Bab 17 Mengecup Bayangan
~=Setiap rindu yang mampir, kamu ada di dalamnya. Selalu. Menjadi sebentuk hati yang tak bisa kusakiti=~
.
.
Starla POV
.
.
Aku pikir awkward moment hanya terjadi saat aku dan anak magang lainnya sedang menggosip tentang keganjilan Pak Teguh lalu tiba-tiba orangnya ada di belakangku atau salah satu di antara kami. Rasanya ada sesuatu dari dalam diri yang menggelitik sampai-sampai bikin salah tingkah dan susah napas, tapi ternyata belajar sebelum ujian proposal tesis ditemani Jenta juga jadi salah duanya. Dia hanya diam, bermain ponsel, tidak mengajakku ngobrol, memang. Satu-satunya yang kupermasalahkan adalah tatapan matanya. Aku melihat dengan jelas ketidaksukaan karena rambutku yang berantakan. Kemudian dengan sok tahu, dia menguncir rambutku tinggi-tinggi. Dan, tahu apa katanya?
"Nah, kalau begini, kamu tidak terlihat mengajakku tidur." Suaranya dekat di telingaku, begitu lembut seperti marsmellow bakar.
Tak ada waktu untuk merespons ketengilannya. Aku segera menggeser tubuh. "Kamu tahu, aku tidak bisa tidur karena ini." Kuangkat ke udara lembar tesisku.
Jenta terkekeh, membuat bahunya bergetar. "Kamu tahu pasti, tidur seperti apa yang kumaksud."
Aku berkedip-kedip seperti lampu yang kekurangan pasokan arus listrik. Dipandangi saja bikin rikuh. Dia malah menggodaku dengan godaan iblis mesum. Katanya setuju pada aturan baruku. Setuju dari Hongkong?
"Oh ya," aku sudah tidak fokus lagi, setelah memasukkan buku-buku referensi dalam tas, aku menatap tumpukan buku yang tersisa. "Setelah ujian proposal, katanya kamu mau mengenalkan aku pada ayahmu. Jadi, kan?"
Jenta duduk lagi ke tempatnya semula. "Kamu tidak menyesal?"
Menyesal? Jenta memasang wajah serius. Ada ya bertemu calon mertua bisa menjadikan seseorang menyesal?
"Kalau kamu tidak mengenalkanku, aku curiga bahwa kamu hanya mempermainkan perasaanku." Aku menyeka mata yang terasa sepet, "aku tidak mungkin menyesal."
"Ayahku tidak sebaik yang kamu pikir." Sahutnya,lebih terdengar melankolis.
Aku memutar meja agar bisa duduk di sisinya. "Alasan pernah berbuat jahat tidak akan bisa memutus ikatan darahmu dengannya. Tidak akan pernah. Dan, kamu tak perlu malu untuk itu. Ayahmu sedang menebus kesalahannya. Jangan patahkan harapannya untuk jadi orang baik dengan pandanganmu yang dangkal."
"Kenapa?" Jenta menatapku dalam-dalam. Dia berusaha mencari jawaban yang memuaskan rasa ingin tahunya.
"Begitulah kasih sayang bekerja." Aku mengambil napas, "di masa lalu, orang tua selalu mengingatkan kita untuk berbuat baik dan tidak melakukan kejahatan. Lalu, saat kita tumbuh dewasa, orang tua kita malah terpeleset dalam kesalahan. Kamu bukan jaksa, hakim atau eksekutor, jadi tugasmu bukan menuntut, menghakimi, atau mengeksekusinya. Tugasmu adalah memaafkannya. Memaafkan adalah bentuk kasih sayang tertinggi dengan menyerahkan urusan akhir pada Tuhan."
"Maaf?" Dua matanya menyipit, menyimpan misteri yang mengerikan. Bulu kudukku sampai berdiri. "Dia tidak pantas dimaafkan."
"Awalnya, aku juga berpikir begitu pada papaku. Seseorang akan minta maaf setelah melakukan kesalahan. Tapi, membunuh bukan kesalahan. Membunuh adalah kejahatan. Selama berpikir seperti ini, hidupku tidak pernah bahagia. Biasanya mimpi buruk bisa kulihat saat tertidur, namun dengan mata terjaga, semua hal yang kulewati adalah keburukan. Kemudian, aku berusaha memaafkan. Memaafkan jalan keliru yang pernah diambilnya. Jika berat melakukan itu, cukup lakukan untuk kebahagianmu. Lepaskan rasa sakit itu, Jen. Aku tidak mau seseorang yang kusukai menyimpan dendam di sini." Telunjukku menyentuh dadanya. "Kamu memang anak dari ayahmu, tapi kamu bukan ayahmu. Ada perbedaan mendasar antara kalian."
Jenta menahan napas. Entah mengapa, aku merasa ekspresinya sangat polos. Dia seperti menyimpan sesuatu tentang ayahnya, kemauan memaafkan dan yang berkaitan antara mereka. Aku belum tahu sesuatu itu apa. Naluriku mengatakan ada yang salah. Jenta terlihat serupa anak kecil yang tersesat. Dia membutuhkan aku agar bisa kembali ke rumahnya.
"Apa perbedaan kami?" Ia mengatakan itu dengan rahang mengeras.
Aku menepuk bahunya. Matanya beralih dari melihat lekat pada mataku lalu ke punggung tanganku yang ada di bahunya.
"Pertama kali berkenalan denganmu, aku tahu bahwa kamu adalah orang baik yang punya kepedulian pada orang lain. Begitu juga hari ini. Kamu selalu mementingkan aku. Memastikan keamananku. Mencintaiku dengan cara-cara yang sederhana. Ada beberapa hal yang tidak kamu sukai dariku, misal, penampilanku yang selalu berantakan, tapi kamu tidak pernah memaksaku jadi orang lain." Aku memberinya senyum untuk menunjukkan bahwa apa yang kukatakan itu sungguh-sungguh. "Kamu memiliki hati yang hangat dan kurasa kamu pantas dicintai oleh siapapun."
"Bagaimana jika aku seorang monster?" Tanyanya, mistis.
Aku nyengir, "monster apa? Kamu melihatku terluka saja sudah khawatir. Mau jadi monster? Hahaa."
Di luar dugaan, Jenta menurunkan tanganku. Dia memegangnya, ragu. "Bagaimana jika aku menyakitimu? Apa kamu akan membenciku?"
Aku meremas tangannya, menghilangkan keraguan yang mengendap di benaknya. "Aku tidak akan pernah membencimu sebagaimana kamu tidak akan pernah bisa menyakitiku."
Jenta tersenyum. Lepas. Bebas. Dan meneduhkan. Diusapnya poniku lalu diacak-acak ketika aku cemberut. Jenta tersenyum lebih lebar hingga gigi gerahamnya terlihat. Dibanding sebelum-sebelumnya, kali ini dia lebih rileks. Pria itu seperti baru saja melepas beban berton-ton. Aku suka, selalu suka caranya tersenyum, mengacak poni, atau menatapku seolah hanya ada aku di dunia ini. Omong-omong, apa yang tidak kusukai darinya?
TBC
Jadi, apa pendapatmu tentang Jenta di bab ini? 😄😄😄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro