10 Klub Aneh
Hari terasa panjang sekali. Karina menguap selebar-lebarnya. Dia mencubit pipinya, asal kantuk itu lenyap ditelan sakit akan cubitannya sendiri.
Belum cukup menyerang pipi, Karina mencubit apapun di badannya. Tapi kelopak matanya mengatup. Semalam Karina menangis hebat. Pertengkaran dengan ibunya di ambang batas. Dia tidak mengendalikan emosinya. Karina menerobos masuk ke kamar, ketika Sangyeob menerima tamu penting.
Keesokan harinya, Karina balik ke kampus. Tak tahan berlama-lama di kamarnya. Matanya bengkak. Kelelahan berkali lipat. Dan inilah keteledorannya tidak mengecek jadwal.
Ada seminar yang wajib diikuti. Sialnya, salah satu pengisi seminar malah Lee Heesung. Sosok yang ingin dihindari Karina. Gadis itu duduk di deretan depan, terjebak gara-gara urutan akademis semester kali ini. Siapapun yang meraih nilai IP tertinggi, berhak akan kursi bagian depan. Mau tak mau, Heesung bakal melihat Karina.
Gadis itu mencoret kertasnya tak jelas. Baru kemarin dia bersantai ria, mereguk udara panas khas pantai. Kini dia malah ikut kegiatan akademis. Seminarnya sama sekali tidak membantu. Karina semakin rindu kampung halaman Seojoon.
Karina bukanlah putri presiden. Namun, ada satu hal yang membuatnya tidak nyaman. Ibunya bertindak lagi. Nahyun menyuruh salah satu mahasiswa sebagai mata-mata yang mengawasi segala kelakuan Karina. Dan di sinilah akhirnya, Karina sibuk mencubiti pipinya sementara tangannya yang lain mengikuti seminar.
Ditatapnya Heesung enggan. Ketika sesi tanya jawab, Karina tidak mengangkat jari. Dia malas berdebat. Malas pula berada di Seoul. Penat dengan kegiatan lamanya.
"Nona Lee, bagaimana pendapatmu dengan kebijakan Amnesty Tax, apakah itu sepadan dengan kemajuan negara?" tanya Heesung tiba-tiba menghadap ke Karina.
Gadis itu bengong mendadak. Dia menatap linglung ke arah Heesung. Pemuda itu justru menyeringai sinis, menunggu tak sabar akan tanggapan Karina.
Karina menghela napas. Kali ini dia tidak siap mencaplok pertanyaan dengan jawaban lugas.
"Tidak tahu. Mungkin ayahmu lebih tahu," kata Karina tenang. Gadis itu menarik tasnya, keluar dari seminar. Anggota yang ikut seminar gaduh mengingat tindakan arogan Karina.
Karina lari ke bagian barat gedung. Dia duduk di salah satu kursi kafeteria, dengan sebotol coke sebagai pengisi perut.
"Chagiyaaaaa.....!" panggil Jake antutias. Kedua tangannya menjinjing satu nampan makan siang.
Karina rela dijebloskan ke lubang tanah berisi ular cobra daripada mendengar teriakan memalukan itu. Dia risih luar biasa dengan perhatian yang tertuju pada Jake. Seniornya itu tergopoh-gopoh mendekati meja Karina.
"Ya Tuhan! Kukira kau sakit. Benarkah kau sakit. Bagian mana yang sakit? Dirawat di mana, eoh?" Jake menodong pertanyaan dengan cepat.
"Aku tidak sakit."
"Jinjjayo? Lalu di mana kau satu bulan ini? Apa kau disekap orang jahat?"
Karina jengah. Dilemparnya botol coke kosong ke wajah pemuda itu.
"Ya, kalau kau puas, aku baru bangkit dari kubur. Tidak! Aku ada urusan keluarga di Tongyeong. Dan pergilah sana!" sergah Karina, gadis itu beranjak dari meja. Namun, tangannya dicekal seniornya.
"Aigoo, kau jahat sekali. Padahal aku mati-matian merindukanmu setiap malam. Khawatir kau hilang. Seharusnya kau menelponku, agar aku yakin kau baik-baik saja," omel Jake tidak terima dengan pengusiran itu.
"Kenapa aku harus meneleponmu? Apa kau pacarku?!"
"Tentu saja kau pacarku!" teriak Jake, "Ingat tidak, kau yang bilang cinta padaku. Kita berbagi burger di tepi Sungai Han satu bulan yang lalu. Wah, ini hari ke 38 kita bersama, eoh?"
Ucapan itu sukses menggerakkan Karina lari lagi. Ribuan makian ingin menyembur dari mulutnya. Seperti biasa, Jake selalu membuat Karina kesal.
"Chagiya, mau ke mana? Hei, besok malam, kujemput kau. Kita ada acara di klub khusus, eoh! Jam tujuh!"
***
Karina membolos salah satu mata kuliah hari ini. Gadis itu duduk di perpustakaan. Dia menyepi di salah satu koridor yang dijejali kitab-kitab sejarah Joseon. Gadis itu bertopang dagu, menatap kosong langit-langit perpustakaan.
Dia berharap bisa keluar tanpa pengawasan. Namun, satu orang selalu mengikutinya ke mana-mana sepanjang hari. Karina mengamati sosok pirang di ujung koridor satunya. Gadis itu memutuskan keluar dari perpustakaan. Dia tak mau terjadi keributan di tempat yang semestinya tenang.
Setiap kali Karina mendekati sosok itu, suruhan ibunya malah menjauh. Sungguh menyebalkan. Karina tak tahan diikuti seperti ini.
"Riki-ya!" panggil Karina begitu lepas dari gedung.
"Ya," gagap sosok berambut pirang, dengan badan kurus menjulang tinggi.
Tentu saja Karina kenal pemuda itu. Riki salah satu penerima beasiswa kampus karena miskin. Seandainya Riki tidak menguntit, tentu saja Karina menyukai mahasiswa eksentrik itu.
"Kenapa kau mengikutiku?" selidik Karina. Dia butuh konfirmasi, apakah Nahyun yang mendesak Riki sebagai papparazi dadakan.
"Siapa yang mengikutimu?" elak Riki semakin gelagapan.
"Ah, benarkah?"
Riki membetulkan letak tali ranselnya.
"Ini bukan pertama kalinya aku dikuntit temanku sendiri. Dan aku tahu kau tak suka berurusan denganku kalau bukan karena terpaksa."
"Memangnya apa yang membuatku terpaksa? Ibumu sama sekali tidak memaksaku!" tegas Riki semakin kesal.
Karina tersenyum penuh kemenangan, "Aku tidak menyebut ibuku, lho. Tapi memang benar, kau memiliki kesepakatan bagus dengan ibuku. Benar, kan?"
Tahu bahwa rahasianya terbongkar, Riki mengangkat dagu tinggi-tinggi. Dia tersinggung menerima perkataan Karina benar. Aktingnya gagal diacungi jempol. Dia bukan orang yang pandai menjaga rahasia.
"Apa-apaan ini," dengkus Riki tidak nyaman.
"Begini saja, Riki. Kau tetap melapor pada ibuku. Apa yang kulakukan, bersama siapa, dan ada di mana. Karang saja secara acak. Dan setelah melaporkan pada ibuku, kau tinggal kirim pesan padaku, apa saja yang kulakukan versimu. Jangan mengikutiku lagi, eoh? Paling tidak, kau punya uang tambahan dari pekerjaanmu. Tanpa harus repot mengikutiku ke mana-mana."
Wajah Riki merah padam menahan malu. Tanpa mendengar jawaban Riki, gadis itu melanjutkan perjalanan. Dia memutuskan pergi ke kafe untuk menyesap segelas Americano. Namun, langkahnya dihadang seseorang.
"Mau bergabung?" tanya sosok tampan berhidung mancung menawarkan sehelai kertas yang baru di-fotokopi.
"Tidak," tepis Karina terus menatap lurus jalan di depannya.
"Aku Kim Sunoo, mengundangmu makan malam gratis."
"Aku tidak butuh yang gratis," sanggah Karina semakin dingin.
"Bagaimana kalau kau yang membayar?"
Karina berhenti. Ditatapnya pemuda itu dengan pandangan sebal.
"Aku tidak berniat ikut acaramu. Minggir!"
"Ayolah. Kau butuh tempat asyik untuk bersenang-senang. Kulihat ada banyak tekanan di matamu. Dan liburanmu sepertinya tidak cukup untuk mengobati galaumu," ungkap Sunoo tersenyum sinis.
Direbutnya kertas itu, harapannya Sunoo segera menyingkir setelah memberikan selembar kertas.
"Akan kupertimbangkan," kata Karina dengan ketus.
"Benarkah? Haruskah aku menjemputmu besok malam? Jam tujuh." Sunoo semakin bersemangat.
Mungkin memang tak ada salahnya ikut acara yang ditawarkan itu. Toh Karina butuh alasan keluar dari rumah. Dia muak berada di kamar mewah, istana yang diimpikan Nahyun. Perasaan Karina makin kacau balau setiap mengambil oksigen di kondominium milik Lee Sangyeob.
Karina membaca kertas undangan yang berupa foto ukuran 4R, dibungkus dengan plastik bening. Nama Karina lengkap dengan nomor induk mahasiswa tercantum di kepala surat.
Karaoke Sejarah?
Apa-apaan itu? Bagaimana bisa kampus memiliki ekstrakurikuler dengan nama norak seperti itu? Jelas saja ini kumpulan orang aneh. Dan Sunoo adalah anggotanya. Karina sama sekali tidak terkesan dengan klub semacam ini.
"Ayolah, datang saja. Tidak seburuk bayanganmu." Seolah tahu pikiran Karina, Sunoo pantang menyerah. Dibujuknya Karina, berharap ada tanda tangan di formulir pendaftaran.
Pastilah klub ini anggota kesenian yang merepresentasikan drama musikal Gisaeng dengan para bangsawan tertawa bodoh pura-pura mabuk.
"Akan kupertimbangkan," tegas Karina buru-buru ngeloyor pergi.
Karina segera meluncur ke kafe langganannya. Dia tidak lagi memesan segelas Americano. Gadis itu memesan segelas coklat panas tanpa toping apapun. Ditemani semangkuk salad buah kesukaannya.
Duduk sendirian tidak membuat hatinya tenang. Perasaannya semakin kalang kabut. Dia merindukan kakak sulungnya yang jorok. Tawa renyahnya setiap kali menertawakan kesialan tergiang di telinga Karina.
Dia juga merindukan Jungwoon. Frustrasi membuat dada Karina sesak. Jungwoon memang tinggal di Seoul. Sungguh tidak adil. Jungwoon tahu rumah Karina dan Nahyun. Tapi sedikit pun Jungwoon tidak mau menemuinya. Barangkali Jungwoon masih berada di Bijindo. Menikmati liburan sebentar.
Pikiran itu membuatnya cemburu. Betapa enaknya menjadi Park Jongseong. Bisa mengetahui segala hal. Menghabiskan banyak waktu dengan kedua saudara yang terpisah.
"Aku harap, kita bisa bertemu lagi, Oppa-deul," gumam Karina sembari menggosokkan telapak tangan.
***
"Whuaaaa," gumam Jongseong takjub melihat interior kafe. Bibirnya tak henti-hentinya menganga.
Pertama kalinya menjejakkan Seoul, Jongseong dibuat kagum. Bahkan matanya tak mau memicing sama sekali.
Kemarin Jongseong menyelinap kabur dengan satu-satunya speedboat milik ayahnya bersama Jungwoon dan dia menitipkan kunci motor ke keluarga Sunghoon. Dia sudah tahu, ayahnya tak bakal melapor ke polisi. Sebab dia sudah meninggalkan pesan untuk mengambil kunci di ibunya Sunghoon.
Bersama Sunghoon dan Jungwoon, Jongseong pun berangkat ke Seoul. Tidak ada alasan kecuali ingin tahu kemegahan kota metropolitan. Apalagi Jungwoon mengakomodasi tempat tidur untuk kedua pria udik itu.
"Ya ampun, bir ini lebih enak daripada bir kalengan," imbuh Sunghoon terkesan dengan buih di gelas.
"Hyung, pokoknya kalian jangan ke mana-mana. Nikmati saja suasana ini tanpa kegaduhan. Dan duduk di sini, aku masih harus tampil!" pesan Jungwoon pada dua orang yang sibuk menikmati suasana kafe.
"Tentu saja!" balas Sunghoon acuh tak acuh.
"Dan jangan pesan apapun. Bakal repot kalau kalian yang mabuk."
"Jangan cemas, aku tidak minum alkohol. Kalau Sunghoon mabuk, tinggal seret saja dia ke Sungai Han," balas Jongseong sekenanya.
Jungwoon bergegas lari gara-gara dipanggil anggota band yang lain, ditinggalkan kedua pria Tongyeong itu. Jungwoon berdiri, tangannya siap menekan kord gitar. Hari ini ada banyak pengunjung di kafe tempat Jungwoon tampil.
Namun, tatapannya terkunci pada satu pengunjung. Gadis di mini bar, tampak bosan dengan minumannya. Dia sendirian menunggu seseorang. Jungwoon amat mengenali sosok itu. Mau tak mau Jungwoon tersenyum puas.
Lee Karina.
Gadis itu, kali ini menatapnya dengan pandangan sama terkejutnya.
"Eoh!" pekik Karina menudingkan salah satu jarinya ke Jungwoon. Namun, Jungwoon memilih mengabaikannya. Dia harus profesional di panggung, sebagai anggota band indie yang konsisten dengan lagu rock di antara gempuran musik EDM.
"Annyeong-haseyo, kami Black Jam Band, siap menggoncang kafe ini. Selamat menikmati."
Seperti biasa, Jungwoon memperkenalkan bandnya. Malah Jungwoon berkedip ke adiknya dengan sengaja.
Hasilnya Karina cekikikan tak jelas mendapati perlakuan kakak kembarnya itu. Usai membawakan empat lagu, mereka turun panggung. Jungwoon tidak langsung menemui Karina. Jungwoon bergegas menarik Jongseong dan Sunghoon.
"Hyung, Karina ada di sini. Kebetulan yang menyenangkan. Ayo, pindah meja!" desak Jungwoon tak sabaran.
***
Karina yakin dia memilih keputusan paling bodoh. Ikut klub aneh. Namun, yang lebih aneh, alih-alih rapat di salah satu ruangan di kampus, pertemuannya diadakan di salah satu klub terkenal yang memiliki DJ keren-keren. Terkadang disuguhkan musik live dari penyanyi berbakat.
Gadis itu menunggu Sunoo, nyatanya tempat pemuda itu sudah penuh dengan gadis-gadis berpakaian minim. Benar-benar playboy tulen. Karina merasa muak berada di tempat itu. Menjadi asing di antara sekumpulan orang yang tertawa tak jelas.
"Ya Tuhan, kupikir kau tak mau datang!" seru Jake bahagia. Pemuda itu duduk di sebelah Karina.
"Sedang apa kau di sini?" tuduh Karina bersikap defensif.
"Sedang apa? Apa kau tak ingat, aku mengundangmu ke sini. Tapi kau tak mau dijemput, Chagiya."
Karina ingat undangan lisan Jake.
"Benarkah?" Karina pura-pura lupa. Disesapnya minuman berbuih. Pikirannya mendadak bergelembung akan bir yang masuk di kerongkongan.
"Syukurlah kau datang. Beberapa menit lagi, kami berkumpul di meja utama. Duduklah di sebelahku. Aku tak mau kau dekat-dekat dengan buaya bernama Sunoo," tukas Jake.
"Sunoo? Dia yang itu?" desis Karina mengarah ke meja Sunoo. Yang disebut justru melambaikan tangan ke Karina.
"Ya, aku sudah memperingatkan dia untuk tidak macam-macam. Nah itu dia, Heesung Hyung."
Karina terlonjak di bangkunya. Dia tak menduga, saudara tirinya malah muncul di pandangan. Baru masuk kafe. Pemuda itu menyeringai ke Sunoo. Kerumunan buaya betina terbagi ke pendatang baru.
Karina meringis melihat kelakuan Heesung. Tapi ini memang bukan urusannya.
"Aigoo... Karina-ya, aku merindukanmu!" seru Jongseong heboh. Tiba-tiba menyekap mulut Karina. Diacak rambut adiknya dengan kasar.
"Jongseong Oppa?" panggil Karina tak percaya. Ini kejutan lainnya lagi. Karina memeluk Jungwoon penuh haru dan mengulurkan tangan dengan canggung ke Sunghoon.
"Aigoo, di sini sesak. Bagaimana kalau kita keluar?" ajak Jongseong tak sabar.
"Kajja," sahut Karina. Lengannya mengamit lengan Jungwoon.
"Tunggu, tapi kau tidak ikut aku, Karina-ya?" cegah Jake masih menahan langkah Karina.
"Jake Sunbae, ke sanalah. Senior kesayanganmu masih menunggumu. Bye!" Buru-buru Karina meninggalkan kafe bersama ketiga pria tak jelas itu.
Perasaan Jake terbagi. Sejak lama Jake kenal Karina. Namun, belum pernah Karina memberitahu orang-orang ini padanya. Entah siapa ketiga pria itu. Mungkin dia merasa cemburu, malam ini Karina tidak bersenang-senang dengan Jake.
~~~~~~~~
Duh....
Lagi-lagi ceritanya amburadul. Ga jelas begini. Buat yang ngeship Karina sama Jake, Sunoo, Heesung, Sunghoon, angkat panci gih.
Hahahaha....
Maafkan ceritanya yang gaje war biazaaahh
Ketemu di part berikutnya.
Bondowoso, 12 Agustus 2021
05.26 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro