Bab 12 Sejalur Gerhana
~=Seburuk apapun masa lalumu, masa depanmu masih suci=~
.
.
Jenta POV
.
.
Kursi bar dapur yang kududuki terasa berduri. Semakin menancap seiring Starla mendekat. Dia memakai kemeja putih milikku. Kebesaran, tapi menarik untuk dilihat. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai. Mataku beralih pada kakinya. Kemeja itu menutupi 3/4 pahanya dan betis jenjangnya luar biasa. Aku membayangkan apa yang terjadi jika betis itu melingkari pinggangku.
"Tidak ada yang bisa kupakai selain ini. Baju yang kukenakan semalam masih basah. Aku pinjam kemejamu." Ia duduk di kursi sebelahku, meraih piring spaghetti yang kusiapkan untuknya.
"Minum air kelapa ini." Kusodorkan segelas besar air kelapa.
Starla mengambil gelas itu lalu meneguknya. Suasana agak canggung memang. Dia beberapa kali kepergok mencuri pandang padaku.
"Ada yang mengganggumu?" Aku melipat tangan di meja, menatapnya.
Dia memejamkan mata, terkesan menimang sesuatu. Lalu kulihat ia menghembuskan napas panjang. Gadis pemikir sepertinya mengundang rasa ingin tahuku. Responsnya yang lambat jadi daya tarik tersendiri.
"Kenapa...," dia sudah meletakkan gelas di dekat piring, telunjuknya memutar-mutar mulut gelas. "Kenapa kamu tidak melakukan itu?"
Oh, dia masih ingin membahas semalam.
"Kamu menginginkannya?"
Starla menggeleng, sambil gelagapan.
"Mana mungkin aku menyakiti psikologismu, seorang gadis yang berpikir bahwa keperawanan harus diserahkan pada suami?" Dengan sedikit mencondongkan tubuh padanya, aku menyahut. Dari dekat, mata Starla terlihat bengkak. Dia habis menangis?
"Mengingat gaya hidupmu," dia menyela lalu kembali membisu, "maaf, aku tidak bermaksud menghinamu."
"Kamu baru saja melakukannya," aku menatap lekat-lekat pada matanya.
Dia menggigit bibir bawah, " maaf."
"Sudah dimaafkan."
"Jadi, apa aku tidak menarik?" Bibirnya terbuka, merah dan ranum. Apa ya rasanya bibir itu hari ini? Bibirnya saja menggodaku, mana mungkin melihat tubuhnya tanpa busana tidak menarik? Aku pria normal, bisa membedakan dada dan bokong, dan tentu saja bisa bergairah. Kenapa dia masih memancingku dengan obrolan seperti ini? Apa tujuannya?
"Aku tidak menarik, ya?" Ulangnya, agak memaksa.
Gadis 34 C tidak menarik? Omong kosong. Aku pun tertawa mengingat kejadian semalam. "Aku berusaha mati-matian menahan diri agar tidak berakhir konyol, dan kamu berpikir bahwa dirimu tidak menarik."
Starla menungguku. Dia tidak berniat menyela. Aku kehabisan kata-kata. Berapa IQnya? Hal sederhana saja tidak paham.
"Tolong, jangan bahas ini lagi atau aku benar-benar akan menyeretmu ke tempat tidur." Ancamku, tapi tidak mengintimidasi. Aku hanya berniat mencandainya karena memasang wajah masam.
Starla mendesis, "apa yang kita lakukan, tepatnya kamu. Kenapa kamu tidak menyentuhku?"
Aku menggeser kursi agar lebih dekat dengannya. Tanganku menyentuh punggung kursinya. Sementara hidungku berjarak seinchi dari rahangnya. "Kalau begitu jawab pertanyaanku. Apa yang terjadi sampai kamu memutuskan kembali ke apartemenku?"
"Kode pengaman pintumu belum berubah." Dia mundur, memegangi dada. Bola matanya bergerak-gerak seperti sedang grogi.
"Kamu tahu pasti, bukan itu jawaban yang kuinginkan."
"Aku tidak sengaja bertemu seniorku. Dia mentraktirku minum di cafe. Kami mengobrol sekadarnya dan aku sengaja menyindir hubungannya dengan Pinkan. Setelah iitu aku ke toilet. Pas mau pamit, dia bilang minum dulu jus alpukat pesananku baru pergi. Aku setuju. Tujuh menit kemudian aku kepanasan dan bergairah. Sekalipun pengalamanku minim, aku sering dicurhati temanku tentang hubungan asmara mereka. Beberapa di antara mereka adalah korban pemerkosaan pacarnya. Obat perangsang sering dijadikan modus oleh pria biadab. Menyadari hal buruk yang kualami, aku segera memesan susu. Susu bisa menetralisir racun. Efeknya lumayan. Aku tidak segila sebelumnya. Kupikir, jika aku terus bersama dia, aku pasti berakhir seperti perempuan lainnya. Kuputuskan untuk ke apartemenmu. " dia terlihat ragu untuk melanjutkan.
"Ya, itu pertanyaanku. Kenapa harus ke apartemenku? Kamu bukan tipe gadis yang menjilat ludah sendiri. Seingatku, kamu sudah memutuskan pergi dan tiba-tiba kamu datang lagi. Jadi, Starla..., kenapa harus apartemenku?" Aku tetap mendesaknya, mencari jawaban dari semua prediksiku. Aku punya kecerdasan intelektual yang tinggi sehingga mampu membuat prediksi secara tepat dan akurat, tapi semua itu hanya jadi buih kalau melibatkan Starla. Aku tidak bisa membuat dugaan apapun tentangnya.
"Kalau aku memang tidak terkendali, setidaknya aku melakukannya dengan seseorang yang kupercayai."
Dia percaya padaku. Dia tidak bilang menyukaiku.
"Aku percaya padamu. Percaya bagiku, lebih dari sekadar ucapan aku sayang kamu, Jenta."
"Itu berarti kamu masih menyukai seniormu?"
Starla merengut.
"Lanjutkan ceritamu!"
"Aku melihatmu sedang melamun di balkon. Di meja sana," telunjuk Starla terarah pada ruang tamu, "ada minuman keras. Kupikir, kamu sedang mabuk. Tidur denganmu adalah ide terburuk yang kumiliki. Jadi, aku segera masuk kamar, berusaha mengatasi sendiri masalahku."
Dari CCTV yang kuletakkan di ruang tamu, aku melihat Gidion masuk karena Starla tidak menutup pintu. Dan, saat bersih-bersih tadi, aku menemukan botol rohypnol di kolong sofa. Dugaanku, dia mau memasukkan obat tidur di minumanku dengan memprovokasi membuangnya dan mencegahku minum. Aku mendesah, merasa lega selega-leganya karena saat itu aku tidak merebut lagi botol anggur, tapi menendang meja. Kalau sampai aku terkecoh, aku tidak akan memaafkan diriku. Aku benar-benar murka, jika Starla dirusak oleh Gidion.
"Senior yang kamu sukai itu Gidion?"
Starla memincingkan mata, "aku sudah mendeklarasikan sebagai hater."
Aku terkekeh sampai bahuku bergetar. Inilah yang kusukai darinya. Dia mampu membawaku ke sudut-sudut yang bertolak belakang. Sedetik lalu, aku tegang. Sekarang aku sudah rileks.
"Dari ceritamu, aku bisa menyimpulkan bahwa aku hanya pria yang dimanfaatkan." Aku mendramatisir ekspresi.
"Dimanfaatkan? Lalu apa yang kamu lakukan padaku?" Matanya berkilat-kilat. Kalau saja benda tajam, tubuhku pasti sudah sobek-sobek.
Malas menjawab, aku mengangkat dua tangan. "Ini." Jawabku ambigu.
Starla menancapkan sendok garpu di meja. Dia masih mengunci pandangannya padaku. Kenapa ya saat marah dia masih terlihat cantik? Hhh, otakku sedang tidak beres. Gadis itu memutar-mutar sendok yang tertancap. Pesan singkat: dia tidak main-main, baca: sadis stadium empat. Ludahku tersangkut di kerongkongan.
"Ini yang disebut mantan bungcud."
Kosakata apa itu?
"Mantan yang layak mendapat nominasi brengseque."
Sehari terpisah, dia sudah belajar kosakata ganjil.
"Kalau aku brengsek, aku sudah menyentuhmu memakai bagian tubuhku yang lain."
"Jenta."
"Dan aku belum menyetujui keputusanmu untuk putus."
Starla mendesah lalu menggeletakan kepala di meja. Aku menyentuh puncak kepalanya. Menepuk-nepuk gadis buruan dengan sayang.
"Apa kita masih pacaran?" Tanyanya, agak frustasi.
"Aku tahu masalaluku sangat buruk. Aku ingin mengubahnya sebersih mungkin, tanpa cela dan hanya ada kebaikan. Tapi, aku sadar sepenuhnya. Belum ada alat yang bisa digunakan untuk mengubahnya. Aku hanya ingin kamu mengerti bahwa aku sudah berubah. Tapi, jika bersamaku terlalu berat, pergilah. Aku tak punya hak untuk mengekang."
"Kamu menyuruhku tinggal. Kamu juga memintaku pergi. Maumu apa?"
Aku sendiri tidak tahu apa yang kumau.
TBC
Wow. Wow. Wow. Kalau bab ini pendek ya jangan manyun gitu ah. Ntar nggak cantik atau ganteng lagi lho~
😆😆😆
Tabik~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro