8. Mataku ternoda
Aku kabur aja, deh. Udara dinginnya semakin menusuk kulit. Buku kudukku merinding. Kata orang-orang kalau ngerasain kayak gini tuh berarti ada ....
Kulirik AC yang tepat ada di atasku. Heem, berarti ada AC noh. Orang miskin yang biasanya cuma pake kipas kertas, terus akhirnya ngerasain elektronik mahal kok gini banget yak. Please, jangan katrok, Nam.
Baru saja aku akan memutuskan untuk pergi, denting piano terdengar lagi. Meski nggak terlalu mengerti soal musik, tapi lantunan nada ini terdengar indah sekaligus memilukan hati. Siapakah gerangan yang memainkannya? Jiwa kekepoanku meronta-ronta. Tapi kalau memang benar kata Kaisar di sini bahaya gimana?
Buka? Enggak? Buka apa enggak? Atau buka-buka yang enggak-enggak? Aduh! Mulai ngelantur ini bocah.
Tak sadar tanganku terjulur meraih kenop pintu. Setidaknya kalau aku harus mati, aku nggak mati penasaran, kan? Wes, bismillah wae.
Pelan, pelan, aku memberanikan diri memutar kenop, tapi belum sempat menariknya, pintu sudah terbuka dan membuat aku terseret menubruk sesuatu yang bidang.
Tambah pesek dah nih hidung.
Aku segera menstabilkan diri, berdiri tegap kembali, sesekali menggosok hidung yang sedikit nyeri. Keras banget. Apa sih?
Dan saat aku melihat ke depan, mataku melotot tak percaya.
"Aaaaaa!" Itu teriakanku btw, histeris aku tuh sampe nutup mata, tapi ngintip juga sih pake sela-sela jari, habis mubazir kalau nggak dilihat.
Gimana enggak, di depanku sekarang, berdiri seorang Raja yang bertelanjang dada, sebenernya ada kayak jubah tidur panjang gitu sih yang dia pake, tapi ikatannya ia biarkan terbuka hingga menunjukkan perut mulus nan six pack.
Aduh, Nek. Mata cucumu sudah tidak suci lagi.
"Aurat, Pak. Itu aurat! Astaghfirullahaladzim," ucapku sembari memalingkan wajah, tapi masih mencoba melirik sesekali ke pemandangan yang telah tersaji.
Tapi tahu nggak bagaimana reaksi Tuan Raja Yang Terhormat? Dia memandangku tanpa ekspresi, Vroh! Dia nggak malu apa? Gini-gini aku juga cewek dewasa berumur 25 tahun lho. Dia nggak takut aku terkam apa?
"Ngapain kamu di sini?" tanyanya sembari berkacak pinggang, masih dengan ekspresi yang sama. Datar.
Nah lho? Iya juga ya? Ngapain aku di sini?
Kalau dipikir-pikir aku memang sudah lancang masuk sembarangan ke ruangan orang, teriak-teriak nggak jelas, dan menunjukkan kemupengan yang minta ditabok.
Duh, Nam! Mati lo! Mati! Belum juga tanda tangan kontrak jadi calon istri, kok udah gini banget. Bisa batal ini. Bye bye pundi-pundi uangku.
Apa aku pura-pura amnesia aja?
"Aku di mana? Dengan siapa? Semalam ber—" Kicep dong aku saat lihat tatapan Tuan Raja menajam.
Nenek ... gimana ini, Nek?
***
Aku memutar bola mata melihat Kaisar.
Tahu nggak? Meski ganteng, ketawanya tuh nggak banget, bikin aku pengen bejek-bejek nih laki. Ngece gitu, lho.
Setelah aku cerita kejadian beberapa jam yang lalu, bukannya nolongin dia malah ketawa kayak gitu, nggak berhenti sampai sekarang.
Aku membanting punggung ke sofa dan melipat tangan di depan dada. "Apaan, deh. Nggak lucu tauk."
Dengan sisa-sisa tawa yang tersisa, Kaisar mencoba menjawab gerutuanku. "Ya abis ... haha, sorry sorry. Kan aku dah bilang, Kak. Di situ tuh bahaya."
"Deskripsi bahaya tuh kayak gimana? Nggak dijelasin juga kalau itu kamar Pak Raja. Lagian dia kenapa suka banget gelap-gelapan, sih. Kalau nggak salah di ruang bawah juga lampunya redup gitu. Bikin horor aja, sekaligus membangkit jiwa kekepoanku."
"Kak Raja emang suka begitu. Lagian Kak Nama juga, buka pintu sembarangan. Nggak sopan tahu."
Iya, sih. "Tapi kan aku nggak tahu itu ruangan Pak Raja. Aku nggak sengaja. Aku khilaf. Aku malu!" Kututupi mukaku dengan tangan.
Duh, bener-bener deh. Udah nggak ada muka aku. Nggak mau aku menghadap Raja lagi. Bisa-bisa dia mikir aku ini cewek yang nggak bener nih.
"Terus akhirnya tadi gimana, Kak."
"Ya aku kabur lah. Lari. Kakak kamu itu nyeremin kalau lagi melotot."
Bukannya simpati, Kaisar malah tertawa lebih keras lagi. Kali ini bahkan sampai mengeluarkan air mata. Apa banget sih?
Suara ketukan pintu menengahi pembicaraan kami, setelahnya pintu terbuka. Pak Dahlan ada di sana.
"Tuan Kaisar dan Nona Nama. Tuan Raja sudah menunggu untuk makan siang di bawah."
Aku melirik Kaisar, mencoba meminta bantuannya. Aku belum siap bertemu dengan Raja sekarang. Udah nggak punya muka, nih. Gimana dong.
~bersambung
Attention
- CERITA INI SUDAH PERNAH TAMAT DAN SEDANG DIREPOST ULANG SAMPAI SELESAI
- YANG TIDAK SABAR, BAB UTUH TERSEDIA DI KARYAKARSA primamutiara_ (Link ada di bio wattpad) HARGA MULAI RP. 2000 SAJA PERBABNYA
- TERSEDIA JUGA DALAM BENTUK NOVEL CETAK DENGAN BANYAK BONUS
Jangan lupa makan minum teratur ya, Zeyeng!
Karena pura-pura bahagia itu butuh tenaga.
Salam.
Pim
Pati, 20 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro