Bab 11 Gelombang
~=Napas kita memang bangkit dari dada yang beda, namun berpadu dalam desah yang sama=~
.
.
Jenta POV
.
.
Aku tahu kenapa Starla tidak ingin bersamaku lagi. Usai mengantarnya kemarin, aku berpapasan dengan Nadine. Dia adalah putri dari seorang advokat ternama. Baru-baru ini aku dengar bahwa firma hukum Amberossa And Partner's diwariskan padanya. Banyak hal yang prestisius darinya. Cumlaude dari Monash University, keluarga kaya dan wajah yang lumayan cantik. Sayang, tiga hal itu tidak menarik untukku. Berulang kali dia berusaha mendekatiku. Selain menolak, aku tidak bisa melakukan apapun. Aku menyukai gadis blasteran. Catat itu baik-baik. Nadine bukan blasteran. Itu adalah alasan jelas aku tidak bisa menerimanya. Berbeda dengan Starla. Dia memang tidak ada campuran darah dari ras Kaukasia, namun apa yg tersembunyi di otaknya lebih menarik dari fisiknya. Bibirnya adalah bagian yang paling kusukai: lembut, manis dan magis. Semua masalah yang mengendap di kepala, tugas yang harus kuselesaikan, mendadak lenyap tak berbekas. Semua bayang-bayang hitam yang kerap menghantui saat sendiri, tidak lagi ada waktu untuk mampir. Starla membuat duniaku lebih bermakna. Aku merasa manusiawi sejak mengenalnya karena mampu merasakan emosi-emosi kecil yang mengganggu. Emosi yang sebelumnya tidak pernah kurasakan.
Lalu dia meninggalkanku karena ulah Nadine. Starla memang tidak cerita apa-apa kecuali pernyataan bahwa dia tidak memaafkan masa laluku. Tapi, prediksiku selalu tepat. Jadi, jangan salahkan aku kalau sekarang aku menyebar foto telanjang Nadine di hotel dengan seorang pebisnis Singapura di website firma hukumnya. Bukan aku yang memantik api. Dia sudah merenggut kebahagiaanku, maka dia juga harus merasakan hal yang sama. Oh ya, jangan tanya darimana aku mendapat foto itu. Terkadang beberapa orang brengsek berkumpul untuk pamer wanita yang telah ditaklukkan.
Aku tersenyum mencemooh saat diberitahu Athaya bahwa beberapa perusahaan bonafid memutus kontrak dengan firma hukum milik keluarga Amberossa karena skandal itu. Nah, itu hanya balasan kecil untuk orang yang bermain-main denganku.
Seperti kata ayahku, aku adalah monster yang tidak segan-segan membalas sebesar rasa sakit yang kualami.
***
Aku beranjak dari balkon, merasa hampa memandangi laut atau sekelumit Jakarta yang dipenuhi lampu-lampu. Apartemen kembali seperti semula. Ada yang hilang, aku sadar itu. Dengan perasaan gamang, aku menutup pintu kaca yang menghubungkan ruang tengah dan balkon, menutup kembali tirai.
Saat membalik tubuh, aku mendapati Gidion membuang anggur merah pada gelasku ke lantai. Apa-apaan itu? Dia bergegas menyambar botol anggur yang barusan kuraih dan mau kutenggak. Aku mendorongnya, tiba-tiba diriku dipenuhi oleh hasrat ingin menyakiti sesuatu. Dan, semua itu kulampiaskan pada meja. Aku menendangnya, membuat meja berderak. Gidion meringis nyeri karena salah satu ujung meja mengenai perutnya.
"Jenta! Kamu sudah gila, ya?"
Aku bernapas menggunakan mulut. Udara terasa memadat, sedangkan paru-paruku butuh pasokan oksigen sebanyak-banyaknya.
"Kamu selalu tenang, tidak pernah emosional. Apa yang membuatmu berubah?"
Dia benar. Apa yang membuatku labil dan tidak bisa mengendalikan diri? Biasanya, aku tidak ekspresif setertekan apapun. Siapa biang keladi dari perubahanku ini? Aku menatap sinis pada Gidion.
"Apa hak Starla merenggut kenyamananku?" Aku rasa tidak bagus membentak Gidion. "Pergi...." suruhku pada akhirnya. Tidak ingin memperburuk suasana.
"Kalau kamu mau bercerita, aku akan mendengarkanmu." Dia mencoba menenangkan.
Aku tidak bisa tenang. Yang ingin kulakukan adalah menyeret Starla, meminta pertanggungjawabannya. Melihatku diam, Gidion menarik pergelangan tanganku, membawaku ke kamar yang beberapa hari lalu ditempati Starla.
Aku memandanginya. Dia tersenyum penuh arti. Begitu pintu kamar terbuka, aku melihat Starla ada di sana. Berbaring di ranjang, berguling-guling tidak tenang. Sesekali kakinya menendang-nendang, mengakibatkan sprei kusut. Satu guling jatuh di lantai.
Apa yang terjadi padanya?
"Aku tadi sengaja menemuinya dan memasukkan obat perangsang di dalam minumannya." Kata Gidion menjawab rasa ingin tahuku.
Aku tidak mengerti apa maksudnya memperlakukan Starla dengan begitu... darahku terbakar. Sadar pada kesalahan yang dilakukan temanku, aku meninjunya sekuat yang kubisa. Gidion terhuyung dan saat mendongak, aku melihat sudut bibirnya pecah.
"Pergi." Aku menatapnya seolah aku bisa melumatnya, "sebelum aku melakukan hal buruk padamu."
Gidion mengelap sudut bibirnya, "kamu akan berterimakasih padaku. Aku melakukan ini demimu. Kalau saja aku mau, aku bisa merebutnya darimu dengan mudah."
"Setahuku, kamu melakukan untuk kesenanganmu sendiri. Apa rencanamu? Bukankah selama ini kamu memintaku untuk tidak balas dendam? Lantas kenapa sekarang kamu menjerumuskannya dalam pelukanku?" Aku meneliti setiap ekspresi Gidion. Caranya menatapku... mengingatkan aku pada ayah. Jantungku berdenyut, emosiku kembali menanjak tanpa bisa kukendalikan.
"Jika kamu terus di sini," kataku, mati-matian menekan emosi ke titik rendah, "aku bisa membunuhmu."
***
"Jenta...." Starla menatapku dengan mata sendu. Beberapa keringat menetes dari pelipis, rambutnya basah. Aku menyentuh tangannya. Desahan yang keluar dari bibirnya membuatku merinding. Hasratku langsung menyala. Seluruh nadiku terpanggang oleh gairah.
"Tolong aku...." dia mencoba duduk, berusaha memelukku.
Aku buru-buru mendorongnya. Kalau sampai kami berpelukan lalu berciuman, aku tidak akan bisa mengontrol diriku.
"Jenta, tolong aku. Ada yang salah dengan diriku. Aku mohon..., tolong aku." Gadis itu meraih tanganku. Aku menepis tangannya, melepas dasi yang kukenakan kemudian mengikat kedua pergelangan tangannya agar dia berhenti bergerilya di kulitku.
"Aku akan membantumu." Kuusap poninya yang basah. Starla memandangiku dengan matanya yang sebening telaga. Ada getaran yang merambat dari dirinya menujuku. Getaran yang membuatku merasa menjadi manusia. Emosi ini lagi.... aku merasa lebih bermakna karena emosi ini. "Jangan takut, aku akan melindungimu. Kamu bisa mempercayakan semua padaku. Mulai saat ini, kamu bisa mengandalkan aku."
***
"Aaaaaaaaaaaaa!"
Aku mendengar seseorang berteriak lalu sesuatu menendangku. Tubuhku berguling lalu jatuh di lantai. Dengan mata setengah terpejam, aku bangkit. Merasa konyol karena mengawali pagi dengan cara irrasional.
"Jenta, apa yang kamu lakukan padaku!" Starla melirik bagian tubuhnya yang tertutup piyama sutraku. "Jenta, kamu tidak melakukan 'itu' kan?"
"Itu apa maksudmu?" Tanyaku, merasa menang. Dia menyentuh kerah piyama. Timbul niatku untuk iseng. "Aku yang memakaikan piyama itu."
Starla melongo. Bikin gemas.
"Aku tidak perawan lagi?" Wajahnya berubah kecut, "kamu tidak membuangnya di dalam, kan?"
"Bagaimana kalau aku membuangnya di dalam?" Aku berusaha mendekatinya, menggodanya.
"Melakukan sekali tidak akan hamil. Iya kan?" Matanya mulai memerah. Oh, dia mau bersikap sok tegar. Tidak tega, aku ingin jujur saja. Sebab, setiap kesedihan yang ditunjukkan matanya, ingin kuhapus dengan dua tanganku.
Aku mengacak-acak poninya, merasa terenyuh dan bejat sekaligus.
"Aku memang sangat ingin menidurimu. Tapi aku tidak sebrengsek itu, Starla. Aku tidak mau memanfaatkan dirimu yang sedang terkena pengaruh obat perangsang. Kupikir, aku akan menyesal telah membuang kesempatan itu. Tapi, pagi ini... aku benar-benar lega karena mengambil keputusan yang tepat."
Starla menatapku dengan wajah bodoh. Aku kembali mengacak-acak poninya lalu tertawa.
"Kamu masih perawan. Aku belum bercinta denganmu. Ini sial, tapi aku menyukainya." Kemudian aku menegakkan tubuh. "Mau kubuatkan sarapan?"
Dia masih membeku.
Di depan pintu kamar, aku menatapnya, "aku penasaran kenapa kamu bisa sampai apartemenku."
Starla menipiskan bibir.
"Oh ya, hampir lupa. Saat mengganti bajumu semalam, aku menyukai bentuk dadamu."
"Mati kamu!" Starla melempar bantal lalu menenggelamkan dirinya di bawah selimut. Dan, demi melihat tingkah konyolnya itu aku tertawa terbahak-bahak. Ternyata, menggoda Starla bisa menciptakan kebahagiaan yang tidak main-main.
TBC
Ga tau kalian suka atau enggak, pokoknya kalian jahat kalau nggak vote dan komen. Wq
Sampai ketemu di bab selanjutnya!
Tertanda,
Susan Arisanti yang Super Unyu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro