Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5 One Day


~=Kuumpamakan kilau mata milikmu sebagai kelopak edelweiss abadi; dijamah mentari yang paling subuh, di atas puncak imajiku yang paling ungu=~
.
.
Starla POV
.
.

Sejak semalam nasib baik memang tidak berpihak padaku. Menggerutu pun tidak akan memperbaiki keadaan. Semua memang kecerobohanku, kecuali tidak sengaja bertemu gebetan rusak di hotel, tempat si sinting itu menginap. Lantas, pagi ini, aku sudah berjalan dengan hati-hati, malah terpeleset. Nyata-nyata, jalan yang kulewati itu aspal mulus dan datar, mengakibatkan lengan dan lututku tergores. Kalau begini, aku tidak bisa tampil mulus seperti iklan body lotion. Sebagai wanita normal, tentu saja aku iri dengan kulit tanpa noda dan berpori-pori kecil. Namun, sebagai wanita pula, aku sering heran, kok mau ya mengekspos tubuhnya di media hanya untuk uang? Kok mau ya harga dirinya dijajah oleh kapitalis? Dia sih cuma dapat recehan dari semilyar keuntungan itu. Ih, apa peduliku? Sepertinya, jatuh mengakibatkan otak sok tahuku mengambil kendali. Pokoknya masalahku hari ini bagaimana menghilangkan bekas gores di kulitku.

Aku manyun, melihat betis yang memar.

“Neng, bayam, Neng…. Murah kok, dua ribu saja.” Si pedagang pasar tumpah, seorang wanita berpakaian abu tua menawarkan dagangannya.

Ah, sudahlah. Sebaiknya, kusudahi drama mengasihi diri sendiri.

“Wah, masih segar ya, Bu,” aku menghampirinya, memilih-milih bayam yang diikat rapi. Kalau bertemu pedagang kecil, satu pantanganku: menawar. Untung mereka tidak seberapa, kebutuhan mereka mungkin lebih banyak dariku. Jadi, seribu atau tiga ribu tidak akan membuatku kaya atau bangkrut. Syukur-syukur dengan selisih uang yang tidak seberapa itu bisa membantunya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Para pencari nafkah, bagiku adalah pejuang kehidupan. Inilah eksistensi jual beli yang sesungguhnya, tolong-menolong.

“Iya, itu…, mobil yang parkir di depan, denger-denger ada pengacara dari Jakarta yang membantu Cik Eunah. Kasihan memang. Anak yang dirawat sejak kecil, dewasanya malah melaporkan ibunya ke polisi. Hanya karena duit. Durhaka itu! Tiga belas juta itu tidak akan bisa membayar kasih sayang seorang ibu.” Pedagang tempe membuka obrolan atau melanjutkan obrolan mereka.

Aku mendengar saja, mengambil satu ikat bayam. Dua ikat kacang panjang dan….

“Pengacara di sini tidak ada yang mau membantu. Iyalah, orang kecil kayak kita ini, apa berhak mendapat keadilan? Buat bayar saja tidak bisa.” si pedagang sayur menimpali, “apa lagi Neng yang mau dibeli?”

“Sudah, Bu. Berapa semuanya?” tanyaku, mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan. Setelah mendapat kembalian, aku bergegas mencari rempah-rempah untuk bumbu.

Mataku berkeliling dan menjumpai seorang pria menatapku di ujung jalan. Aku menaikkan alis. Si sinting itu lagi. Mati aku. Gara-gara bertemu Gidion di lobi hotel, aku segera menitipkan barang miliknya ke bell boy. Ughh, dan kenapa dia berjalan ke arahku? Aku harus pergi untuk menghindarinya!

“Kalau memang tidak bisa mengucapkan terima kasih secara langsung, oh ya, biar aku saja. Terima kasih karena berkatmu, aku bisa merasakan empati pada orang lain.”

Kata-kata itu membuatku berhenti. Aku merasa ada yang janggal. Apa maksud ucapannya itu? Bisa merasakan empati pada orang lain?

“Hai,” aku tergagap menyapanya.

Dia menilaiku, mengabsen tubuhku dari atas ke bawah. Dan sialnya, dia menemukan luka pada betisku. Si Sinting itu mendengus kecil.

“Mas Jenta,” ada ibu-ibu mengejarnya, “ini, ada rejeki sedikit. Terima kasih sudah bersedia membantu saya di persidangan nanti.”

Jenta menolak amplop itu, “Maaf, saya tidak bisa menerimanya.”

“Tolong, saya tidak enak kalau menerima kebaikan orang lain dengan gratis. Diterima ya Mas.”

“Bu, saya membantu karena saya berpikir harus melakukannya. Tolong, gunakan uang ini untuk ibu, untuk membeli kebutuhan.” Katanya, benar-benar seperti malaikat.

Si ibu berkaca-kaca, menggumamkan terima kasih dan doa-doa untuk Jenta. Dan pria itu? Hanya terus tersenyum dan mengucapkan amin. Satu hal yang kuketahui, Jenta adalah pengacara, atau setidaknya mendekati seperti itulah.

“Pengacara juga, Mas?” tanyaku, setelah kami berdua.

“Jualan sayur, Mbak?” dia tertawa menggoda.

Aku tidak tergoda. “ini yang disebut menemui klien? Omong-omong, kienmu tidak prestisius.”

Jenta menipiskan jarak. Selalu. Dia selalu begitu. Apa dia gagu sih kalau bicara jauh dariku? Seingatku pula, telingaku masih normal. Tidak perlu terlalu dekat karena kalau dia hanya berjarak beberapa ichi, aku hanya fokus melihat bibirnya. Oh, ya ampuuuun, gara-gara bibir itu aku melewati insomnia terburuk sepanjang hidup! Aku pun mundur, tidak sudi berdekatan dengannya.

“Hukum itu bukan tentang siapa yang berani membayarku, Starla, tetapi apakah aku mampu memberikan keadilan, pada tersangka sekalipun.” Lagi-lagi dia melakukannya, berbicara sambil menatap mataku. Aku tidak suka ini, tidak suka kalau ada seseorang yang—ck, sudahlah. Jenta melihat jam tangan rolexnya. Itu imitasi, kan?

“Waaaah, aku terpesona!” Entah terpesona pada cara pikirnya atau jam tangan mewahnya.

“Mau minum kopi bersamaku?”

Aku mengangkat plastik berisi sayuran tinggi-tinggi, “memang kamu mau?”

“Aku tidak keberatan,” jawabnya, mengerling tengil.

Aku menghembuskan udara, memikirkan ide licik untuk mengerjainya, “bawakan, ya?” kusodorkan plastikku, dan begonya, dia menerima itu tanpa protes. Sial, teknikku menghindar tidak mempan!

***


Aku sama sekali tidak menyadari bahaya menyeruput kopi traktirannya harus berakhir dengan makan bersama, di villaku. Sore nanti dia mau balik ke Jakarta, dan dia tidak suka membuat seseorang berutang, sekalipun secangkir kopi. Dan di sinilah aku berada, di dapur, mencoba membuat nasi goreng untuknya. Heran ya pada pria itu. Uangnya pasti banyak, sampai membela seorang ibu-ibu tanpa mau dibayar, tapi dia minta makan gratisan padaku. Aku mengaduk-aduk potongan sosis agar bercampur dengan nasi.

“Aromanya enak,” tahu-tahu dia sudah berdiri di sebelahku. Bertelekan pada meja bar.

Aku menuangkan nasi goreng sosis pedas di atas piring lalu membawanya ke meja. “Aku berharap kamu keracunan setelah makan.”

Jenta duduk, memegangi dadanya, “menjadi hantu akan memudahkanku untuk terus mengikutimu.”

“Kamu terdengar menyeramkan,” balasku, tertawa, “ayo, makan!”

Jenta mengambil sendok, menyuap nasi goreng ke mulutnya. Untuk sedetik, aku melihat ekspresinya yang aneh. Tapi, karena dia pandai mengendalikan ekspresi, dia memasang wajah seolah tidak terjadi apa-apa.

“Serius, Jen, aku tidak memasukkan racun.”

“Kamu tidak ikut makan?” Jenta melahap satu sendok penuh, melihat makanan di piringku yang belum tersentuh, “kalau kamu tidak segera makan, aku bisa curiga.”

Aku memutar mata, beranjak dari duduk lalu memilih kursi di sebelahnya, “hei,” kutarik piring Jenta, “kalau tidak habis, jangan dipaksakan.”

Jenta merebut lagi piringnya, “aku tidak mungkin menyisakan makanan seenak ini.”

“Kamu kepedesan, Jen.” Kusodorkan segelas air setelah menuangkannya dari teko.

Selagi dia minum, aku memakan nasi goreng sisanya.

“Starla….” Nadanya melemah.

Aku mengangkat kepala, “apa? Kalau tuan rumah menyuruhmu berhenti makan, ya berhenti. Tamu tidak tahu diri, ck…, berniat bikin aku bangkrut, ya?” aku terus mengunyah sambil megap-megap. Gila, aku kebanyakan memasukan cabe!

Jenta hanya memandangiku, padahal aku tadi sudah mengambilkan minum. Ya, setidaknya, dia bisa kan menuangkan air untukku? Banyak yang mengatakan bahwa pria tidak peka, dan aku percaya sekarang. Kuputuskan untuk mengambil teko sendiri.

“Biar aku,” tahannya, mengambil teko di tanganku lalu menuangkannya ke gelas, “ini.”

“Makasih,” aku meminum dan nyaris tersedak saat Jenta mengelap keningku yang berkeringat. Dengan sabar dan berurai senyum menawan sejagad raya, dia menutul-nutulkan tissue.

“Kamu cantik kalau berkeringat,” pujinya sepenuh hati. Tapi, aku tidak tertipu rayuannya. “Benar-benar menarik.”

Heh? Belum pernah dilakban ya mulutnya?

TBC

Udah bacanya, tarawih sana! Wq 😜😜😜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro