Di Istikharah Cinta (3)
Jangan meremehkan seseorang karena keburukannya, sebab kita tak pernah tahu, seberapa banyak kebaikan yang dia sembunyikan.
☆☆☆☆☆
Seminggu sudah berlalu sejak Adam disidang oleh abah. Adam mengira dengan cara Abah tidak membahasnya lagi, itu karena Abah sudah benar-benar lupa, atau kemungkinan lainnya abah sudah mau memaafkannya. Namun, dugaan Adam meleset. Karena malam ini, Abah sudah memanggilnya yang katanya untuk membicarakan hal yang serius. Jika sudah demikian, tidak salah bukan jika Adam curiga bahwa ancaman Abah soal hukuman itu benar-benar akn berlaku untuknya.
"Kamu tahu kan maksud abah manggil kamu malam ini?" tanya Abah membuka obrolan.
Adam menggeleng. Karena memang ia benar-benar belum tahu apa yang akan Abahnya sampaikan malam ini hingga harus memanggilnya. Kecuali jika Abah mengatakan akan membahas hal yang pernah seminggu lalu Adam lakukan, barulah mungkin Adam bisa paham.
"Abah sudah pikirkan soal ini. Abah juga sudah bicarakan ini dengan Umi. Mengenai kesalahan kamu minggu lalu yang cukup membuat Abah sama Umi kecewa. Abah sudah putuskan akan beri kamu pilihan. Kamu menerima atau kamu boleh angkat kaki dari rumah ini dan jangan anggap kami lagi. Pilihannya dengan segala keputusan Abah serahkan sama kamu."
Adam tentu saja terperanjat mendengar perkataan itu. Menautkan alis dengan kening sedikit berkerut karena bingung.
"Maksud abah?"
"Ya, hukuman atas kesalahanmu. Abah akan menikahkan kamu, Dam," tegasnya.
Adam langsung berdiri. Terkejut ia dibuatnya. Tidak menyangka jika Abah memutuskan hal itu dengan sebelah pihak. Tidak, Adam harus protes. Tentu saja ini tidak adil untuknya. Adam tidak mau. Ini sama saja sebuah pemaksaan. Bukan pilihan.
"Menikah?! Tapi, Bah-."
"Pilihannya cuma dua. Ikut kata Abah, atau kamu pergi dari sini, dan jangan temui abah atau umi jika terjadi sesuatu pada kami."
"Baaah." Umi tampak berkaca-kaca seraya membelai pundak Abah.
"Tidak usah membela kesalahan anak kita, Mi!" cetus Abah tanpa melihat ke arahnya apa lagi umi.
Hati Adam jelas ikut merasa sakit tatkala melihat air mata uminya mengalir deras karena ulahnya. Mata redup itu kini Menatapnya dengan penuh harap. Seakan-akan meminta Adam untuk tetap di sini. Melihat hal itu. Adam pun duduk lagi.
Tak mungkin bukan jika Adam pergi di saat kondisi Umi sudah tidak sesehat dulu? Mas Azam dan Mas Fatta sudah memiliki keluarga. Mereka tidak lagi di sini bersama abah dan Umi karena pekerjaan mereka menuntut mereka untuk menetap di luar kota. Adam mengerti, kini dialah yang menjadi tumpuan abah dan Umi untuk bisa menjaga dan menjadi teman di masa tua mereka.
"Baiklah, Bah. Adam akui Adam salah. Tapi untuk menikah, itu bukan hal untuk main-main, Bah...."
"Karena bukan main-main, Abah mau kamu sudah harus belajar untuk serius menata hidupmu, Dam! Usia kamu sudah dua puluh delapan, loh. Sudah cukup matang untuk kamu membina keluarga. Tapi ... Sekarangan terserah, Abah serahkan semua keputusannya sama kamu. Sebab pilihan pun cuma ada sama kamu."
"Itu bukan pilihan, Bah. Itu paksaan di mana aku nggak bisa memilih salah satu yang lebih baik."
"Apa kamu pikir menikah bukan hal yang baik, hah?! Lalu yang dikatakan bahwa menikah itu menyempurnakan separuh agama, termasuk bilang bukan pilihan yang lebih baik?"
"Tapi, Baaah." Adam memelas seolah meminta kebijakan atas keputusan mutlak sang ayah.
"Sudahlah, Abah sudah ndak bisa kasih kamu peluang lagi, Adam. Kamu sudah terlalu sering bikin Abah kecewa. Sudah banyak peluang yang Abah berikan. Tapi sayang ... Kamu tidak memanfaatkan peluang itu dengan baik."
Adam bergeming, tertunduk tak mampu berbuat apa-apa ketika keputusan sudah tidak lagi bisa diganggu gugat. Adam menoleh pada Umi, tapi umi pun seolah tak bisa berbuat apa-apa.
"Abah sudah tua, Adam. Umi sudah sering sakit-sakitan. Entah sampai kapan umur kami ini bisa bertahan. Abah tidak bisa menjamin kalau Abah dan Umi bisa terus menemanimu. Kamu harus sadar, tidak selamanya kami ada."
Adam membisu saat mendengar ada getaran pada suara Abah. Matanya berkaca-kaca. Wajah penat itu bisa Adam lihat begitu jelas. Seumur hidup, baru kali ini dia melihat kedua orang tuanya menunjukan wajah yang terluka di depannya. Dan buruknya lagi, Adam sendiri lah yang melukai mereka. Ya, Adam telah membuat Abah dan Umi kecewa.
Setelah Adam renungkan, terpikir olehnya jika ia tak bisa terus menerus membuat kecewa Abah dan uminya. Walau bagaimana pun juga Adam tahu bahwa, keridhaan Allah itu tergantung pada ridha kedua orang tuanya. Perlahan pikiran Adam mulai sinkron dengan hatinya. Setidaknya, walau tidak begitu lama, sekirang-kurangnya Adam itu pernah mengecam kehidupan di pondok pesantren. Jadi, sedikit-banyak ia tahu bagai mana hukum memperlakukan orang tua dalam agama.
Belum juga Adam bicara lebih banyak, Abah sudah lebih dulu beranjak meninggalkannya. Lalu Adam terdiam hanya berdua bersama umi. Beberapa saat Adam terdiam tanpa berani berkata apa pun. Namun akhirnya, satu kalimat lolos dari bibirnya.
"Maafkan Adam ya, Umi." Adam terduduk di lantai dengan kepala direbahkan dipangkuan Umi penuh penyesalan. "Maafkan Adam sudah membuat Umi dan Abah kecewa."
Tangan ringkih umi terulur penuh kasih membelai kepala putra bungsunya sambil berkata,
"Kalau kamu Sayang Umi. Umi mohon jangan tinggalkan Umi."
Adam mendongak. Menggeleng seraya menjawab, "Nggak akan Umi. Adam janji akan tetap ada untuk Umi."
Umi tersenyum, "Jadi ... Kamu setuju dengan rencana Abah, Nak?" tanya Umi kemudian.
Adam tak langsung menjawab. Ia tertunduk dengan perasaan dan pikiran yang masih bingung. Di satu sisi, hati menolak, tapi di sisi lain, ia tidak ingin membuat Uminya kecewa lagi.
"Apakah... harus dengan menikah, Mi?"
Umi terdiam sejenak, "Apa kamu tega pergi ninggalin Umi, Dam? Kamu ndak dengar pilihan Abah?"
Adam tertunduk. Menarik napas dalam-dalam, dipejamkan mata demi memberi kekuatan dalam hati bahwa keputusannya adalah benar. Sebab Adam tahu, ini sudah tidak bisa ditawar lagi. Adam sudah sangat hafal tabi'at Abah. Beliau akan memberi kebijakan jika kesalahannya masih bisa ditolelir. Namun kali ini tidak, ia tahu betul bahwa kesalahannya sudah dianggap melanggar norma agama. Abah tentu akan bertindak tegas jika anak-anaknya melanggar aturan Tuhan.
Itulah salah satu keistimewaan yang belum bisa Adam ikuti dari sosok Abah. Abahnya yang kuat memegang prinsip hidup yaitu, hanya benci, cinta, dan marah, semata-mata karena Allah. atas nama kebenaran, agama dan atas nama Allah.
"Baiklah. Adam akan terima jika itu keputusan akhir dari Abah, Mi. Yang penting Umi dan Abah bahagia."
Ada kelegaan dalam hati Umi saat mendengar keputusan putranya. Tetapi tidak bagi Adam. Sejak lama Adam membenci sebuah komitmen. Terutama yang berurusan dengan cinta dan hatinya. Termasuk pernikahan. Bagi Adam, hal yang bernama cinta itu telah mati. Baginya, luka lama itu masih membuat Adam terlampau sulit membuka hati. Tidak akan mudah dia mempercayai seseorang, apalagi, yang berurusan dengan hati.
Namun, kali ini Adam pikir biarlah pernikahan itu terjadi. Kendati demikian, bukan berarti ia akan menerima kehadiran wanita pilihan Abah itu di hatinya. Sampai kapan pun tidak akan. Simpel saja bukan? Karena Adam pikir bahwa pernikahan itu bukanlah kehendak hati atau keinginan Adam sendiri. Jadi, Adam bertekad tidak akan melibatkan hati dalam pernikahannya. Cukuplah hubungan itu hanya sebatas menjalani hukuman dari Abah yang membuat ia bisa bertahan demi Uminya.
Umi tersenyum seraya menyeka air mata yang melintasi pipinya sambil berkata, "Terima kasih, Nak."
Adam tak menjawab. Melainkan memilih menjatuhkan lagi kepalanya, di pangkuan Umi.
***
Dua minggu setelah Adam memberi keputusan, Sulaiman kembali bertukar kabar dengan sahabat karibnya. Berbicara tentang kebersediaan putranya.
Tetapi tak cukup hanya di situ.
Sebab sekarang, yang jadi persoalannya adalah siapa yang akan bersedia menjadi istri putranya itu. Sebab, Muja'far mengabarkan calon yang semula sudah jadi kriteria bakal masuk ke deretan gadis yang siap dikhitbah, ternyata sudah dalam pinangan orang lain.
Namun, Muja'far tidak mungkin menarik kata-katanya pada Sulaiman. Ia sudah berjanji akan membantunya. Dengan janji itu, tentu saja Sulaiman pasti sudah sangat berharap penuh padanya. Salat hajat, Istikharah pun dilakukan Muja'far. Beliau meminta siapa gerangan yang akan ia jadikan calon istri anak Sahabatnya itu. D isela-sela kebingungan, entah mengapa wajah putrinya yang selalu hadir dalam mimpinya. Awalnya ia ragu, tapi semakin hari perasaan yakin makin besar. Hingga malam ini ia ceritakan semua secara jelas pada Hilya juga Istrinya.
Hilya tampak terdiam. Ia tak tahu harus berkomentar seperti apa. Sampai pada akhirnya sang Ayah bertanya kepadanya.
"Bagaimana, Nduk? Apa kamu bersedia?" Muja'far bertanya pada Hilya.
Hilya masih tetap diam. Hilya tahu dan sangat yakin jika pilihan Abi adalah yang terbaik. Tapi, mengapa kali ini Abi justru memilihkan calon suami yang jauh dari kriteria seorang lelaki yang shalih? Lelaki yang justru menyukai dunia malam dan menenggak minuman? Begitulah yang Hilya dengar. Bukan bermaksud ingin membuka aib Adam, tujuan Muja'far tiada lain agar tidak ada satu hal pun yang ditutupi dari Hilya.
"Abi... Hilya tahu. Semua yang Abi peruntukan untuk Hilya, Insya Allah bukan perkara sembarangan. Hilya yakin, Abi sudah bermunajat kepada Allah sebelum mengajukan ini untuk Hilya. Tapi, satu hal yang Hilya ndak mengerti, kenapa Abi justru memilih pria seperti itu? Padahal Abi tahu dengan jelas, dia bukan pria yang baik?"
"Astagfirullahal'adhiim. istigfar, Nduuk. Ndak sadarkah kamu sudah mendahului penilaian Allah? Kita hanya manusia biasa yang sedang berusaha menjadi baik, berdakwah dengan cara kita sendiri. Kita tidak berhak menghakimi seseorang. Baik dan buruknya, hanya Allah yang menilai. Sebab dalam keburukan seseorang, kita tidak pernah tahu, seberapa banyak kebaikan yang dia sembunyikan. Bisa jadi, saat ini dia sedang tersesat, itu artinya, bukan berarti dia tidak bisa menjadi baik. Kita ndak pernah tahu rahasia di balik semua rencana-Nya. Bisa jadi, Allah ingin meninggikan derajatmu dengan memberimu ujian sabar, ujian supaya bisa legowo lan nerimo. Pahala, Nduuuk kalau kamu bisa jadi perantara untuk menjadikan dia jadi lebih baik. Kita tak akan pernah tahu Hilya, bagimana nasib baik dan buruk seseorang," papar Abi begitu runut.
Astagfirullahal'adhiim. Ya benar. Aku terlalu menganggapnya buruk, padahal siapa tau dia justru lebih baik dariku. Lalu bagaimana dengan perasaanku pada Mas Bian? Lelaki yang aku cintai selama ini?
"Bagaimana?" tanya Muja'far pada putrinya lagi.
Hilya melihat Uminya hanya mengangguk dan tersenyum tipis di sudut bibirnya.
Hilya mengerti, Uminya saja memberi dukungan atas apa yang Abinya lakukan. Jika sudah begitu, apakah ada yang melebihi ridha orang tua setelah ridha Allah saat ini?
"Abi, Hilya perlu pikirkan ini lebih dulu. Setidaknya, Hilya ingin meminta jawaban apa yang baik untuk menjadi keputusan Hilya nanti. Apakah Abi tidak keberatan, jika Hilya ndak bisa jawab sekarang?" tanya Hilya, lemah lembut.
Abinya tersenyum. Membelai kepala anak gadis semata wayangnya.
"Tentu saja, Nduk. Mintalah petunjuk dari-Nya, Abi akan tunggu jawaban terbaik darimu."
"Terima kasih, Bi. Doakan agar Allah lekas memberikan jawaban terbaik untuk Hilya."
"Pasti. Abi akan doakan kamu selalu. Abi dan Umi selalu meminta yang terbaikmu untuk kita semua."
Ya Allah, semoga apa yang menjadi keyakinan di hatiku, akan menjadi keyakinan di hati putriku. Aamiin.
Muja'far menatap wajah putrinya. Betapa dia berharap, satu jawaban itu sama dengan keputusannya. Bagaimana pun Muja'far sudah yakin, setelah sebelumnya dia pun tidak serta merta memutuskan bahwa Hilyalah yang dia jodohkan dengan putra sahabatnya itu, melainkan dia sendiri sudah meminta dalam shalat istikhahnya. Dan kali ini, tinggal jawaban Hilya yang ditunggunya.
★★★★
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro