Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EPISODE KEEMPAT: HARI SEKOLAHKU

Kami berdua pun pergi ke luar. Sekarang kami ada di lorong, dia memberitahukan letak toilet, ruang guru, mading, dan beberapa ruang kelas dan klub. Selanjutnya, kami keluar gedung. Kami berjalan di halaman samping, menuju kantin.

"Bagaimana kalau kita beli makanan dulu?" tawar Otosuka-san.

Setelah membeli dua bungkus roti, dia mengajakku ke atap gedung sekolah. Katanya di sana adalah markasnya. Sekarang kami sedang duduk melihat pemandangan kota, dari celah pagar besi.

"Parker-kun, kau kan berasal dari Indonesia? Tapi kenapa namamu mirip orang barat?"

"Sebenarnya, nama Pitcher itu diambil karena ayahku suka dengan baseball. Sedangkan Parker, dari ibuku yang suka dengan artis barat."

"Jadi, Parker bukan nama keluargamu?"

"Begitulah. Orang Indonesia yang menggunakan marga-nya hanya sebagian kecil, kebanyakan menggunakan nama pemberian orang tua."

"I-Indonesia itu seperti apa?"

"Hmm... Tempatnya dipenuhi kendaraan, penuh dengan rumah... Walau begitu, aku merasa nyaman berada di sana."

"Jadi, kau tidak nyaman di sini?"

"Bu-Bukan begitu! Hanya saja... Kau tahu, kan... Karena di sanalah tempat aku dilahirkan dan dibesarkan."

"Kalau bisa, kapan-kapan ajak aku ke sana, ya?"

"Bo-Boleh."

"Oh iya, Parker-kun. Mungkin ini pertanyaan yang kurang sopan..."

"Apa?"

"Apakah laki-laki orang Indonesia itu... mesum?"

"Hah? Kenapa kau berasumsi seperti itu?"

"Ha-Habisnya, saat aku memperkenalkan diri, matamu tertuju ke da-da-dadaku..."

"Bu-Bukan! Aku bukan bermaksud begitu! Kau tahu kan, anjing mengenal majikannya dari baunya. Anggap saja cara aku mengenal orang dari bentuk tubuhnya!"

"Berarti kau mesum."

"Tidakkk! Bukan begitu! Aku ini orangnya sulit mengingat nama orang, jadi aku mengingat postur tubuh dan wajahnya!"

"Hihihihi," tawanya kecil. "Kau lucu sekali."

Bel masuk pun berbunyi.

"Ayo kita masuk," ajak Otosuka-san.

"O-Otosuka-san, maaf..."

"Kau tidak perlu minta maaf, aku senang bisa lebih mengenalmu. Semua orang memiliki keunikannya masing-masing, sebagai teman, aku harus bisa menerima kekurangan dan kelebihan temanku."

Aku senang sih dia menerimaku begitu. Tapi, tetap saja menyakitkan.

"Terima kasih, O-Otosuka-s..."

"Oh iya, kita kan sudah berteman, jadi hilangkan '-san'-nya, Parker-kun."

"Kalau begitu, panggil aku Parker saja."

"Semoga kita bisa berteman dengan baik, Parker."

"Iya, Otosuka."

***

Sekarang adalah waktunya pulang dan kami berdua pulang bersama. Perjalanan kami menyenangkan, tapi saat setengah jalan keluar gerbang sekolah, ada tiga siswa yang menghalangi kami.

"Hei, kau. Menjauhlah dari Saya!" bentak salah satu dari mereka.

Dia berambut merah, tinggi sama denganku, bertubuh cukup kekar, dan memiliki mata tajam. Lalu, dua temannya. Yang satu bertubuh gendut, pendek, rambut hitam dengan poni lucu. Sedangkan satunya lagi, kurus, tingginya lebih dari kami berdua, rambut kuning dengan poni yang menutupi sebelah matanya.

"Apa kalian temannya Otosuka?" responku bertanya untuk mengabaikan bentakannya. "Perkenalkan, na..."

"Sudah kubilang, menjaulah darinya!!" bentaknay lagi sambil menarik kerah seragamku, lalu melemparku ke belakangnya.

Aku terlempar dan tersungkur ke tanah. Cukup menyakitkan, terutama bagian sikut yang kujadikan penahan agar tubuhku tidak menghantam tanah, terutama bagian belakang kepala.

"Hentikan, Akira!" pinta Otosuka.

"Kalau begitu, ayo pulanglah bersamaku!" perintah laki-laki itu.

"Tidak!" tolak Otosuka sambil mengibaskan tangan laki-laki itu yang hendak memegang lengannya.

"Apaaa?" kesal laki-laki sambil berjalan mendekati Otosuka.

"Janganlah memaksakan kehendak orang lain, begitulah kata ayahku," ucapku.

Aku pun berdiri dan mengusap bibirku, seperti seorang pahlawan yang baru bangun setelah mendapatkan serangan.

"Dia tidak mau pulang bersama denganmu, jadi jangan paksa dia," lanjutku.

"Kalian berdua, hajar dia!"

Mendengar perintah itu, mereka berdua pun berlari ke arahku.

Aku bersiap untuk menyerang, tapi...

Yang gendut memukul pipi kananku, dilanjutkan pukulan perut dari yang kurus, dan terakhir tendangan samping dari yang kurus. Setelah aku terjatuh ke tanah, mereka terus menendang badanku.

Aku bisa saja melawan, tapi...

"Hentikan, Akira!!" pinta keras Otosuka.

"Diam! Terus tendang dia!!" teriak Akira.

"Piker-nii!"

Mereka berdua menghentikan tendangan mereka setelah mendengar teriakkan memanggil namaku.

"Me-Mereka..." gelagap salah satu yang menendangku.

"Ayo kita lari, Suba, Taki!" perintah Akira.

Aku mendengar suara lari mereka bertiga. Kemudian aku melihat Otosuka menghampiriku dengan wajah sedih.

"Pa-Pa-Parker..."

"Piker-nii!"

Aku melihat ke sisi lain. Aku melihat Nogami, Shina, dan Kaori menghampiriku.

"Ka-Kalian..."

***

Setelah kejadian itu, mereka bertiga membawaku pulang, sedangkan Otosuka pulang sendiri. Aku mendapatkan banyak memar di tubuhku, untungnya luka berdarah hanya di sikuku, karena lecet saat mendarat ke tanah.

"Apanya yang untung saja? Lukamu cukup parah!" bentak Shina.

"Ma-Ma... Aduuhhh!" erangku kesakitan setelah Shina meneteskan obat luka ke luka lecet.

Lalu, Shina menutupinya dengan perban. "Padahal kau baru saja masuk, tapi sudah mendapatkan masalah."

"Maaf... Oh iya, kenapa kalian datang ke sana?"

"Kami diberitahu oleh Eru, kalau kau dalam masalah."

"Eru?"

"Iya, kami memintanya untuk memantaumu lewat ponselmu."

"Te-Terima kasih..."

"Besok, sebaiknya kau tidak sekolah."

"Ti-Tidak apa-apa, aku baik-baik saja."

"Jangan memaksakan diri!"

"Tapi, aku baru masuk sekolah. Nanti aku harus menjelaskan kepada ayahku bagaimana?"

"Ayahmu pasti mengerti dengan keadaanmu!"

"Tapi..."

"Terserah kau saja!"

Shina pun pergi dengan perasaan kesal, sambil membawa kota P3K.

Lalu masuk Nogami. "Piker-nii, apa kau sudah baikkan?" tanyanya dengan nada khawatir.

"Sudah. Maaf membuatmu cemas."

"Piker-nii, sebaiknya kau tidak memaksakan diri..."

"Maaf, Nogami. Ada sesuatu yang harus kulakukan di sekolah."

"Aku tidak akan menghentikanmu, hanya saja jangan terlalu memaksakan diri, ya?"

"Baiklah, aku akan baik-baik saja."

Keesokan harinya, dengan beberapa perban di tubuhku, aku berangkat sekolah. Sesampainya di sana, teman-teman sekelasku tidak menghampiriku dan menanyaiku tentang perban ini, bahkan Otosuka. Dia hanya duduk diam menghindarkan pandangannya dariku. Aku pun memutuskan untuk mendekatinya, tapi dia langsung pergi keluar kelas.

Waktunya istirahat, aku mencoba lagi untuk bicara kepada Otosuka, tapi dia menghindariku lagi. Dia berhasil menghindari dariku sampai waktu istirahat selesai. Selanjutnya, saat pulang, aku mencari Otosuka yang sudah keluar duluan. Tapi, saat keluar gedung, aku melihat dia bersama dengan siswa yang sudah melemparku kemarin. Mereka pulang bersama, tanpa dua orang teman yang sudah memukulku kemarin.

Lalu, besoknya. Aku mencoba bicara kepada Otosuka, tapi seperti kemarin, dia menghindariku. Sekarang, aku sedang berjalan di lorong menuju kelasku. Dan seorang siswa yang tidak asing sudah menungguku, dia sedang menyandarkan punggunya di kaca.

"Jauhilah Saya!"

Aku hanya diam menundukkan kepala dan mengabaikannya. Berkat itu, dia pun kesal. Lalu dii mendekatiku dan mencengkram kerahku.

"Kau dengar tidak?!" kesal Akira.

"Akira!" Seorang bapak guru berlari ke arah kami.

"Cih!" Akira melepaskan cengkramannya, lalu pergi.

"Kau tidak apa-apa?" tanya pak guru itu.

"Iya..." jawabku sedikit murung.

Setelah itu, tepatnya saat jam istirahat. Aku berjalan menuju atap sekolah, aku menemukan Otosuka sedang berdiri di dekat pagar, seperti yang aku kira.

"Otosuka," panggilku.

"Pa-Parker..." responnya dengan pandangan masih tertuju ke arah kota.

"Kenapa kau selalu menghindariku?"

"Maaf, Parker... Jangan mendekatiku lagi, ya?"

"Apa maksudmu?"

Dia berbalik ke arahku, aku bisa melihat wajah sedihnya yang sudah dihiasi air mata. Dia berlari ke arahku, mungkin tepatnya ke pintu di belakangku. Tapi, aku tidak akan membiarkan dia pergi lagi. Aku langsung menangkap tangannya.

"Le-Lepaskan!" pinta Otosuka keras.

"Otosuka, apakah benar kau ingin seperti ini?!" tanyaku sedikit membentak.

"Lepaskan!"

"Padahal kita sudah berteman, kan?"

"Lepaskan!"

"Apa kau senang dengan keadaan sekarang? Apa kau senang pulang bersama dengan orang yang tidak kau sukai? Dan kenapa kau harus menderita demi diriku?"

"Le...Lepaskan..."

Sekarang dia tidak melawan lagi, aku pun melepaskan peganganku.

"A-Aku... Aku tidak ingin Parker terluka lagi! Aku tidak ingin menjauh darimu! Aku tidak ingin! Tidak ingin!" ujar Otosuka sambil mengeluarkan semua air matanya.

"Kalau begitu, akan kukabulkan permintaanmu itu."

Aku hendak pergi, tapi sebuah tangan menghentikanku.

"Jangan, Parker! Dia jago bela diri!!"

"Tenang saja, kita kan teman, kau harus percaya kepadaku."

"Tidak! Aku tidak mau kau terluka!! Kau tidak perlu melakukan itu!!"

"Aku...Aku tidak ingin melihatmu seperti ini... Jadi, biarkan aku membantumu. Percayalah kepadaku."

"Tidak!! Aku tidak akan membiarkanmu pergi!!"

***

Aku datang ke bawah jembatan rel kereta api, yang penuh dengan rumput. Di sana, mereka bertiga sudah menungguku.

"Oh, kau datang juga," ucap Akira.

"Tentu saja, mana mungkin aku tidak datang. Padahal aku yang mengundang kalian kesini."

"Baiklah, kalau aku menang, menjauhlah dari Saya!"

"Baiklah."

Dia mengangkat kedua tangannya, bersiap untuk menyerang. Dan aku, hanya berdiri diam saja. Dia berlari ke arahku, tangan kanannya meluncurkan serangan ke pipi kiriku, berhasil mengenaiku. Serangan dilanjutkan dengan pukulan tangan kiri, ke pipi kanan. Selanjutnya tendangan ke perut. Lalu, tangan kanannya menghajar wajahku, aku pun tersungkur ke tanah.

"Ayo berdiri, kau masih kuat, kan?"

Aku pun berdiri dengan sedikit susah payah. "Jadi, begitu, ya..."

"Rasakan ini!"

Dia menyerangku lagi. Tapi, aku berhasil menghindar dengan menjongkok. Lalu, dia melancarkan tendangan, dan aku menghindarinya dengan berjalan ke belakang punggunnya. Sekarang kami saling menempelkan punggung.

Hasil pengamatanku, dia memiliki bela diri boxing. Kekuatan tangannya cukup kuat, khususnya tangan kanannya. Dia selalu memulai serangan dengan tangan kanan, karena itu kekuatannya lebih besar. Tangan kirinya pun kuat, tapi memiliki kecepatan yang rendah. Dan kakinya kurang refleks, karena itu saat menendang dia harus diam beberapa saat. Tangan kanannya lah senjata pamungkasnya, jadi aku harus lebih menghindari tangan kanannya.

Kembali ke pertarungan, sekarang dia sedang mencoba untuk membalikkan badannya untuk menghajarku. Tapi, aku selalu menempelkan punggungku dan mengikuti gerakkannya. Lalu, dia memutuskan untuk berjalan mundur dengan cepat, dan aku terbawa. Aku terbawa oleh dorongannya sampai ke tembok, tapi sebelum sampai ke sana, aku sudah berputar menjauh. Hasilnya, punggunya membentur tembok itu.

"Sial..." erangnya sambil memegang punggunya dan memasang wajah marah.

Dia kembali menyerang, aku hanya tinggal menggerakkan kepalaku ke kiri. Tangannya berhasil melewati daun telinga kananku. Lalu tangan kirinya menyerang, aku langsung jongkok dan berlari menuju tepi sungai kecil. Dia mengejar, lalu menyerangku lagi. Aku memutar badanku ke kiri, sambil melewati tangan kanannya. Akibat dari seranganya yang tidak kena dan tidak terkontrol. Dia jatuh ke sungai kecil yang tidak terlalu dalam, tapi cukup menyakitkan karena banyak dengan batu.

Lalu, kedua temannya itu tidak bisa diam melihat pemimpin mereka kalah. Mereka berlari ke arahku. Aku pun ikut berlari mendekati mereka, saat hampir sampai dan yang gendut itu menyerang dengan tangan kiri. Aku langsung jongkok dan serangannya berhasil mengenai temannya yang berada di sampingnya. Yang kurus langsung tersungkur ke tanah, tidak berdiri lagi. Aku langsung berlari ke tembok, dan dia mengejar dari belakang. Aku terus berlari dan akan menabrak tembok. Saat hampir mengenai tembok, aku langsung berguling ke kanan. Dia berhasil menabrak tembok karena tidak bisa berhenti.

Setelah dia jatuh dan tidak bangun lagi, aku menghampiri sang pemimpin yang sedang duduk di sungai kecil.

"Aku menang," ujarku.

"Baiklah, aku akan menja..."

"Tidak, kau tidak perlu menjauhinya. Tapi, jangan memaksakan keinginannya. Kalau dia tidak mau, jangan paksa dia! Hanya itu saja yang aku minta."

Aku mengulurkan tanganku, untuk membantunya berdiri. Tapi, Akira tidak menerima tanganku. Dia pun langsung berdiri dan pergi, bersama dengan kedua teman yang baru saja bangun.

"Pa-Parker..."

Aku melihat ke belakang, dan Otosuka sedang berdiri memasang wajah sedihnya. Lalu, dia berjalan pelan mendekatiku.

"Ma-Ma... Aduhhh!"

Permintaan maafku terhenti karena dia menempelkan jari telunjuknya ke pipi kiriku, tepat ke sumber yang menyakitkan.

"A-Ayo kita ke rumahku... Dekat di sini, kok... Aku akan merawat lukamu dulu," ucapnya dengan nada datar.

Kami berdua punberjalan menuju rumah Otosuka, tanpa berbicara satu sama lain sehinggakeheninganlah yang menemani perjalanan kami.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro