Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EMPAT

Axeline's POV

Sampai di depan rumahku pun Justin tidak mau membuka mulut dan menjelaskan padaku tentang kejadian tadi. Masih kuberikan pandangan menuntut padanya. Namun tetap saja, Justin diam tidak memandangku sedikit pun.

"Sampai kapan kau memandangku seperti itu?" Bahkan dia tidak menoleh sekedar melihatku ketika bertanya.

"Sampai kau mau memberikan penjelasan padaku." Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya panjang. "What the hell is that?"

Aku belum pernah mengalami hal gila seperti tadi, kecuali menontonnya di televisi. Ayolah, dunia macam apa yang tengah kutempati saat ini? Narnia? Lortedox? Planet Krypton? Aku betul-betul yakin bahwa saat ini aku mengalami schizopherenia. Bahkan aku tidak mampu membedakan alam nyata dan imajinasi.

"Kenapa ayahmu tidak memberitahumu, huh?" dia justru balik bertanya. Pada akhirnya, dia memandangku. "Tanyakan saja padanya."

"Aku tidak mau menunggu terlalu lama. Dad sangat sibuk dan jarang pulang. Yang kuinginkan adalah semua penjelasan mengenai kejadian gila yang ada di sekelilingku!" Aku memegang kepalaku yang seperti ditubrukkan pada tembok. Astaga, sepertinya aku mengalami depresi serius. "Semenjak aku datang ke rumah ini, ada saja kejadian aneh."

Justin mencebikkan bibirnya diimbangi ekspresi menyedihkan. "Sayangnya, aku tidak memiliki hak untuk memberitahumu."

"Why? You can tell me. Please?"

Tanpa membalas perkataanku, Justin turun dari mobil. Aku hanya memandanginya, tidak mengerti apa yang akan dilakukannya. Ternyata dia membukakan pintu untukku. Kepalanya bergerak sebagai komando menyuruhku keluar. Tidak adil, aku bahkan belum mendengar penjelasan darinya.

"Ayo keluar," tuntutnya.

Aku mendengus kesal, lantas turun dari mobil tanpa menghilangkan rutukanku. Tidak memerlukan basa-basi lagi, dia melenggang begitu saja memasuki mobil. Aku berdiri sambil melongo memandangi mobilnya yang sudah dilajukan meninggalkan pekarangan. Ya ampun, dasar tidak punya etika.

Untunglah rumah ini dilengkapi dengan perpustakaan yang menyimpan berbagai buku dalam rak berukuran besar. Aku mondar-mandir menelusuri rak buku dengan keterangan kumpulan buku sejarah. Tampaknya menyenangkan apabila memelajari sejarah dunia. Well, aku memang bukan pecinta sejarah. Namun, sepertinya meluangkan waktu dengan membaca buku sejarah di sini sangatlah baik.

Sambil membawa setidaknya tiga buku bersampul kulit dengan ketebalan sepuluh senti, aku kembali ke tempat duduk, mulai membacanya. Satu coklat panas sudah tersedia di sebelah buku-buku yang bertumpukan. Mulai kubaca buku yang kutumpuk di bagian atas dengan judul History of Mutant Wizards and Exterminators. Sebenarnya aku ingin tertawa membaca judul seperti itu. Mana ada buku fantasi dengan mengangkat tema dunia sihir diletakkan di rak bagian sejarah. Ya sudahlah, kubaca saja dulu.

Mutant Wizards dan Exterminators adalah dua jenis penyihir yang berkembang di dunia semenjak zaman renaissanse yang mana berasal dari dua orang yang sebenarnya sedarah. Frederick Cavren dan Thomas Cavren, dua kakak-beradik yang terlibat pertikaian sehingga menyebabkan keduanya memecah ras penyihir menjadi dua bagian. Dikenal sebagai penyihir berkemampuan tunggal, Mutant Wizards merupakan perkembangan yang dibawa oleh Frederick. Sementara Thomas yang terlalu berambisi menjadi satu-satunya penyihir hebat mengembangkan ilmunya hingga terbentuklah jenis Exterminators, penyihir yang memanfaatkan tenaga di sekelilingnya; disebut juga sebagai penyihir dengan kemampuan penghancur. Mutant Wizards adalah jenis penyihir yang fokus pada satu kemampuan. Segi positifnya adalah mereka mampu bertahan hidup lebih lama lantaran tenaga yang diserap oleh kemampuan mereka tidaklah banyak. Segi negatifnya, untuk penyihir dengan kemampuan standar tidak dapat melindungi diri mereka dari serangan musuh. Berbeda dengan Exterminators. Jenis penyihir ini memang memiliki kemampuan hebat, yakni menggunakan tenaga di sekitar mereka (semisal matahari, cahaya, listrik, dan lainnya) untuk mengaplikasikan kemampuan mereka. Segi positifnya, kemampuan Exterminators sangat berpengaruh dan bisa dikatakan, tak dapat tertandingi oleh penyihir mutan. Sementara segi negatifnya adalah jenjang usia mereka lebih pendek. Atau bisa dikatakan tidak dapat bertahan hidup lebih lama karena tenaga mereka yang terserap oleh kemampuan mereka sendiri sangat besar.

Selama berabad-abad perkembangan dua jenis penyihir ini makin meluas hingga ke seluruh pelosok dunia. Akan tetapi, adanya perbedaan paradigma dari kedua kelompok ini menyebabkan terjadinya ketidak harmonisan. Hingga saat ini, eksistensi Mutant Wizards sering diusik oleh kelompok Exterminators yang berambisi untuk menjadi satu-satunya penyihir berkemampuan hebat.

Aku tidak meneruskan membaca karena menurutku, buku ini berisi omong kosong. Apa itu Mutant Wizards dan Exterminators? Terdengar seperti nama-nama mainan bayi. Aku tutup saja buku ini dan membaca dua buku lainnya. Yang menarik perhatianku dari buku selanjutnya adalah judulnya; What is Fighters and Destroyers?

Baru aku membuka halaman pertama, aku sudah mendesah kesal. Bagaimana tidak? Buku ini sama saja memuat omong kosong mengenai Mutant Wizards dan Exterminators. Hampir saja aku menutup buku ini andai sebuah kata di dalam halaman buku ini tidak menarik perhatianku. Ada nama keluargaku yang tercetak di sana. Karena penasaran, kubaca saja buku ini.

Fighters merupakan bagian dari Mutant Wizards. Tugas para fighters adalah melindungi eksistensi Mutant Wizards dari serangan penyihir lain. Sejak dulu, fighters dipilih dengan menimbang banyak keputusan. Lima penyihir yang dianggap memiliki kemampuan hebat mendapatkan posisi sebagai fighters. Awalnya, fighters dipilih oleh Frederick Cavren. Selanjutnya wewenang itu dijatuhkan pada keturunan masing-masing fighters untuk meneruskan tugas seniornya. Lima fighters terpilih itu adalah penyihir dengan marga Robbespierre, Luesby, Mallette, Simpson, dan Mahone.

Aku berhenti sejenak melihat kalimat terakhir itu.

Belum sempat aku melanjutkan bacaanku, terdengar deheman dari belakang. Otomatis aku terpekik kaget dan secepatnya menoleh ke belakang. Tampaklah wajah sumringah Dad tengah memandangku. Dia tersenyum seraya mengelus rambutku.

"Hm, sepertinya ada yang ingin membedah perpustakaan?" tanyanya pelan.

Aku hanya menyunggingkan senyuman simpul. Bagaimana kalau kutanyakan saja soal kegilaan yang baru saja kubaca?

"Dad, apa ini?" Aku menunjuk buku-buku itu.

Herannya, dia tidak memberi respon kaget seperti yang kuduga. Dia mendekat dan membuka buku-buku itu. Lantas, tatapannya terpaku padaku. Mudah-mudahan saja dia mau memberitahuku. Apabila kugabungkan dengan rentetetan keanehan pada diriku, apakah bisa?

"Kau sudah membacanya, kan?" Dia tersenyum lagi. "Itu berarti kau sudah memahaminya."

Aku menaikkan kedua alisku sebagai tanda tidak mengerti. "Memahami apa?"

Perlu beberapa detik untukku menunggu balasannya. Dia menunjuk beberapa kalimat yang tadi sempat kubaca. "Kau sudah membaca sebagian ini. Dan, kau adalah bagian dari ini." Jarinya berhenti pada kata Mutant Wizards. Kemudian dia kembali menatapku. "Kau adalah Mutant Wizards."

Aku melongo sedetik. Maksudnya, aku penyihir? Yang benar saja. "Aku tidak merasakannya selama ini."

"Kecuali jika yang kau maksud bukanlah melihat kejadian yang akan datang dan membaca pikiran orang melalui kontak fisik." Senyuman Dad kali ini berubah menjadi senyuman yang aneh. Dan ya, dia benar. Akan tetapi, ini masih terlalu tidak masuk akal bagiku.

"Mana mungkin? Maksudku, bagaimana bisa aku adalah penyihir?" nadaku naik setengah oktaf. Aku nyaris gila.

"Keluarga Robbespierre adalah keturunan penyihir mutan sejak zaman Frederick membentuknya." Dad mulai menjelaskannya. "Kakek moyangmu adalah salah satu yang melindungi eksistensi Mutant Wizards dari ancaman Exterminators, penyihir yang dikembangkan oleh Thomas. Dia adalah fighters pilihan Frederick. Hingga sampai sekarang, fighters dipegang oleh keturunan mereka. Dan sudah saatnya kau menggantikanku." Dad menyentuh daguku hingga kedua mata kami bertemu. "Selain fighters, aku adalah pemimpin Mutant Wizards saat ini."

Aku tertegun mendengar penjelasannya baru saja. Lantas, jika aku penyihir, itu artinya keanehan yang kualami selama ini adalah bagian dari semua itu? "Lalu, destroyers?"

"Destroyers bagian dari Exterminators. Mereka bertugas menghancurkan eksistensi para Mutant Wizards dan mengambil roh mereka untuk diberikan pada pemimpin Exterminators agar bisa bertahan hidup lebih lama. Semakin banyak roh yang terkumpul, peluang abadi mereka semakin besar." Ekor mata Dad bergerak memandang langit-langit perpustakaan. "Dulu saat kau lahir, terjadi perang besar yang menyebabkan aku menitipkanmu pada Dorothy. Perang itu membunuh ibumu yang seorang Exterminators. Dia mengkhianati kelompoknya demi hidup bersamaku. Itulah sebabnya aku mengamankanmu agar mereka tidak membunuhmu. Dan sekarang, kau sudah harus kembali ke lingkunganmu, menjadi bagian dari kami. Menjadi bagian dari lima fighters, mengakhiri pemberontakan yang terjadi."

Lagi-lagi aku terdiam hanya memikirkan cerita itu. Selama delapan belas tahun aku hidup dalam ketidaktahuanku mengenai hal ini. Apalagi sekarang Dad memberitahu bahwa Mom meninggal akibat pertarungan besar itu. Lantas, bagaimana dengan keanehanku?

"Dan, bagaimana bisa aku membaca pikiran serta melihat hal yang akan terjadi? Aku tidak pernah mendapatkan keanehan seperti itu saat tinggal bersama Bibi Dorothy."

Dad mencebikkan bibirnya. "Sebenarnya kau sudah memiliki kemampuan penyihir sejak masih kecil. Hanya saja, aku menutup kemampuanmu agar tidak membuatmu bingung. Sampai akhirnya kau siap." Dad terkekeh pelan. Sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku blazernya. "Awal kau bertemu denganku, aku membuka kembali kemampuanmu dan membuatnya berfungsi saat dahimu kukecup. Ingat?"

"Ya," balasku masih tertegun.

"Karena kau adalah penyihir yang berasal dari percampuran darah antara Mutant Wizards dan Exterminators, kau memiliki kemampuan yang berbeda dari penyihir lainnya. Karena aku adalah pemimpin, aku menguasai seluruh kemampuan Mutant Wizards, begitulah keuntungan dari seorang pemimpin." Ada nada arogan yang terdapat dari kalimat terakhir Dad. Sekarang aku tahu mengapa Justin selalu mengatakan bahwa ayahku sangat arogan. "Dan beruntunglah kau, My dear. Kau bisa mendapatkan segala kemampuan Mutant Wizards lainnya yang ada di sekitarmu. Ya, kemampuan tunggalmu adalah imitator. Kau bisa mencuri seluruh kemampuan yang ada di sekelilingmu."

Aku hampir tertawa andai situasinya berbeda. The hell? Aku bahkan tidak mengerti apa maksudnya. "Mana mungkin. Bukankah aku hanya bisa membaca pikiran orang dan melihat apa yang akan terjadi pada mereka ketika terjadi kontak fisik?"

"Kedua kemampuan itu adalah milik Dorothy dan Alvero."

Aku tercengang mendengarnya. "Apa?"

"Karena kau belum bisa mencuri kemampuan penyihir lain, mereka yang memberikannya padamu, My dear." Dad tersenyum melihat resppon terkejutku. "Cara penyaluran kemampuan mereka padamu tidak begitu sulit. Cara yang lebih mudah melalui kecupan dan ciuman."

Ah, aku baru ingat itu. Bibi Dorothy tentu saja sering mengecup dahiku. Sementara Alvero, aku ingat bahwa dia mengecup punggung tanganku awal kami bertemu. Itukah sebabnya aku mendapatkan kemampuan mereka? Karena mereka sendiri yang memberikannya padaku? Seorang penyihir berkemampuan imitator? Wow.

"Artinya, aku bisa mendapatkan kemampuan yang lebih hebat lagi?" Mataku berbinar-binar. Mau tidak mau, aku harus memercayai ucapan Dad. "How?"

"Kau masih perlu latihan untuk mendapatkan kemampuan Mutant Wizards lain, My dear. Diperlukan latihan yang sangat serius dan percobaan berkali-kali. Kecuali kalau yang ingin kaudapatkan kemampuannya mau memberimu kecupan dan ciuman."

Entah mengapa responku justru mengernyitkan hidung. "Aku tidak mau orang-orang dengan seenaknya menciumku, Dad."

Dad tertawa mendengar kalimatku. "Ya kalau begitu, belajarlah untuk mencuri sebanyak mungkin kemampuan di sekelilingmu. Bagaimana juga, kau adalah yag terkuat. Dan kau sangat diandalkan, My dear."

"Tapi, Dad. Mengapa aku tidak bisa mencuri kemampuanmu saat kau mengecup dahiku waktu itu?"

"Karena kemampuan seorang pemimpin tak dapat dicuri." Dad mencolek hidungku. "Butuh taruhan nyawa jika kau ingin mencurinya. Tertarik?"

Aku menggeleng. "No." Dia benar-benar menakutiku.

Seolah ucapannya tadi adalah guyonan, Dad terkekeh pelan dan meraihku ke dalam pelukannya. Dia mengelus rambutku. "Sudah saatnya kau kembali, My dear."

Aku tersenyum kecut.

Jika benar bahwa aku keturunan penyihir, itu artinya semua keanehan itu memiliki penjelasan. Pembunuhan yang terjadi di sekolah. Apakah kelima anak cowok itu destroyers? Dan tentang keanehan Justin yang dapat lolos dari kecelakaan itu. Aku yakin kalau dia juga seorang penyihir. Pertanyaannya, apakah dia bagian dari Mutant Wizards atau justru Exterminators?

Caleste berjalan pelan menghampiriku ketika kubuka lokerku untuk mengambil beberapa buku yang kutinggakan. Dia tersenyum sumringah seraya menyapaku. Entah mengapa, hari ini aku justru tidak memiliki suasana hati yang baik. Aku menoleh sekedar melihat apa yang dikeluarkan oleh Caleste di lokernya. Dia berseru senang mendapatkan sebuah bingkisan. Karena penasaran, aku mendekatinya.

"Wow, ada penggemar berat?" godaku.

"Akhir-akhir ini aku mendapatkan hadiah." Caleste menggigit bibirnya. "Aku punya penggemar rahasia!"

Aku tersenyum hambar melihat reaksi Caleste. Beruntung sekali dia punya penggemar rahasia. Pandanganku terpusat pada sesuatu di balik pintu loker Caleste. Foto orangtuanya yang ditempel. Mereka berdua sama-sama rupawan, seperti Caleste.

"Itu orangtuamu?" tanyaku seraya menunjuk foto itu.

Caleste menoleh ke arah foto yang ditempelnya. Dia mengangguk. "Ya." Dilepasnya foto tersebut dan memberikannya padaku.

"Keluarga rupawan," pujiku yang disambut Caleste dengan tawa pendek. Aku membalikkan foto tersebut dan melihat sebaris kalimat yang mungkin adalah nama kedua orang tua Caleste.

Aku mengernyitkan dahi menyadari bahwa salah satu nama itu seperti tidak asing dalam ingatanku.

"Nama ibumu Jacqueline Luesby?" tanyaku pada Caleste yang sibuk membuka hadiahnya.

"Ya. Kenapa?" Perhatian Caleste beralih padaku. Tatapannya mengisyaratkan keheranan.

Aku teringat marga ibunya. Luesby. Itu marga salah satu fighters yang terdapat di buku tersebut. Benarkah Caleste adalah keturunan seorang petarung Mutant Wizards? Tapi, kenapa aku tidak melihat tanda-tanda bahwa dia seorang penyihir?

Kuberikan senyuman simpul sebagai balasanku. "Tidak apa." Well, mungkin suatu saat nanti Caleste mau memberitahuku apakah dia salah satu anak penyihir.

Aku tidak melihat kehadiran Justin sama sekali di sekolah ini. Padahal aku masih menuntut penjelasan tentang kejadian waktu itu. Apakah dia salah satu keturunan penyihir juga? Justin sangat membenci ayahku, begitu yang kudengar dari pikirannya. Dia menghindarkanku dari lima anak cowok yang kepergok olehku, tengah berdiri di sebelah seorang gadis yang tewas. Mungkinkah dia juga salah satu dari Mutant Wizards?

Sepanjang lorong menuju perpustakaan, aku masih memikirkan kemungkinan bahwa di sekolah ini terdapat beberapa penyihir seperti yang dikatakan Dad. Teringat pula olehku, marga Mahone dan Simpson. Kedua marga itu adalah milik Cody dan Austin, dua kawan Justin. Berarti tiga serangkai itu juga sekumpulan penyihir.

Brukk!

Seseorang menabrakku hingga membuatku jatuh ke belakang. Sialan. Pantatku sakt akibat bersenggolan dengan ubin lorong ini. Aku mengerang pelan merasakan rasa sakit tak hanya pada pantatku, melainkan lenganku yang terantuk tembok sangat keras.

"Maaf," terdengar suara seseorang di depanku. Aku menengadah, melihat seorang anak laki-laki tengah mengulurkan tangannya padaku. "Bisa kubantu berdiri?"

Bukankah dia salah satu dari lima cowok yang ditakuti di sini? Aku memandanginya dengan sikap defensif. Dia salah satu dari kelima bocah itu. Artinya, dia juga pembunuh.

"Aku baik-baik saja," ujarku seraya berusaha berdiri. Sial sekali, lenganku masih terasa sakit hingga membuatku mengerang lagi.

"Kau tampak tidak baik-baik saja. Biar kubantu." Dia masih mengulurkan tangannya.

Tidak baik juga kalau aku langsung menilainya buruk. Namun, rasa takutku tidak bisa dibohongi. Justin juga mengatakan bahwa jika aku ikut campur atas kejadian waktu itu, mereka pasti membunuhku. Bagaimana bisa orang-orang seperti mereka berkeliaran di sekolah umum seperti ini?

Tidak ingin membuatnya curiga, aku meraih uluran tangannya dan berdiri pelan, masih dengan pantat yang sakit.

Dia tidak kelihatan berbahaya.

Bisa kudengar suara itu dalam kepalaku saat tangan kami bersentuhan. Aku harus bertindak sewajarnya. Maka, kusunggingkan senyuman simpul sebagai tanda perkenalan awal.

"Trims," balasku.

"Well, bukankah kau anak baru itu?" Dari karakter wajahnya, aku tidak melihat adanya sesuatu yang jahat.

"Ya, aku Axeline Robbespierre."

"Sudah kuduga kaulah anak Sir Alexander." Dia masih tidak menghilangkan senyum ramahnya. "Aku Zayn Malik. Maaf sudah menabrakmu."

"Tidak apa. Permisi."

Tidak ingin terlibat banyak obrolan dengan orang asing, aku menundukkan kepala dan melenggang pergi meninggalkannya. Kupastikan Zayn tidak mengamatiku. Walaupun aku tidak menoleh untuk memastikan, bisa kurasakan pandangannya yang tetap ditujukan padaku. Pandangan itu berbeda dengan kawannya, Liam.

Keadaan di perpustakaan sangat sepi di jam makan siang seperti ini. Yang ada hanya dua tiga anak tengah duduk di bangku pojok sambil menikmati bacaan mereka. Aku berkeliling mencari buku yang ingin kupelajari. Well, karena Justin tidak bisa mengajariku hari ini, sepertinya aku belajar sendiri saja di sini.

Aku lebih suka jika belajar dalam keadaan sepi. Untunglah perpustakaan ini tidak sepadat biasanya. Lebih baik aku belajar di bilik paling belakang, jadi tidak ada yang bisa mengganggu waktuku. Kubuka buku-buku yang sudah kupilih tadi seraya membuka buku tulis. Aku tidak menyadari kedatangan orang lain di bilik ini dan tidak begitu peduli. Selama mereka masih bisa menjaga suara agar tak terdengar bising, aku bisa menolerirnya. Ekor mataku melirik ke sebuah arah yang otomatis membuatku tersedak. Bagaimana bisa Liam sudah duduk di bilik ini? Ada salah seorang kawannya berambut pirang yang mendekap berbagai macam snack. Mereka duduk berdampingan seraya membaca buku tanpa memandangku sedikit pun.

"Maaf, tapi kau tidak boleh membawa makanan ke dalam perpustakaan," tegur salah seorang petugas perpustakaan yang muncul di bilik ini.

"Apa masalahnya? Aku bisa mati tanpa makanan," cowok berambut pirang itu tampak tak suka dengan teguran petugas perpustakaan.

"Kau bisa makan di luar."

"Peraturan tolol." Si pirang memutar bola matanya jengah. Dia mendekap semua makanan yang dibawanya dan memasukkannya ke dalam tas. Lantas, menepuk bahu Liam. "Aku akan pergi kalau begitu."

Sebelum meninggalkan bilik ini, anak laki-laki berambut pirang tadi melenggang melewati petugas perpustakaan sambil menunjukkan kepalan tangannya kesal. Wanita berkacamata dengan gelungan rambut rendah tersebut berbalik badan dan melimbai pergi. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba tidak menghiraukan keadaan sekitarku.

Soal-soal dan materi ini tidak sesulit yang diajarkan Justin. Dasar, memang Justin yang sengaja membuat materi yang diajarkannya terlihat sulit. Walaupun aku fokus pada buku di depanku, masih bisa kurasakan pandangan yang dilayangkan untukku di ujung sana. Aku jadi tidak nyaman diperhatikan seperti ini.

Mataku menangkap gerakan pada rak-rak di sebelahku. Aku menengadah melihat rak-rak itu bergetar. Buku-buku yang ditaruh di atasnya berjatuhan seiring bertambahnya kecepatan getaran rak tersebut. Aku menaruh pensilku menyadari keanehan itu, sambil mengedarkan pandangan dan hanya menemukan Liam yang memakukan tatapannya padaku. Apa yang dia lakukan?!

Mataku tak berkedip sedetik pun ketika salah satu rak itu hendak jatuh menimpaku. Respon pertamaku tentu saja terkesiap. Aku merundukkan tubuhku ketika rak besar itu jatuh hampir mengenaiku. Terdengar bunyi buku berjatuhan, namun tak kudengar satu pun bunyi benda keras dijatuhkan. Aku membuka mata sekaligus menegakkan tubuhku melihat keberadaan Justin yang sudah berdiri di depanku. Seraya melihat rak yang hampir menimpaku tadi, aku menelan ludah. Rak itu tetap berdiri, hanya saja buku-bukunya berjatuhan di dekatku.

"Tidak baik menggunakan sihir di lingkungan sekolah," sergah Justin dingin berhadapan dengan Liam. "Apalagi menyakiti seorang gadis."

Aku mengerjapkan mataku di tengah ketercenganganku saat ini. Liam berdiri dari bangkunya, lantas berjalan mendekati Justin. Senyuman miring diberikannya pada Justin, namun kedua matanya terpaku padaku.

"Anggap saja ujian untuk menghadapi Exterminators nanti." Sebelum melenggang meninggalkan ruangan ini, dia menyeringai sinis. Pandangan itu berubah seperti tatapan ultimatum. Sampai akhirnya dia enyah dari tempat ini.

Aku berdiri dari bangkuku masih tercengang. Sementara itu, Justin tidak membalikkan badannya sedikit pun. Bahkan dia tak mau mengucapkan sepatah kata pun padaku. Dia menghembuskan napas pendek, kemudian melangkah pergi.

"Justin," panggilku. Syukurlah, Justin berhenti walaupun tanpa membalikkan badannya menghadapku. "Aku tahu bahwa kau adalah... penyihir."

Pada akhirnya, Justin membalikkan badannya. Dia mengamatiku dengan saksama, lantas tertawa pendek. Aku menyelipkan sebagian rambutku ke belakang telinga, tidak nyaman melihat responnya seperti itu.

"Kalau begitu kau tidak perlu mengintrogasiku, kan?"

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu." Aku menggigit bawah bibirku. "Ayahku kemarin memberitahuku tentang beberapa informasi. Soal eksistensi Mutant Wizards dan Exterminators." Aku menghela napas panjang. "Apa—"

"Aku seorang fighters," dia menginterupsi. "Kemampuanku adalah pengendali pikiran."

Aku tertegun sejenak. Dia seorang penyihir dengan kemampuan pengendali pikiran. Sekarang aku tahu bagaimana bisa mobil Justin menembus truk itu. Pasti berkat kemampuannya.

"Kalau tidak ada yang kautanyakan, aku akan pergi," lanjutnya.

Aku menggelengkan kepala. Tanpa menambahkan kalimatnya lagi, Justin melenggang pergi meninggalkanku. Baru beberapa detik dia melangkah, dia muncul lagi. Aku memandangnya keheranan. Dia tidak memberiku kesempatan bertanya.-tanya sehingga aku berdiri seperti orang tolol melihatnya berjalan mendekatiku. Dalam satu gerakan tangan, buku-buku yang berserakan tadi bergerak sesuai gerakan tangannya, kembali tertata rapi di dalam rak buku tanpa ada yang tertinggal satu pun. Aku ternganga melihat hal itu. Sesuatu yang menurutku hanya terjadi di dalam buku, justru tampak di depan mata kepalaku. Tanpa mengatakan apapun lagi padaku, Justin melangkah meninggalkanku. Di dalam ruangan ini aku masih berdiam diri, menampilkan wajah bodoh lantaran kaget melihat hal seperti tadi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro