Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA

Ruangan yang dihadiri beberapa orang sudah penuh sesak setelah keberadaan lima anak laki-laki muncul menghadap seorang pria yang didampingi wanita berambut ikal. Salah seorang di antara mereka mengulurkan sebuah botol pada si pria berwajah tegas.

"Ah, sudah lama aku menanti kalian. Rasanya seperti satu dekade."

"Maaf, kami banyak urusan di sekolah."

"Tidak apa, Liam. Sekarang kembalilah."

Anak tersebut mundur dengan sikap hormat, lantas berbalik badan meninggalkan ruangan itu ditemani empat kawannya yang lain. Di tempatnya duduk, pria berwajah tegas itu tak mengalihkan pandangan dari botol berukuran kecil yang kini digenggamnya. Beberapa orang di ruangan tersebut menatap dengan mata terbelalak penuh hasrat sambil menelan ludah.

"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" bentaknya. "Sudah kuingatkan bukan konsekuensinya jika kalian dengan lancangnya mengamati, bahkan mencuri botol-botol milikku?"

Seketika itu pula mereka menunduk ketakutan. Tawa menggelegar terdengar di ruangan tersebut. Wanita di sebelah pria itu hanya berdecak dan memutar bola mata jengah.

Axeline's POV

"Bagaimana sekolahmu, My dear? Menyenangkan?" tanya Dad yang muncul secara tiba-tiba mengagetkanku.

Aku mengelus dada sambil menarik napas panjang. Dad masih menunggu jawabanku sementara aku belum tahu harus memberikan jawaban seperti apa. Teringat kembali olehku kejadian beberapa jam yang lalu. Terry, salah seorang temanku di kelas bahasa Inggris ditabrak mobil setelah aku—tanpa sengaja—mendapatpenglihatan tersebut tatkala tangan kami bersentuhan.

"Eh... ya. Aku punya satu teman." Lagi-lagi aku mendesah mengingat kejadian kolam renang. Hari pertama sekolah yang sangat buruk. Mungkin bagian bagusnya, aku tidak menjadi gadis canggung lantaran tidak ada satu pun teman yang kumiliki. Setidaknya Caleste sangat membantuku di hari pertama sekolah. Satu-satunya orang yang menurutku baik di SMU Robert F. Kennedy hanyalah Caleste.

"Tampaknya kau tidak mau menceritakan kejadian di sekolah?" Tatapan Dad yang begitu tajam memaksaku untuk bicara sejujurnya.

Jujur saja, aku tidak mau menceritakan kejadian-kejadian menyebalkan dan aneh yang kualami. Lagipula, untuk apa kuceritakan? Aku tidak mau dipanggil tukang mengadu karena kelakuan Justin Bieber dan kawannya yang menjahiliku tadi.

Dad menyentuh kepalaku. Hal itu tentu saja membuatku mengernyitkan dahi. Namun pada akhirnya, tangannya bergerak turun mengelus pipiku. "Semoga besok harimu di sekolah lebih menyenangkan daripada hari ini."

Ini tidak adil. Belum sempat aku bertanya-tanya bagaimana bisa dia menebak bahwa hariku begitu buruk, dia melenggang begitu saja. Aku hanya mengamatinya dari tempatku dengan mulut terbuka. Segera kukatupkan rahangku dan melimbai pergi menuju kamarku. Mungkin nalurinya sebagai ayah yang menyadari bahwa hari pertamaku di sekolah sangatlah buruk.

Aku belum hapal jalanan di kota Los Angeles kecuali jalan Catalina yang memang menjadi lokasi SMU Robert F. Kennedy. Itulah yang menyebabkan Alvero masih mengantar jemputku ke sekolah. Ditambah lagi dia seolah mengawalku kemanapun aku pergi dan itu cukup mengganggu.

"Young lady, Lord Robbespierre memberi pesan pada saya bahwa Anda tidak boleh pulang telat. Jadi, selama saya menjemput Anda, saya pastikan Anda berada di tempat biasa."

Aku memutar bola mata jengah. "Ya, ya, ya. Sampaikan terima kasihku padanya."

Bangunan sekolah sudah tampak di depan mata. Mobil Ferrari 458 yang dikemudikan Alvero berhenti saat aku mengancingkan jaket tebalku. Setelah itu, baru aku meloncat turun dari mobil.

Hari ini salju turun lagi. Aku menengadah memandangi langit mendung yang menampilkan cahaya matahari keperakan di atas sana. Entah mengapa aku justru merindukan musim panas. Jujur saja, aku membenci musim dingin. Jika kebanyakan anak keluar rumah sambil membuat boneka salju dan bermain papan seluncur, aku justru lebih senang bergelung di balik selimut, duduk di depan perapian ditemani secangkir teh atau coklat panas.

Kulepas jaketku dan menyandarkannya di tempat gantungan loker siswi. Saat aku menutup pintu loker, Caleste mengagetkan dengan memberikan cengiran lebar.

"Bloody hell, jangan lakukan itu lagi," desahku.

"Maaf." Caleste menghembuskan napas pendek. "Well, kau sudah dengar kabar kematian Terry, kan?"

Entah mengapa respon pertamaku mendengar kalimat itu adalah bergidik. "Ya. Dia tertabrak mobil. Saat itu aku ada di lokasi kejadian."

Seakan ucapanku adalah sebuah kutukan, Caleste melebarkan matanya yang bermanik coklat gelap. "What? Jadi, kau ada di sana dan melihat Terry tertabrak?"

Sebenarnya aku lebih berpikir bahwa akulah penyebab dia tertabrak mobil. Kalau saja aku tidak memanggil namanya dan membuat dia berhenti di tengah jalan, Terry masih hidup sampai sekarang. Nah, aku benar-benar merasa bersalah.

"Aku merasa seperti pembunuh," bisikku pelan.

"Pembunuh?"

Tak kubalas pertanyaan Caleste. Hanya senyum simpul yang kulayangkan dan menepuk pundaknya untuk mengajak dia pergi dari loker siswi menghadiri kelas pertama. Syukurlah Caleste dan aku memiliki jadwal pelajaran umum yang sama. Hanya saja mata ajar pilihan kami ada yang berbeda. Tidak apa, yang penting dia dan aku sudah berjalan bersama masuk ke dalam kelas Aljabar.

Perutku mulas melihat sosok tiga serangkai di tempat duduk ujung sana. Bukannya takut, aku malas saja satu kelas dengan mereka. Astaga... kenapa harus ada orang menyebalkan seperti mereka dan lebih buruknya, satu kelas denganku?

Suasana riuh di dalam kelas mendadak sepi setelah menerima kehadiran seorang wanita berjalan masuk dengan langkah kaki yang penuh ketukan berirama. Kacamatanya diturunkan sampai ujung hidung. Seolah-olah kehadiran wanita itu menjadi sebuah kutukan mengerikan atau wabah penyakit, seluruh anak di kelas ini terdiam.

"Selamat pagi," sapanya jauh dari kata ramah.

"Selamat pagi, Mam."

Aku memandangi buku tulis dan bacaanku di depan. Dari keterangan kertas yang kemarin diberikan pihak registrasi, nama guru Aljabar ini adalah Mrs. Torrents. Kalau asumsiku benar—melihat sikap anak-anak di kelas ini—Mrs. Torrents adalah guru killer. Mati sudah. Bagaimana kalau aku dibantai di kelas Aljabar karena sejujurnya, aku tidak pandai dalam bidang Matematika.

"Aku ingin kau yang mengerjakan soal ini, Miss Robbespierre."

Kepalaku tersentak kaget ketika Mrs. Torrents menyebut namaku. Tuh kan, baru aku berpikir mengerikan seperti tadi, Mrs. Torrents menunjukku.

"Why me?"

"Karena aku ingin tahu batas kepintaran seorang murid baru. Apalagi putri tunggal SirAlexander Robbespierre, orang tersohor di negeri ini."

Aku mengerucutkan bibir kesal. Kadang aku merasa menjadi anak satu-satunya seorang CEO perusahan terbesar di negeri ini sekaligus masih menyimpan darah bangsawan Inggris adalah suatu kesalahan besar; lebih tepatnya kutukan. Kuhempaskan pensilku di atas meja dan berjalan menuju ke depan. Teman-temanku sudah menghujani tatapan aneh seolah aku adalah korban percobaan ilmuwan gila. Kuraih kapur tulis yang diulurkan Mrs. Torrents dan mulai mengerjakan soal yang dia tulis di papan.

Mati sudah.

"Maaf, saya tidak bisa," kataku mengakui.

"Tidak bisa? Soal semudah ini kau tidak bisa?" Mrs. Torrents memelototkan matanya mengerikan. Kepalanya bergerak mengedarkan pandangan ke seantero kelas Aljabar. "Siapa yang bersedia mengerjakan soal ini?"

Ada yang mengangkat tangannya. Dan lebih mengerikan lagi, Justin Bieber yang mengangkat tangannya. Dia berjalan dengan pandangan mencemooh ke arahku. Ya Tuhan, aku seperti ditelanjangi di kelas ini. Justin mulai mengerjakan soal itu kurang dari satu menit. Bagus benar nasibnya, dia mendapatkan pandangan terkagum-kagum dari anak-anak perempuan di sini.

"Silakan duduk." Mrs. Torrents menunjuk bangku Justin.

Tatapan tiga serangkai terpaku padaku. Mereka tertawa—sepertinya memang sengaja menertawaiku. Aku tidak berani memandang teman-temanku di sini. Ini memalukan.

"Tidak kusangka bahwa putri tunggal orang tersohor di negeri ini tidak sanggup mengerjakan soal ini?" Alis Mrs. Torrents menukik ke atas. "Nanti temui aku di kantor."

Oh ayolah. Kenapa masalah sepele justru memerangkapku ke dalam situasi yang pelik? Baru dua hari aku bersekolah, hal-hal menyebalkan harus terjadi padaku. Sungguh sial.

Aku mengetuk pintu kantor Mrs. Torrents menerima panggilannya. Terdengar sahutan dari dalam tak beberapa lama kemudian.

"Masuk."

Kubuka pintu kantor Mrs. Torrents. Dia sudah bersiap di tempat duduknya sambil menyibukkan diri dengan buku dan pena. Tatapannya yang tajam dilempar dari balik kacamatanya yang melorot sampai di ujung hidung. Aku masih berdiri di depan pintu dengan sikap menunggu.

"Sampai kapan kau berdiri di sana?" tanyanya ketus. "Duduk."

Dalam hati aku sudah memaki-maki guru Aljabar ini. Kalau saja notabeneku bukan seorang putri tunggal Alexander Robbespierre yang dihormati di sekolah ini, sudah kuberikan segala macam makian pada Mrs. Torrents. Pada akhirnya, aku duduk manis.

"Ini menggelikan mengetahui kau bodoh di pelajaran Matematika."

Ujung bibirku naik mendengar ucapan frontalnya. "Ya aku tahu—"

"Jangan menyela kalau aku sedang bicara padamu."

Aku mengatupkan rahang rapat-rapat.

"Memalukan mengetahui anak Sir Alexander Robbespierre tidak bisa mengerjakan soal yang sangat mudah. Karena ini sekolah yang elit dan tidak bisa menolerir ketertinggalan muridnya, maka aku memerintahkanmu belajar untuk mengejar ketertinggalan itu."

Aku bisa menyadari ucapannya baru saja sebagai bentuk kalimat lain dari 'Kau anak bodoh yang tidak pantas sekolah di sekolah elit'. "Aku pasti belajar dengan sungguh-sungguh."

"Bukan belajar seperti yang kaupikirkan." Mrs. Torrents menaikkan kacamatanya bersamaan dengan suara ketukan lain di luar. "Masuk."

Kepalaku menoleh ke belakang. Secara tiba-tiba aku membelalakkan mata melihat kedatangan Justin. Dia berjalan sopan menuju meja Mrs. Torrents seraya melirikku sebentar.

"Anda memanggil saya, Mam?"

"Siapa lagi yang punya nama Justin Bieber di sekolah ini?" balas Mrs. Torrents ketus. Itu sanggup membuatku menahan tawa, sungguh. Melihat tatapan Mrs. Torrents mendadak tertuju padaku, kutarik napas dalam-dalam untuk menyimpan tawa nanti saja. "Justin, karena kau adalah muridku yang paling pintar di bidang Matematika, aku ingin kau mengajari Axeline."

"Mengajari siapa?" Dahi Justin berkerut heran sedangkan ujung bibirku terangkat tidak suka.

"Mengajari Axeline Robbespierre." Mrs. Torrents menoleh ke arahku. "Sampai dia bisa dan tidak tertinggal dengan teman-temannya."

Ya Tuhan. Sekarang apa lagi? Diajari Matematika oleh salah satu anak yang menyebalkan di sekolah ini? Well, kurasa tiga serangkai yang dielu-elukan oleh sebagian murid SMU Robert F. Kennedy tidak memiliki sedikit pun sikap baik. Aku masih kesal mengingat ulah ketiganya kemarin di kolam renang. Andai aku bisa, aku sudah membalas mereka. Tapi kembali lagi pada notabeneku. Aku anak Sir Alexander Robbespierre, tentu saja sikapku harus dijaga kalau tidak mau mempermalukan nama baik ayahku.

Air muka Caleste mendadak berubah setelah kuberitahu bahwa Mrs. Torrents memberi perintah pada Justin untuk mengajariku Matematika. Sepertinya dia kasihan padaku sudah terjebak bersama salah satu dari ketiga anak cowok itu. Aku sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku nanti.

"Sebenarnya mereka itu baik." ujar Caleste saat itu. "Hanya saja... well, menyebalkan."

Aku mengerucutkan bibir miring. Mana ada anak baik yang menyebalkan?

"Eh... sebaiknya kita pergi dari sini..." Caleste menarik lenganku cepat sampai membuatku terpekik kaget.

"Apa? Ada apa?" tanyaku bingung.

Kami berhenti di kelokan yang otomatis membuatku semakin bingung. Pandangan Caleste jatuh pada sosok lima anak yang berjalan seirama dari sebuah arah. Beberapa siswa menyingkir takut-takut menyadari kehadiran lima anak tersebut. Caleste menarik napas dalam-dalam masih belum menghilangkan pandangan anehnya ke arah lima cowok itu.

"Kenapa sih?" tanyaku masih penasaran.

"Ngg... sebaiknya kau tidak usah bertemu dengan mereka."

"Kenapa?!"

"Kusarankan untuk tidak bertemu dengan mereka." Caleste menggigit bibirnya. "Sepertinya—"

"Cal!"

"Gee!" Caleste terpekik cukup keras menyadari kehadiran seseorang yang menepuk pundaknya. Aku menyadari kedatangan seorang anak laki-laki bermanik mata biru laut tertawa pelan. "Kau mengagetkanku saja! Astaga!"

"Maaf. Sedang apa kau bersembunyi di sini?"

Tanpa membalas pertanyaan bocah itu, Caleste menunjuk ke lima anak tadi. Bagus, sekarang aku berdiri seperti orang tolol yang tidak tahu apa-apa.

"Ya ampun. Tidak biasanya kau takut." Anak cowok itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku? Tidak. Tapi, dia akan menarik perhatian mereka."

Aku tidak suka lirikan Caleste yang seperti itu tertuju padaku. Tuh kan, sudah kutebak bahwa kehadiran lima anak cowok itu pasti bersangkut pautan denganku sampai membuat Caleste menarik tanganku untuk menghindar.

"Btw, aku belum berkenalan denganmu." Cowok itu tersenyum lebih lebar. "Aku Logan Lerman."

Aku membalas senyumnya. "Axeline Robbespierre."

Kedua mata Logan otomatis membelalak lebar. Dia mengamatiku dari atas ke bawah, tidak menghilangkan ekspresi terkejut yang tercetak di wajahnya. Otomatis aku mengamati diriku sendiri mendapatkan pandangan menilai seperti itu.

"Wow, aku tidak tahu kalau Sir Alexander memiliki anak. Seharusnya kau masuk TV karena putri dariSir Alexander Robbespierre telah ditemukan. Seperti sinetron-sinetron. Kau tahu? Anak yang dibuang, anak yang ditukar, anak yang ditelantarkan..."

"Jangan dengarkan omongan sintingnya." Caleste menggelengkan kepala.

Aku menoleh lagi untuk melihat apakah lima anak cowok itu sudah tidak ada. Dan ya, mereka memang sudah menghilang dari lorong itu. Seperti dugaanku, Caleste menghela napas lega.

"Bisa jelaskan kenapa kau seolah menghindarkanku dari mereka?" tanyaku masih bingung. "Memangnya mereka siapa?"

"Kau tidak mengenal siapa mereka?" nada Logan berubah naik setengah oktaf.

Aku mengedikkan bahu. Sepertinya sekolah ini tempat persembunyian makhluk-makhluk luar angkasa. Tidak hanya ada tiga serangkai yang dipuja di sini, melainkan lima cowok lain yang kehadirannya seperti mengancam kehidupan bumi.

"Liam, Zayn, Niall, Louis, dan Harry." Logan mengelus dagunya. "Lima anak pembuat onar di sekolah. Mereka berlima tidak hanya mencari ribut di sekolah ini. Sudah berulang kali kepala sekolah memberikan ultimatum, tapi tetap saja kelima anak itu membangkang. Banyak siswa-siswi SMU Robert F. Kennedy yang takut pada mereka. Pembawaan mereka begitu... angker."

Oh ayah, sepertinya kau salah memasukkan putrimu ke sekolah ini. Aku mendengus pelan mendengar penjelasan Logan.

Kesialanku di sekolah ini tidak berakhir begitu saja. Gara-gara Mrs. Torrents, aku terjebak di sebuah ruangan bersama Justin yang terus memantauku tanpa mengalihkan perhatiannya sedikit pun. Oh tentu saja aku tidak akan keGRan. Dia menatapku begitu tajam sampai membuatku merasa seperti dipaku di atas kursi. Sebelumnya aku sudah menghubungi Dad kalau aku punya jadwal tambahan karena ketertinggalanku di sini. Bagusnya, aku tidak memberi tahu kalau Justin Bieber, anak yang mengerjaiku kemarin, adalah guru privat dadakanku. Lagipula aku tidak mau menambah masalah.

Lagi-lagi aku melirik Justin yang duduk santai di atas sofa dan kini berkutat pada buku yang dibacanya.

"Jangan menatapku seperti itu," ujarnya tanpa mengalihkan perhatiannya. Setidaknya aku bisa menarik napas lega dia tidak lagi mengamatiku, melainkan menyibukkan diri dengan buku di tangannya.

Aku kembali menulis di buku. Bagaimana aku bisa mengerti Matematika kalau caranya mengajariku sangat... well, tidak manusiawi? Dia sering membentak-bentakku. Kalau aku tidak mengerti, dia pasti berteriak kesal.

"Ini sudah malam," protesku seraya menunjukkan jam digitalku ke arahnya. "Sudah jam delapan. Aku mau pulang!"

"Anak manja, kau belum mengerjakan soal yang kuberikan dengan benar."

"Aku bukan anak manja."

Justin menoleh ke arahku, pada akhirnya. Lantas diletakkan buku yang dibaca ke atas meja. Dia menurunkan kedua kakinya dari atas lengan sofa, kemudian berdiri dengan tatapan yang mungkin menandakan 'kau minta dihajar rupanya'.

"Kalau kau berhasil menjawab satu soal yang kuberikan, kau boleh pulang."

Aku menghela napas panjang. Bagaimana bisa aku pulang kalau soal yang diberikan sangat sulit?! Atau jangan-jangan dia sengaja menyulitkan soal yang dibuatnya agar aku terperangkap di sini semalaman? Hell.

"Hanya satu soal. Dan kau tidak bisa?" tanyanya saat melihat buku tulisku. "Astaga, kenapa kau bodoh sekali?"

Tidak suka disebut bodoh, aku menautkan alisku dan berdiri. "Jangan sebut aku bodoh. Aku hanya tidak pandai dalam urusan hitung menghitung."

"Kalau kau tidak mau disebut bodoh, kerjakan soal itu. Kau kira aku tidak capek menunggumu sampai malam begini? Dan kau belum menjawab satu soal dariku?" Justin berdecak kesal.

Gee, lagipula aku juga tidak mau dekat-dekat dengannya sampai malam begini. "Jangan sebut aku bodoh, maka kukerjakan soal ini dengan benar. Dasar orang aneh."

"Kau menyebutku apa?" Nada Justin naik dua oktaf.

"Orang aneh. Jangan kira aku tidak bisa membalas perlakuan menyebalkanmu kemarin di kolam renang, orang aneh."

Dia tertawa pelan. Tubuhnya sedikit maju hingga bisa kucium aroma parfumnya yang begitu menggiurkan. Aku menggembungkan pipiku melihat wajahnya yang menampakkan amarah.

"Kuingatkan satu hal, kau sedang berhadapan dengan Justin Bieber."

"Apakah itu berpengaruh untukku jika namamu adalah Justin Bieber?" Aku teringat ucapan Caleste tempo lalu kalau mereka tidak ada apa-apanya karena aku memiliki marga Robbespierre. "Well, kau juga sudah salah berhadapan dengan Axeline Robbespierre."

"Oh, jadi kau mengancamku. Begitu?" Justin tersenyum miring. Aku yakin itu pertanda buruk lantaran belum pernah aku mendapatkan senyuman seperti itu.

Aku mengkeret di tempat dudukku melihat tatapan tajamnya seolah mengisyaratkan ultimatum keras. Dia menunduk hingga wajahnya sangat dekat dengan wajahku, mungkin bisa dihitung jaraknya kini sekitar lima senti dariku. Aku menggigit bibir dan tanganku gemetar.

"Kau mau apa? Kau mau apa?" seruku.

"Jangan GR. Aku mau kau secepatnya mengerjakan soal itu."

Bisa kurasakan aliran darahku terpompa dari jantung sampai ke atas kepalaku. Kuhela napas panjang ketika dia menjauhkan tubuhnya dariku. Kembali, aku duduk santaidiikuti dua mata Justin yang tertuju padaku. Ditunjuknya buku tulis di hadapanku dengan kedua alis saling bertautan.

"Apa ini? Aku sudah mengajarimu dari tadi sore dan kau masih belum juga mengerti?!"

"Jangan membentakku!"

"Kau pantas dibentak!"

Aku mendorong tangannya menjauhi buku tulisku.

Bagaimana bisa anak sebodoh dia menjadi garis keturunan Robbespierre?!

Kepalaku tersentak mendengar suara itu. Suara Justin, aku yakin. Maka, kulayangkan tatapan tidak main-main untuknya dan berdiri dari kursiku.

"Berhenti menghinaku!" geramku.

"Menghinamu?"

"Apa maksudmu mengatakan 'bagaimana bisa anak sebodoh dia menjadi garis keturunan Robbespierre'? Aku tahu aku bodoh, tapi ucapanmu sangat tidak sopan, Bieber!"

Justin tidak membalas ucapanku. Dia tampak tercengang dan segaris senyuman aneh tampak di bibirnya. Sebelah alisnya ditarik ke atas. "You read my mind?"

Membaca pikirannya? What the hell? Mana bisa aku membaca pikirannya. Dia kira aku cenayang yang bisa dengan seenaknya membaca pikiran orang lain? Atau Edward Cullen, begitu? Gila.

"Sudahlah," kataku ketus.

"Tidak, aku ingin kau membaca pikiranku sekali lagi."

Ya ampun. Oke, kuakui kalau Justin sangatlah tampan. Tapi, kenapa dia bisa sinting seperti ini? "Aku tidak bisa membaca pikiran. Hell, ada apa denganmu?"

Tanpa membalas ucapanku, Justin menarik sebelah tanganku dan menggenggamnya erat. Aku mencoba meronta, tapi genggamannya begitu kuat, dan aku yakin dia bisa meremukkan tulangku.

"Apa yang kau lakukan?!"

"Coba, dengarkan apa yang tengah kupikirkan."

Aku masih mencoba menarik tanganku, namun mendadak kehadiran suaralain yang mampir di kepalaku membuatku terdiam.

Kau bodoh.

Secara instingtif, aku menarik tanganku dan menamparnya sangat kencang. Justin meringis kesakitan seraya menyentuh sebelah pipinya dan memandangku marah.

"Hentikan," ujarku kesal. "Ya aku tahu kau sangatlah pintar dan aku bodoh. Puas?!"

Tidak ingin lagi mendengar cemoohannya, kurapikan buku-buku dan alat tulis di atas meja ini dan memasukkannya ke dalam tas. Selanjutnya, aku menarik tasku, lantas enyah dari hadapan Justin yang masih terpaku menatapku. Masa bodoh dengan acara belajar dadakan ini. Kalau dia masih tidak berhenti mencemoohku, aku akan meminta Mrs. Torrents mengganti Justin dengan orang lain. Memangnya hanya dia satu-satunya anak yang pintar Matematika di sini?? Sekolah macam apa ini kalau Justin hanyalah satu-satunya anak yang pandai Matematika di sini.

Suasana sekolah sudah sepi ketika kulangkahkan kakiku menelusuri lorong. Udara musim dingin memang menyebalkan. Aku merapatkan jaketku dan meniup telapak tanganku yang nyaris membeku. Terdengar suara gaduh di sebuah arah yang menarikku untuk melihat ke sana. Aku berbelok ke lorong lain, mendapati lima anak laki-laki tengah berdiri di sebelah tubuh seorang gadis yang terbujur kaku.

Hampir saja aku berteriak andai saja tidak ada yang membungkam mulutku.

"Ssstt..."

Aku memelototkan mata menyadari siapa yang membekap mulutku saat ini. Dia membawaku bersembunyi di balik tembok. Jantungku masih berdegup kencang melihat kejadian itu. Apakah itu tadi... pembunuhan? Dan, kenapa Justin justru berdiam diri membekap mulutku di balik tembok?

"Sungguh malang. Aku jadi tidak tega melihat makhluk secantik ini harus mati." Salah satu di antara mereka berkoar pelan.

"Hentikan, Harry. Semua gadis di sini kau anggap cantik."

"Lebih baik begitu daripada kau, Niall. Mengencani makanan."

Bisa kudengar tawa dari mereka. Astaga, apakah pembunuhan semacam itu dianggap lelucon bagi mereka? Aku ingin sekali melihat apa saja yang dilakukan lima anak tersebut. Tapi, Justin masih membekap dan menahan tubuhku.

"Ayo pergi. Aku sudah merasakan tanda kehadiran mereka di sekitar kita."

Sampai akhirnya kudengar langkah kaki mereka yang nyaris samar meninggalkan tempat itu. Kupastikan mereka sudah menghilang dari lorong tersebut, hingga Justin melepasku dan menyeretku pergi dari sana. Aku bahkan tidak memiliki waktu untuk bertanya atau pun memakinya.

"Aku akan mengantarmu," katanya.

"Nope."

"Jadi, kau memilih untuk menunggu sopirmu di sini dan sesuatu yang buruk terjadi? Begitu? Baiklah."

Aku memikirkan kembali kejadian mengerikan seperti tadi. Mengerikan juga kalau aku menunggu sendirian di sini. Maka, kutarik tangan Justin sampai membuatnya berhenti.

Tuh kan, dia memang penakut.

"Ya, ya, ya. Aku memang penakut." Aku mendesah frustrasi. "Aku terima tawaranmu."

Seakan-akan menang telak dariku, Justin menyengir kuda. "Nah, you just read my mind."

Aku tidak peduli dengan ucapannya tentang membaca pikiran atau bedebahlah. Lagipula aku bukanlah keturunan cenayang. Syukur-syukur saja andaikan aku bisa seperti Edward Cullen. Ya, itu dunia fantasi. Dan, ini dunia nyata. Tanpa banyak bicara lagi, kami berjalan saling berdiaman menuju tempat parkir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro