4. Pak Bos
Masuk ke dalam rumah bikin aku makin ternganga. Tidak jauh beda dengan bagian depan yang bercat kuning, di dalam pun begitu.
Pajangan-pajangan mahal, lukisan yang kulihat cuma oret-oretan nggak jelas tapi aku yakin harganya tak sebanding dengan ginjalku, dan tentu saja perabotan yang kinclong berwarna emas.
Sepertinya pemilik rumah ini menyukai emas. Sama kayak aku dong, menyukai mas yang punya rumah ini, hihi. Ngarepnya tuh kayak di film-film gitu lho, dapet bos kaya, ganteng, baik, dan tergila-gila sama aku. Alangkah nikmatnya dunia.
Oke, kita abaikan dulu kehaluan seorang Nama, mari fokus kepada orang yang ada di depanku ini.
Bapak yang menyambutku tadi menuntunku ke sebuah ruangan. Semakin ke dalam entah kenapa bulu kudukku jadi merinding, apalagi saat melihat ke sekeliling yang tak nampak adanya tanda-tanda kehidupan. Gimana kalau aku mau dibunuh? Dicabik-cabik, dimutilasi, dibuang ke kali. Dan tak ada saksi. Oh, no!
Bruk!
Aku merasakan kepalaku terpentok punggung si bapak berdasi kupu-kupu dan mengaduh kesakitan.
Aduh, kalau mau berhenti ngomong-ngomong dong, Pak. Kasihan hidungku makin mancung ke dalam.
Bukannya minta maaf, beliau malah tersenyum, tangannya meraih handel pintu yang ada di depannya.
"Silakan masuk."
Kepalaku sedikit melongok ke ruangan yang dibuka. Aura dingin menyelingkupi. Beda dengan ruangan lain. Ruangan ini berwarna cokelat tua, ada banyak buku berjejer di rak. Lampunya berwarna kuning temaram.
"Ini nggak bisa wawancara kerjanya di luar aja gitu, Pak Tuan? Yang ada banyak orangnya."
Ya kali, biasanya kalau aku diseleksi jadi pembantu tuh ditanyainya di ruang tamu. Kenapa ini malah jadi di ruangan yang terlihat mengerikan ini.
Bapak itu tak menjawab, dan masih bertahan dengan senyumnya. Jangan kira dia tersenyum manis, lho. Lengkungan bibir bapak ini tuh mengintimidasi gitu. Apalagi lirikannya yang seolah memaksa aku untuk masuk tanpa kata-kata. Serem.
Akhirnya aku memberanikan diri melangkah masuk dan pintu kembali tertutup.
Nyesel aku datang ke sini tadi sendirian. Kalau ada apa-apa gimana? Aku belum nikah sama horang kaya, nih. Belum bisa mandi dengan bak yang penuh dengan uang merah, belum bisa keliling dunia, belum bisa makan makanan dengan porsi sedikit tapi harganya selangit. Pokoknya aku belum siap mati, ya Tuhan.
"Kamu, Nama, ya?"
Seseorang yang duduk di kursi berujar. Aku tak bisa melihat wajahnya karena ia membelakangiku. Selain itu penerangan di sini terlihat minim sekali. Jadi berasa sedang syuting film horor.
"I-iya." Duh, jadi gagap begini kan saking takutnya. Aku juga merasakan kakiku gemetaran.
Hening sejenak sampai akhirnya ia memutar kursi, lalu tampaklah seorang pria yang ......
Masya Allah. Allahu Akbar.
Ini orang cakep beneeerr.
Idungnya mancung, bibirnya merah, matanya tajam, alisnya tebel kayak ulat bulu, kulitnya tuh cokelat mengkilat, eksotis gitu. Apalagi brewok tipisnya. Duh, nggak kuat dedek, Bang.
Pengen lihat penampakannya? Mau aku fotoin tapi takut ketahuan alaynya. Lain waktu aja kali ya.
Nah, sekarang tuh cowok yang aku taksir berumur sekitar tigapuluhan awal melihatku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Atulah, Pak. Jangan gitu. Jadi malu aku tuh, batinku sambil menunduk dan menyilangkan sebelah kaki ke depan lalu menggoyang-goyangkannya. Kebiasaanku kalo lagi malu dilihatin cogan.
"Jadi kamu cucunya Nenek Gayung, ya?"
Aku langsung mendongak. Kok dia kenal nenek?
Nenek Gayung itu memang panggilan untuk nenekku. Tapi itu bukan karena dia mirip hantu, lho. Nama itu singkatan dari Gayatri Untari Galuh.
Iya, iya nama nenek emang bagus, nggak seaneh namaku. Gak usah diperjelas! Gak usah ketawa juga! Udah tahu!
"I-iya, Tuan." Kenapa gagapnya nggak ilang-ilang, sih?
Bapak itu tersenyum, manis banget. Ya Allah ... di sini aku benar-benar penyegaran mata. Mulai dari satpam, pelayan—atau asisten, atau siapalah bapak yang nganterin aku tadi, sampe bosnya pun cakep.
Rasanya cuma kayak kehaluan doang nemu dunia yang penuh cogan kayak begini.
"Santai saja. Dan jangan panggil saya Tuan. Duduk," titahnya sambil mengedikkan dagu ke kursi yang ada di depannya.
Perlahan aku melangkah, mendekat, dan wangi maskulin langsung menyapa hidungku, bikin jadi berimajinasi yang iya-iya aja, woy!
"Jadi kamu mau melamar?"
Setelah berusaha menguasai diri, aku mencoba menjawab pertanyaan dari si calon bos. Kunci dasar kalau mau diterima kerja. Tenang dan menjawab dengan tegas. "Ya, Pak."
"Memangnya apa kelebihan kamu?"
"Saya pintar meracik kopi, Pak."
Bapak itu mengerutkan dahi.
"Saya juga suka memasak."
Kerutannya semakin dalam.
"Sejak kecil saya sudah pintar mengurus nenek yang sakit dan adik-adik kecil di panti asuhan."
Oke, sekarang Bapak, oh, tidak, lelaki yang tampan, rupawan, mapan dan insya Allah dermawan ini mulai merilekskan badan, bersandar pada kursi kerjanya sembari bersedekap.
"Saya siap jadi istri Bapak, dan ibu dari anak-anak kita nanti."
Duh!
Ya kali aku ngomong kayak gitu di depan, cari mati namanya. Cuma berani dalam hati aja, kok. Nanti aja kalau sudah makin deket baru deh nubruk! Eh nembak maksudnya.
Si Bapak memiringkan sebelah bibirnya. Membuatku makin terpesona, ekspresinya itu lho, seksi banget. Nggak kuku.
"Oke, kamu diterima."
Eh, segampang ini?
"Serius, Pak? Diterima jadi istri Bapak?"
"Heh?"
Ohiya, Bapaknya kan nggak bisa baca isi pikiranku. Dasar Nama dodol!
"En-nggak, Pak." Mulai deh gagap lagi.
Tapi yeay! Aku diterima kerja. Di rumah megah, plus bos yang cakepnya nggak ketulungan gini. Alhamdulillah ya Allah. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini!
~bersambung
Happy weekend!
Pim
Pati, 15 Maret 2020
Attention
- CERITA INI SUDAH PERNAH TAMAT DAN SEDANG DIREPOST ULANG SAMPAI SELESAI
- YANG TIDAK SABAR, BAB UTUH TERSEDIA DI KARYAKARSA primamutiara_ (Link ada di bio wattpad) HARGA MULAI RP. 2000 SAJA PERBABNYA
- TERSEDIA JUGA DALAM BENTUK NOVEL CETAK DENGAN BANYAK BONUS
Cerita ini akan super duper halu dan bikin kamu senyum-senyum sambil nangis terus gigit bantal saking gemesnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro