[5%] WNI is being processed ...
Kalau kata orang, jadi dewasa itu menakutkan. Jauh lebih horor daripada meet and greet sama mbak-mbak yang doyan nongkrong sambil ngupil di atas pohon. Alasannya? Berdasarkan survey kecil-kecilan yang Ibnu lakukan dengan mengobservasi teks wacana sambat dari jemaah se-Twitter seper-netizen-an ... kebanyakan manusia di masa transisi menuju quarter life crisis ini mengeluhkan ketidakjelasan masa depan, kehidupan yang nambah terus beban, ekspektasi masyarakat segede gaban, sampai sambat soal potret di KTP-nya sendiri yang kayak penampakan. Tapi kalau dianalisis dengan mempertimbangkan relevansi konteks kehidupan Ibnu sebagai seorang anak yang bentar lagi mendapat gelar S2 alias tanda kelulusan SD dan SMP ... katanya, sih, tuntutan orang tua itu paling mengerikan!
Enggak bisa dipungkiri, walau Mas Nadiem and the gang udah mengupayakan sekolah merdeka dengan aturan main yang memudahkan siswa loncat jurusan sana-sini, nyomot pelajaran sesuai minat, enggak lagi menekankan eksistensi jurang pemisah yang sarat akan ketimpangan antara rumpun ilmu alam maupun sosial ... tapi tetap saja! Dalam kehidupan nyata, enggak sedikit netizen di media sosial yang mengaku dituntut orang tua untuk masuk teknik, kedokteran ... atau jurusan saintek yang prestisius lainnya. Bagi masyarakat yang hidup di kanan-kiri rumah Ibnu sekalipun, anak yang juara olimpiade IPS masih dianggap tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan anak yang sekadar masuk jurusan IPA walau atas dasar paksaan dari pihak eksternal.
Lantas, apakah stigma yang sarat akan ketidakadilan ini perlu Ibnu berantas dengan membuktikan kesuksesan seorang anak IPS di kancah global? Tentu harus! Tapi orangnya enggak harus Ibnu. Ya lagian ngapain, dah? Ibnu mana bakat, sih, masuk dunia IPS? Orang-orang di dalamnya selalu saja memperdebatkan hal-hal yang sejatinya enggak punya kebenaran mutlak. Ibnu, sih, mending yang pasti-pasti aja. Bahas pitagoras, tinggi, lebar, volume, luas permukaan, kecepatan ... hal-hal senyata oksigen yang kita hirup ... hal-hal nyata seperti sulfur, metana, dan hidrogen, yang biasa kita keluarkan kalau lagi kentut.
"Bentar lagi kamu masuk SMA, ya, Nu."
Hah? Kentutnya masuk lagi? Eh, masuk SMA, maksudnya. SMA? Sekolah Menengah Aroma kentut? Ibnu mengerjap cepat. Kok jadi kentut mulu, sih! Sebelum pantatnya benar-benar meledakkan bom asap, Ibnu segera menyadarkan diri bahwa dirinya sedang berada di depan meja makan. Dipandanginya perkedel yang sudah Ibnu penyet seperti eek. Ups ... bahas begituan pas lagi makan, kan, enggak sopan, ya? "Iya, Yah. Bentar lagi aku kent ...." Bjir, salah server! "Maksudnya, bentar lagi akuuu kenaikan kelas, hehe. Lulus, deng. Udah mau ujian."
Ayah ngangguk-ngangguk. Hening kembali mengudara ketika pria menjelang usia paruh baya tersebut berkonsentrasi mengunyah makanan dalam mulutnya.
Ibnu jadi bengong. Dipandanginya isi piring Ayah yang hendak tandas, lalu pindah ke piringnya sendiri. Piring Ayah ... piring Ibnu. Netra hitam legam itu bolak-balik membandingkan sisa nasi dan lauk di atas piring keduanya. Ayah udah mau selesai! Kalau waktu yang dibutuhkan Ayah untuk menghabiskan satu sendok makan adalah lima belas detik dengan rasio antara volume muatan nasi dalam satu sendok Ayah dengan satu sendok Ibnu sebesar empat banding lima, mungkin Ayah akan menandaskan makannya ketika Ibnu ....
"Di sekolah ... gimana, aman? Sejauh ini, enggak ada kendala?"
Ibnu nyengir. Diliriknya Bunda yang hanya menikmati makan malam dengan damai. Wanita tersebut tampak tidak tertarik untuk mengintervensi percakapan antara Ibnu dengan sang ayah. Tanpa perlu banyak berpikir, Ibnu mengangguk saja. "Aman terkendali, Yah." Tapi hasrat Ibnu untuk kentut sudah tak bisa lagi dikendalikan. Jauh dari kata aman. Tahan, tahan ....
"Udah kepikiran mau fokus di ranah mana buat SMA nanti, Nu? Yang sekiranya linear sama cita-cita yang mau kamu tuju?" Ayah menjeda prosesi makannya yang tinggal satu sendok lagi. Ditatapnya Ibnu dengan mata berbinar dan penuh semangat. "Kalau belum kepikiran, kamu bisa ikut jejak Ayah, Nu. Jadi caleg! Enak, tahu. Seumur hidup ditanggung negara. Buat membangun sense politiknya, kamu bisa coba masuk IPS dulu."
Brat, bret, brot! Bjrot! Saking syoknya, Ibnu sampai kecolongan. Kentutnya telanjur mengudara di langit-langit dapur tanpa bisa ditahan lagi. Bunda batuk-batuk, tersedak nasi karena tidak menyangka akan diserang sedemikian brutal oleh putranya. "Ya ampun, Nu ... kalau udah penuh, keluarin aja. Jangan ditahan! Nanti malah jadi penyakit."
Oh, bukan jadi jerawat, ya, kalau ditahan? Canda. Ibnu geleng-geleng sambil masang muka cengengesan. Duh, jadi enggak enak hati, nih. "Maaf, Yah. Maaf, Bun. Beneran enggak sengaja barusan. Enggak bau, kok." Ibnu mengendus sekitar, kemudian menangkap rembesan aroma dahsyat yang melambai-lambai. "Ah ... enggak bau-bau banget, maksudnya. Hehe. Aman, aman. Tapi kalau jadi caleg ... duh, Yah. Ibnu enggak tertarik sama duitnya."
"Lho, justru itu! Itu!" Ayah tergelak tambah antusias. "Justru karena Ayah tahu kamu jauh dari kata materialistis, makanya Ayah percaya kalau kamu bisa jadi anggota legislatif yang baik, Nu! Yang representatif terkait kepentingan semua lapisan rakyat."
Justru karena Ibnu enggak suka duit, makanya Ibnu enggak ngiler jadi anggota dewan! Lho, sebenarnya gimana, deh, logikanya? Ibnu jadi pusing sendiri. "Gimana, ya, Yah ...." Ibnu megap-megap lesu, enggak tahu harus ngomong apa. Tapi beneran, deh. Ibnu enggak begitu tertarik sama benefitnya. Duit dari Ayah juga udah sedemikian melimpah. Buat apa, sih, nambah-nambah? Walau lebih dari kata cukup, Ibnu memang bukan tuan muda kaya raya yang bisa membeli segalanya. Mobil Ayah pun masih cicilan. Tapi tetep aja ... Ibnu bingung mau ngapain kalau uangnya kebanyakan. Aneh, emang. Orang mah bingung kalau enggak ada duit, ini anak malah bingung kalau banyak duit. Biasalah. Kalau kata Aldi Taher, semua orang di dunia juga bingung, nanti enggak bingung kalau udah di Surga.
"Bayangkan, Nu ... bayangkan." Ayah melayangkan pandangan ke arah atap. Senyum Ayah mengembang tulus ketika melontarkan kalimat selanjutnya yang cocok sekali dengan karakter idealis beliau. "Bayangkan gimana majunya Indonesia kalau dipimpin sama orang-orang jujur yang enggak cuma memikirkan isi perutnya sendiri, Nu. Emangnya, kamu enggak mau hidup di dunia seindah itu?"
Biar Indonesia maju sampai nyerempet Singapura, ya? Ayah enggak takut kena tilang kah? Ya, ya ... emang indah, sih, yang dibilang ayahnya itu. Tapi, kan, enggak harus Ibnu, ya? Dari sekian banyaknya generasi penerus berkualitas di Indonesia, ngapain Ibnu yang hobi turu ini ikut terlibat?
"Eh, Yah! Katanya mau ke rumah Pak RT habis makan malam?" Bunda mengingatkan Ayah yang sudah bersiap membuka mulut untuk meneruskan deep talk bersama sang anak.
Refleks Ayah tepok jidat. "Bener juga. Urusan negara itu nanti-nanti sajalah, ya, Ibnu. Ayah harus ke rumah Pak RT buat acara sunatan anaknya yang bocil itu. Siapa namanya teh, Bun? Si Alif yang tahun depan masuk SD itu?"
"Itu mah nama abangnya atuh, Yah. Udah gede dia. Yang disunat ini Hamzah si bontot."
Mau Hamzah, Alif, atau Mad Thabi'i sekalipun yang disunat ... terserah, dah! Percakapan dengan Ayah sudah selesai. Sekarang, sih, saatnya Ibnu balik ke kamar dan overthinking sendiri sampai begadang sambil bengong. Jadi caleg? Terjun ke dunia IPS?
IPS, IPS, IPS, IPS ... Institut Pertanian Sirih? Ilmu Perkawinan Siri? Hah? Kok, jadi ke sana?
"Nu! Ibnu!"
Kenapa Bunda teriak malam-malam begini, deh? Ngeri amat! Kalau ternyata bukan Bunda yang asli, gimana? Ada yang mencuri identitas Bunda? Tapi, kok ... tabokan di pundaknya terasa nyata sekali, ya? Bukannya setiap spesies makhluk gaib itu tembus pandang? Harusnya nembus, dong? Ibnu mengucek mata. Dilihatnya cahaya terang yang menerobos tidak sopan lewat jendela kamar yang dibuka lebar-lebar. Lah ... sejak kapan matahari berkunjung ke waktu malam? Bosen, ya, ngadepin siang mulu? "Hmmm ...."
"Bangun, Nu! Udah jam setengah tujuh. Kamu enggak akan sekolah?"
Oh, masih jam setengah ... tujuh? Tujuh! Ibnu melotot di atas kasur. Refleks ia melonjak seraya menyambar seragam yang tergantung di lemari. "Duh! Kok, Bunda baru bangunin, siiiih. Enggak usah mandi, ya. Nanti beneran kesiangan!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro