Hari Evaluasi
Hari ini akan diadakan evaluasi tahunan. Siapa saja yang mendapatkan nilai tertinggi berhak untuk naik kelas. Sudah hampir satu tahun sejak dia bergabung di kelas E.
Dia sudah berlatih keras selama satu tahun ini. Mengendalikan elemen di dalam tubuhnya. Berkat bimbingan sang wali kelas, akhirnya dia bisa menguasai hampir semua teknik elemen air. Dan hari ini akan diperlihatkan pada semua orang tentang kekuatannya, serta siapa dia sebenarnya.
Brakkk!
"Heh, kenapa kau terlihat senang? Kau adalah orang terlemah di sini. Kali ini kau pasti akan dikeluarkan."
Dia menyeringai lebar. "Benarkah? Aku atau kalian semua yang akan dikeluarkan. Lihat saja nanti."
Pemuda jangkung itu, Deon, menarik kerahnya dengan kuat. "Percaya diri sekali kau! Lihat saja, aku akan menghabisimu nanti!"
Dia tersenyum lebar memandangi kepergian mereka. Tinggal dia seorang diri di dalam kelas yang dingin. Sepertinya evaluasi tahunan sudah dimulai, dia harus segera ke aula dan menyaksikan kepayahan teman-temannya. Oh, dia bahkan tak sudi menyebut mereka sebagai teman. Mana ada teman yang saling menjatuhkan, atau mengucilkan salah satu di antara mereka. Sama sekali bukan sikap seorang teman.
Saat dia tiba di sana, kepala sekolah baru selesai memberikan salam. Seperti yang semua orang ketahui, kelas E menempati urutan pertama dalam evaluasi. Peraturannya sederhana, semua murid kelas E membentuk lingkaran di lapangan dan memperebutkan sebuah bola. Tidak ada batasan dalam penggunaan elemen, tapi meski begitu tidak boleh sampai membunuh seseorang. Dalam waktu sepuluh menit, seseorang yang paling terakhir memegang bola akan otomatis mendapat nilai tertinggi dan dipindahkan ke kelas D. Sementara, yang masih bertahan di dalam arena, akan dipindahkan antara kelas E-2 sampai E-10. Sisanya, mereka yang berada di luar arena akan dianggap gugur dan dikeluarkan dari sekolah.
Dia berdiri dengan tenang, jaraknya dua meter dengan garis batas arena. Rencananya sederhana, dia akan diam dan menunggu waktu berlalu. Membiarkan mereka saling merebut bola. Kemudian, ketika waktu sudah mau habis, dia akan merebut bolanya dan dengan begitu nilainya menjadi yang paling tinggi. Namun, berada di posisinya saat ini, dia harus waspada supaya tidak diserang tanpa alasan oleh siapa pun.
Setidaknya begitulah keinginannya. Namun, tentu saja yang namanya hidup pasti tidak akan selalu berjalan sesuai keinginannya. Lihat saja, orang yang paling dia benci kini menghampirinya, hanya dengan melihat matanya saja dia langsung tahu bawah si jangkung itu berniat untuk menyingkirkan dirinya.
"Apa kau gemetaran? Bukankan mrnakutkan berada di sini?"
"Apa maumu?"
Deon menyeringai. "Aku ingin menawarkan kesepakatan. Bagaimana kalau kau menyerah sekarang dan keluar dari arena?"
Dia diam saja, makin menatap sinis pada pemuda di hadapannya.
"Ayolah, Ken. Kalau kau melakukan seperti perkataanku, kau tidak perlu membuang energi dan kau tak akan terluka sedikit pun."
"Kalau aku menolak?"
Deon tertawa. "Ah, aku tahu. Jadi, kau berniat untuk diam di tempat sampai waktu berakhir? Boleh saja, tapi aku tidak akan membiarkan. Karena tidak ada jaminan kau tidak menyerang sama sekali."
"Cerewet," gumamnya.
"Apa kau bilang?" Si jangkung naik pitam. "Tadinya aku tidak ingin menggunakan kekerasan, tapi sepertinya kau tidak pandai membaca situasi."
Dia tertawa. "Kau? Tidak mau pakai kekerasan? Lantas, kau pikir selama ini menindasku itu bukan kekerasan? Kau diam saja dan perhatikan bagaimana aku akan menang di akhir." Dia hendak berlari menjauh, tapi Deon sengaja membuatnya tersandung.
"Mau kemana kau? Kau tak bisa kabur dariku sebelum terkena apiku ini." Deon melemparkan serangan api dari tangannya dan Ken berhasil menahannya.
"Api ungu bukanlah tandinganku."
"Apa?" Deon semakin geram dan melemparkan apinya bertubi-tubi. Namun, tak ada satupun dari serangannya yang berhasil melukai Ken. "Bagaimana mungkin?"
Ken bangkit. "Sudah kubilang. Apimu memang kuat, tapi itu saja tak cukup untuk menghangatkan tubuhku."
"Baiklah. Kalau begitu, aku tak perlu menahan diri untuk membuat hangat kulitmu sampai tulang-tulangmu."
Deon memperbesar serangan apinya dan melemparkannya lebih banyak lagi kepada Ken. Kalau terus-terusan begini, bisa repot. Ken tak punya banyak waktu untuk meladeni Deon. Beberapa murid kelas E sudah ada yang keluar arena, bahkan ada juga yang terluka parah. Deon terlalu banyak membuang waktunya, seharusnya dia sudah mulai ikut merebut bola. Tapi, Ken sangat tak ingin memakai elemennya, karena sedikit saja dia gunakan, bisa memberikan efek samping pada semua orang di aula. Sangat beresiko.
"Deon, hentikan!"
"Kenapa? Apa kau sudah kepanasan? Kalau begitu aku tidak akan berhenti."
Dasar keras kepala, pikir Ken. "Kau terlalu banyak membuang energimu."
"Biar saja! Tujuanku adalah menyingkirkanmu. Kau itu lemah. Kau tidak pantas berada di sini!"
Alis Ken menyatu. Berani-beraninya Deon mengatakan hal itu. "Srapsor!" Dia memandangi Deon yang lama-kelamaan tubuhnya melemah. Tapi, Deon masih terus melemparkan apinya, tak punya pilihan, Ken memfokuskan pandangannya ke pemuda jangkung itu. Hingga akhirnya, Deon ambruk. Tubuhnya mengalami dehidrasi. Ken telah menyerap sebagian cairan dalam tubuh Deon.
"Tidak mungkin. Aku sudah berlatih menggunakan apiku selama setahun. Mungkinkah.. itu kekuatan elemen airmu? Tidak mungkin."
Ken berjongkok. "Apanya yang tidak mungkin? Kau yang merasakan sendiri bagaimana elemen airku."
"Mustahil! Yang bisa menggunakan teknik seperti itu hanya…"
"Kau diam saja dan perhatikan bagaimana aku akan menang di akhir."
Ken berjalan cepat ke tengah lapangan. Di sana sudah ada sepuluh orang memperebutkan bola, enam di antaranya sudah tak berdaya dan banyak terluka. Dia tak ingin menggunakan kekuatannya lagi, tapi waktu tersisa kurang dari satu menit. Ken berpikir, cara apa yang bisa mengalahkan tiga orang dengan peringkat teratas di kelas. Mereka cerdik dan tangguh. Elemen mereka juga cukup kuat, dua orang berelemen petir dan satu lagi elemen logam. Dalam waktu singkat ini, Ken harus bisa membuat mereka berhenti bergerak. Dengan cara apa? Serangan air tidak bisa menahan logam dan petir dalam waktu singkat.
"Begini saja."
Ken menyerang si pengguna logam dengan air. Diubahnya air itu menjadi tali beku yang melilit di sekujur tubuh pengguna logam. Sisanya tinggal si petir. Ken mendekati dua orang itu dan menggunakan teknik menyerap air dengan kekuatan penuh sampai mereka ambruk ke tanah. Kemudian, Ken mengambil bola, memegangnya dengan erat.
"Selesai." Waktu sudah habis. Ken berhasil mendapat nilai tertinggi. Dia tersenyum puas sambil memandangi bola. Mulai hari ini, dia akan pindah ke kelas D. Semua penderitaannya selama berada di kelas E hanya tinggal kenangan buruk. Tapi, dia tidak boleh merasa puas. Masih banyak hal yang perlu dicapai.
Deon memandangi Ken dari tempatnya, dia menyaksikan semuanya. "Ken… siapa kau sebenarnya? Pengguna elemen air seharusnya tidak bisa membekukan air. Mungkinkah kau… Pangeran Athen?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro