- 08
Setelah insiden tarik-menarik yang menyebabkan tali bathrobe-ku terbuka dan Revan jatuh kesakitan, kini aku bersandar malas di kepala ranjang.
Malu memang masih ada, tapi aku puas menyiksa lelaki itu. Sebagai hukuman karena kurang ajarnya dia membuka bathrobe-ku, dia pasrah saat aku memerintah Revan ke mall membelikan pakaian untukku.
Lama sekali. Aku mengecek jam lagi di hape, sudah hampir satu jam Revan keluar. Semoga dia tidak tersesat, karena sekarang aku mulai lapar. Sementara di sini tidak ada makanan. Aku terlalu malas untuk memesan via online atau pada petugas, jika masih ada Revan yang bisa disuruh-suruh.
Suara derap langkah kaki terdengar dari arah pintu. Aku segera turun dari ranjang untuk menghampiri Revan.
"Baju aku mana?" tanyaku tanpa basa-basi. Saat dia mengangkat tiga paper bag, aku langsung menariknya kasar.
"Terima kasih." Setelah itu, aku langsung lari ke walk in closet. "Eh, beli makanan jangan lupa!" teriakku sesaat sebelum menutup pintu.
Semua paper bag aku letakkan. Tidak sabar untuk mengganti bathrobe ini. Aku merasa tidak nyaman. Paper bag aku buka, selembar pakaian aku tarik dari dalam sana, dan ....
What the hell?
Lingerie?
Aku membuang asal pakaian barusan, lalu mengeluarkan satu lagi. Gaun hitam dengan kain tipis, yang kalau aku pakai ini sama saja tidak mengenakan apa-apa.
Pakaian kedua, ketiga, di paper bag lainnya pun sama. Yang membedakan hanya bentuk dan warnanya.
Astaga ....
"REVAN! BRENGSEK!"
***
"Revan! Revan!" Aku terus berteriak sambil menenteng semua paper bag dari walk in closet. Saat menemukannya, semua pemberian Revan tadi aku lemparkan padanya.
"Kamu bisa nggak sih, pilihin pakaian yang bagus-bagus gitu? Astaga, itu apaan coba?" gerutuku kesal.
"Kamu sendiri tidak bilang mau pakaian yang bagaimana, kan?"
"Tapi kamu kan harusnya peka, aku nggak suka pakaian gini." Lalu aku menggeram.
"Pakaian yang kamu suka bagaimana? Kaus putih tipis buat pamer bra gitu?"
Mulutnya ... sialan!
"Itu tanggung namanya, Salwa. Sekalian saja lingerie, supaya pamer badan. Sama suami sendiri juga, tidak masalah."
"Kamu ...." Terlalu jengkel, sampai aku bingung harus mengeluarkan sumpah serapah jenis apa. Karena lelaki satu ini mungkin tidak akan mempan. Wajah lempengnya terlalu menyebalkan. "Nyebelin!"
Aku berbalik, ingin ke kamar. Namun, Revan mencegah dengan tawaran menggiurkan.
"Makanannya sudah siap, Salwa. Ada ayam betutu asli Bali, sate lilit, ikan asap sambal matah ...."
Sial, terlalu menggoda. Aku berputar 180°.
"Aku mau makan. Kamu beresin kamar sana!" pintahku.
"Katanya mau ke kamar, ya makanannya buat saya." Sedetik berikutnya, dia berlari menuju ruang makan. Aku menyusul, menarik kemejanya dari belakang.
"Nggak, Revan! Jangan durhaka sama istri!" pekikku saat dia berusaha melepaskan dirinya sendiri.
"Katanya mau ke kamar, ya pergi sana!" Dia hampir mendorongku, tetapi tanganku berpegang erat pada lengan Revan.
Jarak meja dengan kami tinggal dua meter. Semua yang disebutkan Revan tadi sudah tertata rapi di atas meja, membuat perutku semakin berbunyi keras minta diisi.
Merasa kalah kekuatan dengan Revan yang tubuh dan tenaganya jauh lebih besar, aku menggunakan trik lain. Tanganku berpindah ke perutnya, menggelitik Revan secara asal. Dia terpekik sambil tertawa keras.
"Sa-Salwa, stop!" Aku ikut tertawa melihat ekspresi wajahnya saat ini. Semakin semangat untuk menyerangnya.
Secara tiba-tiba, pergelangan tanganku dicekal olehnya. Aku dan dia mematung, apalagi saat melihat gurat lelah sekaligus marah di wajahnya. Bukannya takut, aku menjulurkan lidah mengejek.
Namun, ternyata itu kesalahan fatal yang aku lakukan. Kurang dari sedetik, lidahku sudah diapit oleh kedua bibir Revan. Bahkan, aku berusaha memasukkannya lagi, dia malah menggigit lidahku. Lalu melumatnya ringan.
Aku ingin mengumpat, tetapi malah memberikan kesempatan bagi Revan untuk ganti memasukkan lidahnya ke mulutku. Sembari sesekali melumat bibirku atas-bawah.
Sialan. Perutku bergejolak. Aku tidak diberikan kesempatan untuk memberontak karena kedua tangannya menekan pinggang dan tengkukku.
Aku hampir hanyut oleh Revan. Untungnya, kesadaran segera mencegahku untuk pasrah. Aku membalas perlakuannya. Saat dia mulai lengah, aku menggigit kuat bibir bawah Revan hingga dia tersentak kaget dan menjauh.
"Oh ... shit!" Dia mengumpat.
"Rasain!" Aku segera berlari menuju meja makan, tanpa peduli pada Revan lagi. Tepat saat makanan sudah tersaji di piringku, Revan juga sudah pergi dari ruang makan. Entah ke mana. Aku ingin tidak peduli pada keadaannya, tetapi rasa bersalah terus memarahiku.
Dia baik-baik saja kan?
Aku tidak terlalu kuat menggigit kan?
Tidak sampai infeksi kan?
Jangan peduli, Salwa! Jangan peduli! Dia sering melakukan hal sama ke kamu. Jangan peduli!
Sialnya, aku selalu berpikiran buruk. Bagaimana kalau benar-benar infeksi? Lukanya memburuk. Lalu membusuk. Mulutnya diamputasi. Hii.
Khayalan yang berlebihan memang, tetapi aku sulit untuk mengabaikan keadaaan Revan. Sekali lagi, aku menyendok makanan ke mulut. Setelah tertelan, air aku teguk beberapa kali.
Piring kosong aku raih, mengisinya dengan makanan. Setelah itu, aku segera keluar untuk mencari Revan.
Kosong. Bahkan di kamar sekalipun. Aku awalnya cemas, dia kenapa-napa. Namun setelah mendengar suara air mengalir dari kamar mandi, aku baru bisa lega.
Revan keluar dari sana. Aku memalingkan wajah. Handuk yang melilit di pinggangnya jelas-jelas lumayan panjang. Jika ditarik hingga menutupi dada pun, juga bisa. Namun, dia dengan kurang ajarnya hanya melilitkan handuk itu terlalu di bawah pinggangnya sehingga aku merasa kurang nyaman.
Penampilannya semakin buruk.
Salah?
Okey. Dia tidak buruk.
Hanya saja, dengan posisi handuk seperti itu, dia terlihat sedikit seksi. Seakan-akan, manusia hot yang selalu aku ciptakan di setiap ceritaku, kini menjadi nyata. Revan orangnya.
Astaga, apa yang aku pikirkan sekarang?
"Kenapa? Otak kamu korslet?" Revan menegur.
Aku baru menyadari jika secara refleks, baru saja aku memukul kepala sendiri.
"Kurang ya gigitan aku tadi? Tuh mulut masih aja suka ngeluarin kata-kata nyebelin." Aku balas menyindir.
Revan berjongkok, membuka kopernya untuk mengeluarkan beberapa lembar pakaian. Aku merengut kesal, karena mungkin selama liburan, hanya bathrobe yang aku gunakan. Kecuali, aku sendiri yang harus keluar mencari pakaian.
"Ini makanan buat kamu." Aku menunjuk piring yang terletak di meja.
"Bawa ke dapur saja. Saya tidak bisa makan."
"Jangan manja deh, Van. Cuman digigit dikit, sampe kek anak kecil ngambeknya," cibirku.
Langkah Revan amat cepat menghampiriku. Dia duduk di ranjang depanku, lalu membuka bibirnya untuk menunjukkan bekas perbuatanku.
Hihihi. Lumayan parah ternyata. Bahkan, masih ada noda merah di sana.
"Ya udah, aku minta maaf."
"Pas saya tidak sengaja tarik tali bathrobe kamu, saya dihukum. Setelah kamu gigit saya, masa saya tidak bisa hukum kamu?"
Perasaanku tidak enak.
"Kamu makan itu saja. Pasti belum kenyang kan?"
Aku bingung mendengar perintahnya barusan. Namun, aku tetap laksanakan. Satu sendok masuk ke mulut. Mengunyahnya pelan-pelan seraya terus memandang matanya, mencari pikiran-pikiran licik di sana.
"Jangan ditelan!"
Aku hampir tersedak karena larangan Revan. Belum sempat bertanya, dia lagi-lagi menyatukan bibir kami. Aku ingin mengumpat, memaki manusia sialan ini. Namun Revan begitu lincah menyapu seluruh isi mulutku dengan lidahnya. Barulah setelah aku merasa kosong, dia melepasku.
Aku terkejut, tetapi dia malah tersenyum.
"Sudah halus. Bisa langsung telan."
Makanan di mulutku sudah ludes. Sialan!
"Lagi, Salwa!" pintanya.
"Pake blender sana! Argh!"
Bersambung ....
Astaga, 18+ :v
Awoakwoak. Gaje dah. Cuman kangen aja sama nih cerita.
Lagi stres. Wkwk.
Lanjut, kalau udah ada 500 bintang + 200 komen. Heuheu. Kalau nggak sampe, tetep bakal dilanjut. Tapi sesuai mood sama semangat aku ya.
Es_Pucil
Manusia gaje plus sedikit mesum:v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro