Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Selamat Datang Hidup Baru (9)

"Kebencian tidak akan berhenti dengan kebencian lagi, hanya dengan cinta, kamu bisa mengubah segalanya"

☆☆☆☆☆☆

"Sudaaah, ndak usah nangis. Kamu bisa minta anter suamimu ke sini kalau kangen Abi sama Umi, iyakan, Dam?" Umi menyeka air mata yang membasahi pipi putri bungsunya.

Adam mengangguk seraya tersenyum lalu menjawab, "Ya, Mi."

Adam tahu, jarak Solo–Semarang memang tidak begitu jauh, tapi mungkin berbeda rasanya bagi Hilya. Bukan, bukan karena dia tidak pernah berjauhan dengan abi dan uminya, sebab Hilya pun dulu pernah lama mengecam pendidikan di pondok pesantren beda profinsi. Itu artinya, bukan sekali ini saja istrinya itu berjauhan dengan kedua orang tuanya.

"Tuh, kan ... Sudah, ndak usah khawatir sama Abi dan Umi di sini. Lagi pula jarak dari Semarang ke sini juga ndak seberapa jauh. Kamu bisa sering-sering tengokin kami kalau kamu kangen," bujuk Umi. "Taati suamimu, sekarang dia yang tanggung jawab dunia dan akhiratmu. Bukan tanggung jawab umi sama Abi lagi. Surgamu ada sama Mas Bojomu, nduuuk. Pemilik kunci surgamu. Anak gadis akan jadi milik suaminya ketika sudah menikah. Berbeda dengan anak lelaki ... Orang tua, adik perempuan, kakak perempuannya, tetap jadi tanggung jawabnya. Kamu ingat?" Umi menjeda, Hilya mengangguk, "Keridhaan Allah kepadamu itu tergantung pada keridhaan suamimu."

Hilya mengangguk, hanya linangan air mata yang mampu menjawab apa yang Uminya katakan. Dipeluknya sang ibunda dengan erat seolah ia masih tak siap jika harus jauh dari sosok yang telah melahirkannya.

"Jadilah istri yang taat, Nduuk," pinta Abi. "Itu juga salah satu bentuk ketaatanmu pada Allah. Doa Abi sama Umi, selalu menyertai. Semoga Allah memberkahi rumah tangga kalian berdua." Hilya mengurai pelukan Umi dan beralih memeluk abinya.

Hadeuh ... Drama banget, sih!

Adam yang melihat momen itu merasa sudah tidak sabar dan membuatnya selalu menggerutu dalam hati.

"Aamiin, makasih, Umi. Insya Allah, akan Hilya ingat nasihat Umi sama Abi selama ini." Hilya mengurai pelukan abi, menatap sendu wajah yang nanti akan jarang dilihatnya.

Umi tersenyum, menangkup wajah putrinya.

"Sudah, ah. Ndak usah nangis. Kamu Ingat, Nduk? Rasulullah salallahu'alaihi wasallam pernah bersabda; Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.

"Itu artinya, kamu harus mengutamakan ketaatanmu pada suamimu daripada Abi dan Umi. Taati perintah suamimu, selagi tidak menyuruhmu menyalahi syariat dan berbuat kemungkaran kepada Allah," tambah Umi mengingatkan Hilya akan kewajibannya saat ini.

Hilya mengangguk dan beralih tatap pada lelaki yang sudah beruban yang ada di samping Umi. Juga melihat ke semua penjuru arah. Bangunan pondok, para santri putri yang cukup Hilya kenal dan semua staf pengurus juga pengajar serta direksinya. Terakhir Hilya   mencium tangan Abi seraya berlinang air mata.

Saat Hilya merasa bersedih kan perpisahan kali ini, tatapannya jatuh pada Adam yang memberi isyarat untuk segera berangkat. Hilya tak menjawab apa pun melainkan membiarkan Adam berpamitan.

"Saya pamit, Bi." Adam mendekat mencium tangan mertuanya dengan takzim.

"Ya, Dam. Abi titip Hilya. Jaga dan bimbing dia. Ia sudah jadi tanggung jawabmu. Sekarang kamu itu ibarat seorang nakhoda sebuah kapal. Ke mana arah laju kapalmu kamu tuju, semua tergantung padamu. Jadi bijaklah dalam menyikapi segala sesuatu dan cermat dalam setiap mengambil keputusan," pesan Abi.

"Insyaa Allah, Bi."

"Tetap sabar menghadapi Hilya. Sebab, wanita itu tak ubahnya ibarat cermin yang mudah retak. Kalau kamu mengosoknya terlalu keras, maka cermin itu akan pecah. Begitu juga hati istrimu ini. Kalau diperlakukan terlalu keras, itu sama saja kamu membuatnya patah dan terluka. Jadi, perlakukan dia dengan lembut," papar Muja'far menasihati menantunya.

"Insya Allah, terima kasih atas nasihatnya, Bi." Adam pun beralih tatap pada Umi. "Saya pamit, Mi."

"Iya, Nak. Umi titip Hilya, ya. Perbanyak sabar dan maaf kalau Hilya salah."

"Insya Allah, Mi, " jawab Adam menatap mertuanya secara bergantian.

"Umi, Bi ... kalau ada apa-apa, kabari Hilya, ya," pinta Hilya sebelum berangkat.

"Pasti, Nduuk. Jangan khawatir... Umi pasti akan sering-sering berkirim kabar, lagi pula dari sini ke sana juga kan, ndak jauh. Nanti kapan-kapan, Abi sama Umi main  ke sana buat nengokin kalian."

Hilya mengangguk, tersenyum seraya menyeka air matanya. "Hilya berangkat ya, Umi, Abi." Hilya menciumi kedua pipi Umi dan Abinya.

"Wasalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka.

"Hati-hati. Jaga kesehatanmu baik-baik, Nduk. Jaga suamimu juga, urus dia dengan baik," bisik Umi meski masih bisa terdengar oleh Adam.

Hilya tersenyum, "Insya Allah, Umiii."

Tatapan Hilya beralih pada Asti, sahabatnya yang selalu ada untuknya. Hubungan keduanya tak ubahnya seperti saudara membuat mereka semakin terikat satu sama lain.

"Astiii ... Titip abi sama umi ya, sering-sering tengokin mereka di sini." Hilya memeluk sahabatnya.

"Jangan khawatir. Nanti aku bakalan sering main tengokin Umi," ujarnya seraya mengurai pelukanny. "Kan, sekalian minta makan. Iya kan, Miii?" Asti meminta persetujuan Umi, ibu sahabatnya yang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri.

"Iyooo, Cah Ayu ...." Umi menanggapi ucapan Asti yang sudah beliau anggap putrinya sendiri sambi tersenyum.

Sambil menghapus sisa air mata Hilya berkata, "Makasih, ya. Aku pasti bakal kangen banget sama kamu."

"Uuuh, aku jugaaa. Eits! Tapi tenang ... Nanti kita bakal sering VC-an, oke?"

"Iyaaa, oke." Hilya mengangguk kemudian beralih tatap ke suaminya.

"Ayo," ajak Adam pada Hilya yang menjawabnya hanya dengan anggukan.

Hilya menatap kembali semua yang berada di sekitarnya. "Mari semuanya, wassalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam." Mereka menjawab secara bersamaan ketika Hilya menaiki sebuah SUV hitam, di mana sudah ada Adam duduk di belakang kemudi. 

"Baik-baik ya, Kaliaaan!" seru Asti saat mobil mulai bergerak lamban meninggalkan halaman dan membawa sahabatnya pergi.

**

Sejujurnya Hilya enggan jauh dengan abi dan uminya. Tapi bagaimana pun juga bukankah keadaan sudah berbeda. Statusnya sekarang sudah menjadi seorang istri orang. Jadi, mau tak mau Hilya harus bersedia mengikuti ke mana pun suaminya pergi. Hilya tahu, mungkin dia tidak akan sedrama ini jika yang dia ikuti adalah pria yang dicintai juga mencintainya.  Tapi sekarang? Hari ini dia harus  ikut bersama orang yang telah diikat dalam status pernikahan tanpa cinta. Mampukah dia melaui semuanya?

Sepanjang perjalanan Solo ke Semarang, keduanya lebih banyak diam. Adam yang sibuk fokus pada kemudinya dan Hilya sibuk dengan pikirannya sendiri. Sesekali Adam melirik istrinya yang lebih memilih membuang tatapan ketika dia meliriknya. Tentu saja Adam tak kalah cuek. Ekspresi datar yang diciptakan Adam seolah-olah memang sengaja dia bentuk untuk melindungi dan membentengi hatinya. Tetapi itu tak jadi soal bagi Hilya, sebab wanita berjilbab panjang itu sadar kalau dia harus lebih terbiasa dengan segala sikap dan tingkah laku Adam memperlakukannya.

Tidak lebih dari dua jam mereka menepuh perjalanan, sampailah mereka di depan sebuah bangunan berlantai dua dengan arsitektur modern minimalis yang trendy. Suasana tropical landscape yang teduh dan hijau membuat udara terasa sejuk. Bersih dan bebas polusi, terkesan sebuah hunian yang cukup nyaman. Kendati begitu, bagi Hilya tetap saja itu bukan faktor utama yang bisa membuat hatinya bahagia. Walau suasana di sini membuat dia betah untuk melihat pemandangan di sekitarnya, akan tetapi sikap Adam tidak membuatnya  mendapatkan kenyamanan seperti saat tinggal bersama abi dan uminya.

Adam sudah turun lebih dulu ketika mobil yang dibawanya telah terperparkir sempurna di pelataran rumahnya. Tidak peduli apakah Hilya ikut turun bersamanya atau tidak, lelaki berjangut tipis itu segera berjalan ke arah belakang demi membuka bagasi lalu sibuk menurunkan barang-barangnya itu satu per satu. Begitu pun dengan koper-koper milik Hilya. Dia meletakkannya begitu saja di atas hamparan paving block.

Melihat istrinya belum juga turun, Adam pun segera menghampiri. 

"Malah ngelamun. Mau diem di situ terus sampai akaran? Nggak usah manja deh, jangan ngarep saya bukain pintu buat kamu," kata Adam sinis.

Mendengar Adam berkata ketus demikian tentu saja dia terkejut. Tapi, Hilya tetap berusaha menutupi keterkejutanya dengan mencoba memberi senyuman kecil untuk suaminya.

"Iya, Mas ... Lagian siapa juga yang ngarep dibukain pintu? Mas aja yang ke ge-eran."

"Maksud kamu?" Adam langsung berbalik seraya menatap tajam istrinya setelah dia mendengar perkataan Hilya yang sebetulnya tidak begitu kencang.

"Enggaaak," elak Hilya seraya berusaha untuk selalu bisa tersenyum.

"Bagus, deh. Bawa sendiri, tuh barang-barang kamu, jangan ngarep buat dibawain," tambah Adam lagi.

"Iya, Mas ... Tenang aja. Nanti juga aku bawa sendiri kok," ujarnya seraya menjejakan kaki setelah dia turun dari mobil.

Hilya melihat koper miliknya dibiarkan tergeletak begitu saja. Miris, menyedihkan sekali. Seharusnya Adam yang membawa barang bawaannya, kan? Tapi ini? Tidak sama sekali.

Masyaa Allah... Laa tahzan, innallah ma 'ana. Sabaaar Hilya. Kamu harus kuat. Gak boleh cengeng. Kamu pasti bisa.

Hilya terus menghibur hatinya. Sekarang, mau tak mau dia harus segera membawa tas dan koper miliknya sendiri tanpa mau merepotkan siapa pun di sini. Sementara itu, Adam sudah lebih dulu berdiri di depan pintu kayu jati. Tangan lelaki gagah itu bergerak menyentuh tombol kecil yang tersedia di bagian sisi atas kanan pintu. Tak lama waktu berselang, tampaklah sang penghuni rumah, wanita berhijab yang pernah Hilya lihat dari balik pintu rumah itu sambil tersenyum lebar ke arah Adam.

"Assalamu'alaikum, Mi." Adam menyalami Uminya.

"Wa'alaikumsalaaam. Adam? Umi kira kamu bakalan lama di sana. Hilya mana?" tanya Umi.

"Tuh!" tunjuk Adam dengan menggerakan dagunya sambil hendak menerobos pintu. 

Tapi Umi menahan tangan Adam saat beliau melihat istri putra bungsunya itu berjalan sambil membawa beberapa barang bawaannya sendiri. 

"Masya Allah, Hilya ... Simpan itu dibawah, sini." Umi menyambut kedatanganya.

Melihat Umi jelas saja Hilya langsung meletakan koper-koper miliknya dan membalas sambutan ibu mertuanya dengan sebuah pelukan.

"Apa kabar kamu, Nduuuk?" tanya Umi mengurai pelukannya.

"Alhamdulillaah, Umi ... Hilya sehat. Kabar Umi sama Abah, gimana?" tanya Hilya dengan santun dan lembut seraya mengurai pelukan.

"Alhamdulillah, Abah sama Umi sehat," jawabnya seraya membelai pipi Hilya lalu menoleh pada Adam, "Dam, ngapain diam? Tuh bawa semua barang-barang istri kamu ke kamar!" tunjuknya pada dua koper milik Hilya.

"Mi ... Dia—."

Belum sempat Adam membantah, Umi berkata lagi, "Kamu ini emang beneran ndak tahu malu, ya. Bukannya dibawain, ini malah ditinggal. Ambil!" 

Adam menatap Hilya tak suka.
"Sini!" pintanya, ketus.

"Ndak usah, Mas. Biar aku bawa sendiri saja," tolaknya saat Adam hendak mengambil alih koper miliknya.

"Udaaah, sini! Bisa nggak sih, jadi orang nggak usah ngeyel?!"

"Adam! Jangan bentak-bentak!" seru Uminya, "Hilya ...," panggil ibu mertuanya. "Sini, Nduk. Sudah, biar nanti suamimu yang bawa."

"Tapi... Umi." Hilya masih mempertahankan apa yang ada di tangannya.

"Sudah, ndak ada tapi-tapian. Ayo ikut Umi."

Hilya pun manut. Lagi-lagi dia tersenyum seraya memberikan tas dan koper miliknya pada Adam yang jelas sekali sangat tidak ikhlas membantunya. Sebenarnya Hilya ingin sekali tertawa, hanya saja tak sampai hati dia menertawakan Adam yang sudah menjadi orang paling teraniaya.

Uuuh kasihaaan suamiku.

"Ngapain kamu liatin saya kayak gitu?"

Hilya tersenyum. Sebelum dia mengikuti ke mana Umi mengajaknya, Hilya berkata,  "Makasih ya, Maaas."

Adam tak menjawab melainkan hanya sibuk membawa koper milik istrinya, memandangi Umi yang tersenyum bahagia  berjalan di depannya, menggandeng sang menantu masuk rumah.

Umi tersenyum melihat Adam melintas dengan wajah ditekuk mendahului langkah mereka berdua.

"Mbok ya kalau mengerjakan sesuatu itu yo yang iklhas to, Daaam. Biar nanti usahamu itu ndak sia-sia. Kalau ndak ikhlas, sama saja kamu mengerjakan pekerjaan yang sia-sia. capenya iyaaa, tapi pahala ikhlasmu ilang gitu aja."

"Aaah, terserah Umi, deh!" Adam memilih langsung naik sambil membawa barang-barang di kedua tangannya.

Dua kali Adam naik turun dan untuk ke dua kalinya, Abah yang  baru tahu kedatangan Adam pun  pun menyapa.

"Adam? Datang kapan kamu?"

Adam menyalami Abahnya, lalu menjawab, "Baru aja kok, Bah. Emang sengaja. Kan, kejutan."

Sulaiman beralih pandang pada istrinya yang berjalan beriringan bersama menantunya.

"Hilya ... apa kabar, Nduk?" tanya Sulaiman. Gimana kabar Abi sama Umimu?"

Hilya tersenyum, menghampiri, mencium punggung tangan ayah mertuanya. "Alhamdulillah, baik, Bah. Abi sama umi juga sehat. Kabar Abah gimana?" tanya Hilya balik.

"Alhamdulillaah, sehat, Nduk." jawab Sulaiman. "Adam ndak macam-macam kan, Nduuk? Dia ndak galak, kan?" tanya Sulaiman menatap penuh selidik pada mereka berdua.

Hilya tersenyum, sekilas memandang Adam yang tampak cuek, lalu beralih tatap kembali pada ayah mertuanya.

"Alhamdulillah... ndak kok, Bah. Mas Adam baik, kok."

"Baik dari Hongkong?" potong Umi. "Masa anakmu itu Bah, istrinya kesusahan kok dibiarkan saja. Seharsnya dia itu Bersyukur, istrinya ndak sampai hati buat ngomong jujur atas kelakuannya." Umi justru sengaja memancing.

"Apa sih, Mi ... Ini kan udah dibawain. Salah melulu. Ah, udah lah." Adam lebih memilih naik, membiarkan mereka terus saja bersekongkol menyudutkan keberadaannya di rumah sendiri.

Umi menggandeng tangan Hilya menuju lantai dua, menuju kamar Adam. Perlahan, beliau mendorongnya dan mengajak menantunya itu untuk masuk. Di sana Adam tampak sedang membereskan pakaian ke dalam lemari besar yang berada di sudut kamar, dekat pintu kamar mandi.

"Nah, ini kamarmu, Nduk. Mulai sekarang kamar Adam akan jadi kamarmu juga. Semoga kamu betah, ya. Kalau dia nanti galak, bilang sama Umi," pesan ibu mertuanya seraya melirik Adam, dan tentu saja Adam mengerti jika Umi menyindirnya.

"Iya, Umi, terima kasih."

"Ya, sudah, sekarang kamu istirahat. Ingat pesan Umi, kalau Adam kasar sama kamu, bilang ya." Umi sekali lagi mengingatkan.

"Iyaa, Umi. Terima kasih."

***

Setelah shalat ashar, Hilya sudah tampak rapi. Wanita itu tampak mengenakan gamis lebar warna peach. Adam yang bangun tidur, tentu saja terkejut saat melihat keberadaan Hilya berada di dalam kamarnya. Oh, ya Tuhan, hampir saja dia mengeluarkan kata-kata kasar. Tapi tak lama kemudian Adam sadar bahwa, saat ini dia harus sudah terbiasa melihat Hilya di kamarnya.

Adam seperti orang linglung. Rasanya dia masih tidak percaya dengan alur hidup yang djalaminya. Semua terasa begitu  tiba-tiba. Semua seperti mimpi. Termasuk soal pernikahannya. Adam terbngun. Duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menangkup wajahnya dengan  siku tertumpu pada lutut.

"Mas ... Mau mandi?"

Adam menurunkan kedua tangan dari wajahnya, menatap wanita berkulit putih dengan rambut lurus yang tergerai. Adam terdiam, dia terpukau melihat Hilya sampai dia tidak sadar dan lupa apa yang baru saja istrinya tanyakan. 

"Mas," panggil Hilya lagi. "Mas, mau mandi sekarang atau nanti?" ulang Hilya seraya menyodorkan handuk di tangannya.

Adam tergemap, ia berdiri demi menutupi kebodohannya sendiri karena sudah terpesona pada wanita di depannya.

"Ya sekarang lah, kenapa? Mau ikut?" Adam maju, mendekatkan wajahnya pada Hilya.

Spontan Hilya pun mundur, "Enggak!" elaknya.

Dengan wajah dingin, Adam merebut handuk dari tangannya. Kemudian berlalu menghilang di balik pintu kamar mandi yang sempat dibanting dan membuat Hilya terkejut. 

"Astagfirullahal'adhiim ...." Hilya gemetar. "Seumur hidup, baru kali ini aku ketemu orang model begini. Masya Allah ... Sabar Gustiii."

Hilya tak henti-hentinya beristigfar. Dengan penuh harap, dia memberi semangat pada dirinya sendiri.

Aku harus bisa, pokoknya harus bisa menjadi istri sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah. Keridhaan Allah padaku saat ini, hanya ada pada Mas Adam. Jadi bagaimana pun keadaannya, semoga aku bisa menjadikan dia lebih dekat pada cinta-Mu ya Rabb ... Aamiin.

Hilya berdoa dalam hati.

*******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro