adikku sekarang."
"Wah senangnya, punya kakak yang baik hati dan peduli keluarga," sambar Karina bertepuk tangan. "Banyak sekali pria yang tertarik padaku. I am in love. Padahal hatiku tidak pernah ke hati mereka."
"Benarkah?"
"Eoh. Dan aku tidak butuh itu. Aku hanya ingin cinta dari keluarga yang normal."
Heesung mendesah berat. "Memangnya kau tidak tahu aku menginginkan hal yang sama?" katanya pelan.
"Hm?"
Mata Heesung menembus lapisan gelap langit.
"Mendiang ibuku amat menderita sebelum menikah dengan Aboji. Dia tahu pernikahannya tidak akan pernah indah seperti bayangannya. Eomma sangat bersyukur dengan kelahiranku. Harapannya, Aboji bakal peduli pada Eomma. Sebaliknya, Aboji semakin menjauh. Dia mencintai wanita si cinta pertamanya yang lari ke sebuah pulau. Ketika Eomma sekarat, Aboji mengejar ibumu di sebuah pulau. Apa kau bisa membayangkan, bagaimana hancurnya hati kami, melihat kebahagiaan pria egois di atas penderitaan kami?"
Karina bungkam. Dia menyimak. Mungkin ini saatnya untuk membuka pintu hati seseorang yang terluka. Karina tahu, Heesung tidak pernah seterbuka ini mengenai perasaan terdalamnya. Sesak yang dialami Heesung tidak sepadan dengan masalah Karina.
Karina merasa berempati dengan kakak tirinya. Pemuda itu haus kasih sayang. Sikap dinginnya tak ubahnya benteng kokoh untuk melindungi sendiri.
"Aku tahu ini bukan salahmu. Sebagai anak dari wanita yang Aboji khianati cintanya, aku sangat membencimu. Setiap hari, aku memikirkan cara, bagaimana untuk membunuh kalian. Sangat tidak adil bagiku, melihat kalian memperlakukan aku dan aboji sangat baik. Suatu hari aku panik menyadari perasaanku tidak lagi benci. Aku menyukaimu. Aku tahu perasaan ini tidak boleh kuteruskan. Jadi aku pergi ke Jepang."
Heesung menggelengkan kepala. Tak pernah siap membuka hati lebih lanjut. Namun dia harus bicara.
"Kita ini memiliki satu kesamaan. Membenci orang tua masing-masing. Aku dengan ayahku. Kau dengan ibumu. Tak ada pembalasan untuk kebahagiaan orang lain. Jadi mungkin ini waktunya kita menerima kehidupan ini. Toh kita bukan anak-anak lagi."
"Kita memang bukan anak-anak lagi." Karina mengangguk.
"Tetapi, pikiran kita terus berkembang. Dan aku tidak bisa mengikuti ego Eomma. Alasan aku marah, kenapa harus ada banyak korban dari kehidupan manis ayahmu dan ibuku?" tuntut Karina semakin gusar.
"Hanya satu hal yang ingin kusampaikan padamu. Orang tua selalu tahu yang terbaik untuk anak-anak mereka. Namun, kita sebagai anak tak pernah tahu jalan terbaik yang harus ditempuh. Membenci orang tua kita tidak akan pernah bisa mengubah keadaan. Justru hanya sakit yang akan membayangimu seumur hidup."
"Terima kasih untuk nasihatmu," ucap Karina belum bisa memahami. Tidak, dia tidak ingin memahami.
"Paling tidak, kau masih memiliki banyak orang yang mendukungmu. Ayo kita temui kakakmu." Heesung mengajak, getaran suaranya penuh sembilu.
Anehnya Karina terluka dengan suara itu. Iba. Karena kehadirannya hanya menjauhkan Heesung dengan ayah kandungnya. Lebih memilih menghabiskan waktu dengan putri tirinya.
Terkadang, cinta memang tak kenal adil. Sama dengan maut. Tidak pandang bulu. Apa saja bisa direnggut. Apa saja gampang direngkuh. Bisa menyatukan satu sisi. Bisa pula menjauhkan sisi lainnya.
Tak heran, banyak orang yang benci untuk terluka.
Salah satunya Lee Heesung. Yang mendekap dirinya sendiri. Rindu keluarga yang tak pernah dimilikinya. Rindu akan arti keutuhan cinta yang sebenarnya. Dia berjarak dari bagian keluarga sambungan. Memiliki ibu dan adik tiri tidak cukup mengisi celah kosong yang ditinggal ibunya.
Tangan Karina terulur. Dia mendekap bahu Heesung sebagai dukungan. Mereka saling memberi kekuatan.
"Maaf," gumam Karina. Sesal telah menghantuinya. Dia tak pernah bisa melakukan apapun untuk Heesung.
Mungkin ini jalan akhirnya. Mencoba menerima kekosongan itu. Heesung sedang berusaha menerima takdir yang ingin dilawannya. Bila Karina tak bisa dimiliki sebagai wanitanya, tak apalah sebatas saudara.
"Untuk apa?" pancing Heesung, sungguh-sungguh tidak mengerti.
"Karena segalanya. Karena mengambil hatimu, tanpa tahu kau sangat kecewa denganku. Jeongmal mianhae."
Heesung balas mendekap Karina. Gadis itu merasa hangat berada dalam pelukan Heesung. Tenang menentramkan. Dan itu yang dia butuhkan. Pelukan saling mengerti.
***
"Oppa!" Karina menghambur ke dekapan Jongseong. Dia merasa lega bertemu dengan kakak sulungnya.
"Ah, kau kembali!" Jongseong menyambut antutias. Namun, matanya tidak antutias dengan kedatangan orang di belakang Karina.
Sepak terjang Heesung sudah dia dengar. Dan dia hutang satu tinju untuk saudara tirinya.
"Ah ya. Ini kakak kita yang lain."
"Emm," sahut Jongseong rikuh. Terbiasa bersikap sopan dengan sosok yang lebih tua sukses menghancurkan hutang tinjunya.
Alih-alih remuk, Heesung menghadapi hormat seseorang. Jongseong membungkukkan badan, menyapa dengan baik.
"Ah, maaf tidak menyapamu duluan." Jongseong memberi tempat duduk untuk Heesung. Perilakunya bak kasim terhadap raja pada era Joseon.
Sunghoon dan Jungwoon berpandangan. Satu jam terakhir kedua orang itu mendengar tekad Jongseong untuk menghajar Heesung. Nyatanya sangat berseberangan.
Heesung duduk diapit Karina dan sosok jangkung Sunghoon. Pemuda itu agak terintimidasi dengan pandangan Sunghoon. Dia tidak merasa Karina memiliki saudara seperti Sunghoon. Agak liar.dan tidak mirip sama sekali daripada Jongseong maupun Jungwoon.
"Siapa kau?" tanya Heesung sekedar basa-basi.
Yang ditanya bungkam seribu bahasa. Sunghoon sendiri tidak tahu apa hubungannya dengan Karina. Dia tidak bisa mengklaim Karina lebih dari kata teman. Apalagi kakak-kakak Karina mengelilingi gadis itu.
"Ah, dia hanya teman."
Sunghoon lega dengan interupsi dari Jungwoon. Saudara kembar Karina menatap dingin Heesung. Agak tidak terima dengan kehadiran Heesung. Pemuda itu belum bisa memaafkan kejadian semalam, Karina dibawa pergi begitu saja oleh Heesung.
Pandangan adiknya semakin kosong. Kelelahan dan berantakan. Wajahnya sudah pucat kurang istirahat. Jungwoon yakin, Karina seperti ini karena Heesung.
"Oppa, tolong kibarkan bendera putih, eoh," pinta Karina hati-hati. Tangannya membentuk huruf V. "Kita, kan, sudah damai. Nah, kenapa kalian nekat ke sini?"
Sunghoon, Jungwoon dan Jongseong saling berpandangan. Lalu tatapan mereka berakhir pada Heesung dengan ekspresi yang sama.
"Baiklah, aku pergi." Tahu apa yang dimaksud, Heesung buru-buru bangkit dari tempatnya. Namun, Karina menahan lengannya.
"Tidak. Kau di sini. Kau kakakku sekarang."
"Tapi..."
Karina mengabaikan penolakan Heesung. Ditatapnya kedua saudaranya tanpa memperhatikan apapun lagi.
"Bicaralah, ada apa?" desak Karina tidak ingin dibantah.
"Sebenarnya..." Jongseong angkat bicara.
"Andwae!" cegah Sunghoon disahuti gelengan kepala Jungwoon.
Seperti halnya Karina, Jongseong malah mengacuhkan. "Kami ingin menculikmu."
"Menculik?" Karina tercengang.
"Iya. Kita bisa tinggal bersama di tempat lain, sebagai keluarga yang sesungguhnya. Kau tidak pernah bahagia dengan ibumu." Jongseong terus berceloteh, menyampaikan ide cemerlangnya.
"Ibuku juga ibumu." Karina meringis.
"Jangan khawatir. Aku yang akan melindunginya," kata Heesung tenang.
Empat pasang mata menghunus Heesung. Terkejut dan tidak percaya sama sekali.
"Yaksokhae?" tanya salah satu saudara Karina, skeptis dengan janji itu.
"Ayo kita pulang ke rumah." Heesung menarik tangan Karina. "Rencana bodoh kalau kau ikut mereka," gumam Heesung, kemudian dia menatap para pemuda satu per satu dengan tatapan ramah. "Aku akan mengundang kalian lain kesempatan. Tapi izinkan aku membawa adik kalian pergi lagi."
"Oppaaaa...."
"Kita sudah berdamai satu sama lain sebagai saudara. Nah selesaikan pula masalah yang kau tinggalkan di rumah. Kalau kita tidak dewasa, kapan kita mengubah hati orang tua kita, Karina-ya?" tegur Heesung sukses mempermalukan gadis itu di depan pria yang disukainya.
"Arrasseo." Karina bersungut. Dia melotot ke Heesung. "Oppa, nan khanta."
Kedua orang itu pun pergi. Berrbincang-bincang apanya, jika ia hanya bicara beberapa menit dengan saudaranya dari Tongyeong? Heesung memang menyebalkan. Tapi Karina percaya, kakak tirinya bakal mendukung Karina kali ini. Bahwa kedua orang itu bersekutu untuk mencari pengertian Sangyeob dan Nahyun.
"Ige mwoya? Apa dia mengontrol Karina sekarang?" emosi Jungwoon memuncak.
"Sudahlah. Kau tidak menyukai ibu kalian. Kehadiranmu di sini membuat keruh keluarga mereka." Sunghoon mengingatkan. "Nah bagaimana kalau kita pulang saja, Jongseong Hyung?" usul Sunghoon.
"Baiklah... Tapi aku kecewa lagi. Aish... Paling tidak, aku harus mendapat kontak Karina sebelum kami berpisah." Jongseong dongkol. Baru ingat kedatangannya kembali sia-sia.
Kedua orang Tongyeong itu pun berpisah dengan Jungwoon. Mereka menyandang ransel masing-masing dengan rasa remuk di hati. Sunghoon pun gagal meraih kepastian. Dia ingin hubungannya dengan Karina jelas. Mungkin ini memang bukan waktunya mengakui perasaan.
"Aku yang akan mendapatkan nomornya. Firasatku bilang, kami bakal bertemu lagi. Jangan khawatir Hyung, aku akan menghubungimu nanti." Janji Jungwoon mencerahkan kedua hyung-nya.
"Berikan padaku juga," pinta Sunghoon.
"Kenapa harus?" Jungwoon dan Jongseong berteriak serempak. Tak senang kalau saudari mereka punya pacar semacam Sunghoon. Tidak bertanggung jawab. Asal pergi dengan merampok uang dari restorannya sendiri.
Ketiga orang itu sama-sama melengos. Perpisahan pun terjadi. Jungwoon kembali ke tempat tinggalnya yang dihuni bersama teman-teman sesama musisi indie. Sementara, Jongseong dan Sunghoon kembali ke Tongyeong, dengan seribu harap tertuju pada Jungwoon.
Tak lupa, sibukmengantisipasi badai yang menunggu mereka di rumah. Kota Seoul belum menyambuthangat kedua orang itu. Namun, suatu hari, kota itu bakal menerima kembali kehadiran mereka.
*******
Boleh curhat enggak sih?
Jujur, aku berterima kasih selaku author yang karyanya diapresiasi sama pembaca seperti kamu.
Kadang aku bertanya-tanya sama diri sendiri (yang buruknya adalah overthinking-ku kambuh karena stres melulu). Kok ya cerita ini nggak ada yang ngevote, nggak ada yang komen.
Ujung-ujungnya kecewa sama diri sendiri.
Apa cerita ini nggak menarik.
Apa ceritaku terlalu jadul dan menye.
Apa cerita ini nggak terfokus ke satu masalah dan satu couple.
Apa karakter tokohnya kurang bagus.
Ngelihat naskah sebelah punya orang lain, kok keren ya bisa sampe 200k view. Meningkat pesat, beuh.
Naega eonjae?
Akhirnya menyalahkan diri karena nggak bisa meluangkan waktu buat menulis. Maklum, manajemen waktuku sangat buruk. Bahkan menulis pun nggak sempat mikir kapan diluangkan biar rutin update.
Okelah kalo ada prioritas lain, sehingga kehaluan bisa dipending lagi.
Tapiii kan, bisa promosi ke mana-mana. Twitter, IG dan FB bisa. Tapi tiga-tiganya nggak guna karena circle pertemanan tumpang tindih. Daku nyalahin diri karena nggak punya temen-temen penggemar FF.
Tapi makin ke sini, sedih makin double.
Ternyata aku masih baperan pengen melulu berhasil kayak orang lain. Padahal aku lupa, kalo aku udah banyak peluang dulu yang diabaikan. Ujung-ujungnya sekarang, life must go on. Kalo emang sibuk, ya udahlah sibuk. Gak usah salahin readers.
Jadi.....
Makasih buat kamu dan kamu yang menemukan cerita ini di library kalian. Padahal lagi ya, aku super males promosi. Work ini udah end pula. Enak tinggal posting doang. Beda sama CoC yang awal² nulis ongoing promosi di twitterku, @keepengene. Mutualan di sana gapapa, tapi aku jarang main ke sana. Wkwkwk. Lebih enakan di IG sih.
Tiap kalian sempatin buat klik ⭐⭐⭐⭐⭐, senengnya gak ketolongan karena vote. Notif yang muncul, meski bukan komen pun, bikin energiku naik. Walau bom vote dan muncul di menit yang sama, aku percaya, itu karena kalian menikmati bacaan tanpa ingin kena gangguan, sehingga terbitlah mode pesawat.
Terima kasih. Salam sayang, dan... happy reading.
Banyuwangi, 20 Agustus 2021
16.25 Waktu Indonesia Beristirahat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro