Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15 Buruan Kesayangan

~=Pada senja, aku berani bercerita. Tentangku yang kembali jatuh cinta. Pada seorang gadis, kunamai sebagai yang seribu dari jiwaku=~
.
.
Jenta POV
.
.

Athaya mengumpat ketika aku berhasil memasukkan bola dalam ring basket. Lagi. Ini sudah ke 12 kalinya dan dia belum mencetak skor. Sama sekali. Biasanya, dia tidak selemah ini. Kami adalah lawan yang imbang. Kami bersaing di lapangan basket dan aku harus kesusahan mengalahkannya. Sekalipun menang, aku meraih prestasi itu dengan cukup sulit. Tapi, berbeda hari ini. Dia tidak fokus, hilang keseimbangan dan sering melakukan kesalahan saat melempar bola ke ring.

Aku mendribble bola lalu melemparnya ke sudut utara. Athaya mengelap keringat di keningnya, menyingkir ke pinggir lapangan. Aku ikut menepi, berjongkok agar bisa mengambil dua benda dari ranselku. Kulempar botol air mineral milikku padanya, dan gagal ditangkap. Dia mengumpat lagi. Sembari mengelap keringat, aku mendekatinya.

"Ada yang mengganggumu?" Kupikir, ini adalah pertanyaan yang menunjukkan empati, meski aku tidak tahu pasti bagaimana "merasakan" empati. Aku belum, setidaknya hanya satu orang yang membuatku merasa iba ketika aku melihatnya menderita. Sisanya, aku hanya mengenal marah dan ingin membalas perbuatannya.

Kata ayahku, aku tidak normal. Dia pernah membawaku menemui ahli neurologi. Dari hasil PET (positron emission tomography),  diketahui bahwa otakku memiliki pola aktivitas  yang berbeda. Khususnya di bagian amygdala—bagian otak yang memproses rasa takut, empati, dan emosi lain—dan di korteks frontal orbital—bagian otak yang digunakan ketika mengambil suatu keputusan—didapati bahwa aktivitas pada kedua bagian tersebut lebih sedikit dibandingkan pada otak orang normal. Kata dokter yang menangani, aku adalah seorang psikopat.  Untuk memastikan kesimpulan itu, aku mengikuti beberapa psikotest. Diantaranya pencocokan kepribadian yang dilakukan diam-diam oleh ayah, dan wawancara dengan metode DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder). Selain memiliki IQ tinggi, tes itu menunjukkan gejala antisosial pada kepribadianku. Lalu pada akhirnya, tes-tes itu menggiring opini yang menyatakan bahwa aku adalah monster.

Aku tidak peduli pada hasil tes itu. Aku merasa bahwa diriku sampai saat ini baik-baik saja.

Ada yang lebih penting untuk diketahui. Usai tes yang menyita waktuku, ayah menempatkan aku di panti sosial. Kurang lebih 6 tahun. Aku diajari bersosialisasi dan etika berteman. Omong kosong. Sebenarnya, itu adalah caranya mendepakku dari rumah untuk istri barunya. Dan..., ada satu hal yang membuatku ingin menghabisinya. Adalah Defania, gadis seusia denganku, tinggal di panti, dan bersekolah di tempat yang sama. Menjelang kelulusan, kami berjanji akan sekampus, melanjutkan mimpi kami membela orang tak bersalah lewat hukum. Kata Defania, hanya cara ini yang dibenarkan oleh negara. Aku percaya padanya. Sayang, aku harus kehilangannya kesempatan kuliah bersama seminggu setelah pengumuman kelulusan. Ayah memperkosanya, begitu cerita Defania. Ketika aku mencari kebenarannua, ayah hanya tertawa sambil menggelengkan kepala kemudian mengatakan bahwa apa yang dia lakukan adalah hal wajar karena dia ingin menikahi anak yatim piatu itu. Dia tidak tahu bahwa aku menyukai Defania, satu-satunya gadis yang menganggap keberadaanku, menganggapku manusia.

Aku tidak membalas perbuatan ayah untuk saat itu. Perlu amunisi sebelum menyerangnya. Butuh waktu delapan tahun untuk mewujudkan pembalasan dendam yang manis. Begitu tamat pendidikan magister, aku segera melancarkan rencanaku. Pertama, aku harus aktif dan menonjol dalam Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia. Sekitar dua tahun aku berhasil mengambil hati senior-seniorku. Lalu setelah semua dalam genggaman, aku memperoleh kesempatan emas, yakni direkomendasikan saat mendaftar sebagai komisioner KPU DKI Jakarta. Pada peraturan perundang-undangan, usia pendaftar komisioner minimal 30 tahun. Aku harus bangga pada trik  ayah memalsukan identitasku. Usiaku sebenarnya 28 tahun, tapi di dokumen keluarga aku dituakan dua tahun. Dia tidak mau publik tahu bahwa aku tidak normal seperti kebanyakan manusia karena itulah dia menutupi segala kebenaran tentangku.

Sudah kubilang, aku memiliki kemampuan intelektual yang tinggi. Jangan heran kalau aku sudah masuk sekolah dasar pada usia lima tahun, mengambil kelas akselerasi saat SMP dan SMA, kuliah strata satu dalam 6 semester, dan sambil mendapat lisensi advokat, aku mengambil pendidikan pascasarjana. Selain punya sederet prestasi yang diakui nasional, aku juga belajar banyak hal. Olahraga, komputer, dan bermain-main dengan wanita. Untuk saat ini, aku hanya mengkategorikan perempuan dalam dua jenis. Satu, diajak main-main. Dua, menikah.

Starla? Dia ada di kategori pertama.

Hampir lupa, sebenarnya aku sudah kenal ayah Starla, Adipati Husni, saat pertemuan yang diadakan oleh HAPI, tepat saat dia empat bulan menjabat ketua KPK. Aku memberikan bukti-bukti ayahku terlibat kasus suap di Kejaksaan Negri Jakarta Selatan yang berefek pada keputusan jaksa yang tidak melakukan penyelidikan terhadap Dinas Pekerjaan Umum, Dinas kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dinas Kesehatan di kota Jakarta Selatan yang diduga melakukan penggelapan dana anggaran. Bukti yang kugunakan akurat dan mampu menyeret ayah ke pengadilan tindak pidana korupsi. Firma hukumnya kehilangan pamor dan dia dikenai denda.

Hal yang tidak kuprediksi adalah Adipati Husni berani membunuh adikku, Firliana Sagara. Yah, anak ayahku dengan Defania. Semenjak kematian putrinya, Defania selalu murung, mengurung diri dan sakit-sakitan. Alasan inilah yang membuatku mantap untuk menyakiti Starla sesakit-sakitnya.

Perihal ajakanku menikah, jangan pikir, aku memang menyukainya. Tidak. Sama sekali. Aku memang iba pada nasib buruknya, mengagumi ciumannya, gemetar setiap kali menyentuhnya, dan mabuk  kangen, tapi itu semua bukan alasan melupakan tujuan awalku. Menikah akan membuatku mudah menyakitinya. Menekan psikologisnya sekeras yang kuinginkan. Dan puas atas tangis-tangis yang kusaksikan kelak. Sampai saat itu tiba, aku harus pura-pura.

"Sepertinya, kamu yang punya masalah." Athaya memenggal lamunanku.

"Hanya masalah tidak penting." Aku tersenyum. Memang, Starla adalah hal yang tidak penting.

Athaya menggeleng, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak memercayai  ucapanku barusan. Dan terbukti pada omongannya, "tidak penting, tapi membuatmu melamun. Jenta, kita sudah saling mengenal lama."

Dia benar, selama bekerja di firma hukum Nayoan Siregar and friends, aku jadi orang kepercayaan dalam menangani kasus hukum, konsultasi hukum di perusahaan-perusahaan miliknya. Aku dipercaya dan dia menpercayaiku. Ini yang membuat komunikasi kami setingkat lebih baik dibanding kenalanku yang lain, Gidion sekalipun.

"Bagaimana kabar istri sirimu?" Aku mencoba mengalihkan perhatian. Lumayan manjur.  "Kamu tidak terjebak dengannya, kan? Kudengar, kalian tinggal serumah."

"Aku sedang mencari sesuatu."

"Apa?" Tanyaku datar.

Mata Athaya meredup, memandangi langit sore yang agak kelabu. "Tentang apakah hakikat kesenangan yang kucari selama ini. Apakah perilakuku dibenarkan. Jujur, aku merasakan kekosongan, ada sesuatu yang hilang dan aku tidak tahu itu apa."

Aku mengedip, filosofis sekali renungannya.

"Aku merasa sudah kehilangan identitasku. Wanita itu..., ya, dia sudah menyulap pikiranku. Dan, aku bertanya-tanya, adakah wanita lain yang bisa membuatku sebodoh ini selain dia?" Dia berhenti sejenak untuk mengamatiku, memastikan ekspresiku. Dia lupa, aku memiliki sedikit emosi dan tidak pernah mengeluarkannya, kecuali saat melihat Starla dalam bahaya, seperti takut, iba, dan lega. Athaya menepuk bahuku. "Lalu kamu, apa  masalahmu?"

Aku kembali memikirkan kalimatnya tadi. Identitas. Identitasku? Siapa aku. Lalu wajah Starla membayang di pelupuk mata. Dia meraih tanganku, tersenyum dan memelukku. Aku memejamkan mata, mengusir bayangannya yang tampak jelas. Aku mabuk kangen lagi, seperti biasa. Setelah datang menyelamatkannya dari amukan warga yang salah tuduh, aku belum bertemu lagi. Dan itu sudah berapa bulan ya? 13 jam yang lalu. Sial. Waktu kangenku semakin pendek!

"Kamu memiliki masalah yang lebih berat ketimbang aku, Jen. Dan, kamu merahasiakannya dariku." Athaya menebak tepat sasaran. Dia menendang kerikil kecil dengan kaki kiri. Kerikil itu terlempar beberapa meter lalu teronggok lagi. Benda tidak berguna. "Apa kamu masih ingin menyembunyikan topengmu? Aku memahamimu sebaik-baik pemahaman."

Aku mendengus, membuang handuk ke udara lalu menangkapnya. Tanganku mencengkeram kuat-kuat handuk katun itu. Selagi aku berpikir, aku menemukan kegelisahan yang mengendap di jantungku. Kegelisahan yang benar-benar tidak kuperkirakan  akan mengganggu. "Akhir-akhir ini, aku sering berpikir, apa yang akan terjadi padaku jika aku menyakiti buruan kesayanganku?"

.
.
TBC
.
.

Bab ini ditulis buat jawab  apakah Jenta melupakan dendamnya atau belum. Nggak ada Starla di sini, jadi jangan cari momen menye-menye mereka. Hahahaa

Eh. Eh. Eh.... jan lupa komen. Nyenengin orang kan pahala. Waks.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro