Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 06

Kesalnya perempuan itu ditunjukkan dari kecepatannya berbicara 1000 kata/detik. Marahnya perempuan itu ditunjukkan dari diamnya yang bisa bertahan hingga berhari-hari.
~Salwa~

"Bu, Pak Revan memanggil Anda!"

Untuk ke sekian kalinya, aku mendengkus mendengar panggilan itu lagi. Rasanya, kuping ini sudah panas mendengar titah yang sama sejak tadi.

"Apa Anda tidak bisa melihat saya sibuk bekerja? Kalau Pak Revan butuh saya, suruh dia yang ke sini!" pekikku kesal. Kemudian memperbaiki letak rambut yang sedikit menjuntai ke depan. Aku menyadari satu hal dari tindakanku barusan: beberapa pasang mata langsung mengarah padaku.

Wanita yang kuperkirakan usianya dua tahun lebih tua dariku itu menunduk dalam. Aku merasa bersalah seketika, juga merasa tidak enak. Apalagi, ada nama Mama yang aku bawa. Bisa-bisa, nama Mama jelek karenaku.

"Okey. Sepuluh menit lagi saya ke sana," ucapku kemudian sambil berusaha menampilkan sebuah senyuman yang rasanya sangat malas untuk ditunjukkan.

"Baik, Bu. Saya permisi."

*****

Pintu kuketuk beberapa kali, sembari menunggu dengan malas. Setelah ada izin dari dalam, barulah aku masuk.

"Loh, Salwa?" Revan bertanya, tampak bingung.

"Bapak panggil saya? Ada apa?" Dengan sangat sangat terpaksa, aku memasang senyum malas.

"Kenapa terlalu formal? Biasanya juga sering blak-blakan. Jin kamu sedang jinak?"

Bola mataku merotasi kesal. Tangan dilipat di depan dada.

"Yaudah, cepetan. Mau bilang apa? Kerjaan aku banyak. Aku nggak suka lembur kek kamu," cerocosku.

Revan meletakkan kertas di tangannya ke atas meja. "Kenapa nomor saya kamu blokir? Masih masalah malam itu? Tentang permintaan saya?"

"Au ah gelap. Kalau nggak penting, aku keluar!"

"Mama ajak kita makan siang bersama. Bisa ikut, tidak?"

"Males."

Segera, aku bergegas keluar dengan jengkel luar biasa.

Aku masih tidak terima, sahabat baikku harus menjadi sangat jelek akibat pukulannya.

Sekarang, anggap saja ini balas dendamku. Karena jika seorang Revan dibalas dengan kekerasan, akhirnya nanti malah seperti malam itu.

Saat aku diperkosa olehnya.

*****

Mama dan Revan itu, dua manusia yang anti ditolak. Meski sudah ratusan kali aku mengatakan 'tidak' pada ajakan makan siang, tetap akhirnya aku harus duduk pasrah di depan sebuah meja yang sudah diisi penuh makanan.

Sisi hemat bicara Revan tidak berlaku saat di hadapan Mama. Setiap ucapan Mama, pasti akan ia timpali dengan senyuman manis.

Dasar caper!

Sementara aku duduk membisu. Ditanya, hanya diam. Bukannya tidak ingin menghormati Mama, hanya saja ... berhadapan dengan Revan itu sunguh-sungguh menjengkelkan. Ada api amarah dalam dada ini yang seketika meluap jika bertemu pandang dengannya.

"Kapan kalian punya anak?"

Oh Tuhan ... kenapa Mama harus menanyakan hal ini?

Punya anak? Anak bagaimana jika kami saja sudah seperti musuh bebuyutan hari ini?

"Secepatnya, Ma. Salwa mungkin agak stres sama pekerjaan, jadi agak sulit hamil."

Rasanya, garpu di tangan ini ingin kutancapkan pada leher Revan yang dengan sangat santainya mengeluarkan kalimat nauzubillah itu.

Bukannya apa, kasihan Mama jika nantinya sangat berharap memiliki cucu segera dari kami, sementara itu ... hampir mustahil. Kami tidak saling mencintai ... meski, aku dan dia pernah bercinta. Ah tidak, aku diperkosa.

Tapi, sekali tidak masalah, kan?

Astaga, kenapa aku jadi risau memikirkan ini? Bagaimana jika benar nantinya aku hamil? Mana tidak pakai pengaman lagi dulu.

"Benar kata kamu, Revan." Mama tersenyum lembut, kemudian tampak ia menunduk untuk merogoh sesuatu dari tas branded-nya. "Maka dari itu, Mama sudah menyiapkan tiket bulan madu kalian ke Bali. Salwa dari kecil pengen ke sana, kan? Tapi Mama tidak pernah sempat ajak kamu ke sana."

Kalau dulu, iya. Tapi kalau bersama dengan manusia menyebalkan ini, semangat berlibur langsung menguap begitu saja.

"Nggak usah, Ma."

"Loh, kenapa?" Mama bertanya.

"Nggak, Ma. Males aja."

Mendengar jawabanku, Mama memalingkan wajah ke Revan yang terlihat biasa saja.

"Salwa lagi PMS, Ma. Jadi ... ya begitu. Tapi nanti, biar saya yang bujuk dia," usul Revan, yang saat aku mendengarnya, rasanya ingin melemparkan garpu ini segera.

"Okey. Kamu bujuk, ya. Sekalian, Mama juga sudah pesankan kamar hotel yang cocok untuk kalian selama sebulan."

"Eh, sebulan?" Aku tidak dapat menahan lagi untuk tidak memekik mendengar ucapan Mama barusan. "Yang bener aja, Ma."

Mama tersenyum tipis, menampilkan sebuah lesung di pipi kanannya. "Namanya juga bulan madu, Salwa. Kalau cuman seminggu, ya namanya minggu madu."

Revan terkekeh pelan menanggapinya. Entah di mana unsur lucu itu.

"Tapi, aku kan baru masuk kerja, Ma," elakku.

"Kan banyak yang bisa gantiin kamu. Lagipula, yang dikatakan Revan tadi benar. Kamu itu terlalu stres. Kamu kan belum pernah kerja kantoran sebelumnya. Kalau stres, kamu susah hamilnya."

Seandainya Mama tahu, penyebab utama aku stres itu menantunya sendiri.

Namun, mengatakan itu rasanya cukup sulit. Melihat Mama yang sangat dekat dengan Revan, hampir mustahil Mama akan mendengarkanku.

"Ah, ya. Mama ada rapat. Kalian sambung saja makannya." Mama berdiri, kemudian mengecup pipi kananku. "Selalu bahagia, Sayang."

Hanya anggukan singkat yang aku berikan sebagai tanggapan. Tidak lama setelah itu, Mama berangsur pergi, menaiki mobil mewah yang entah apa merk-nya itu.

Selesai. Aku berdiri hendak beranjak, tetapi tasku seperti tersangkut di ... tangan Revan.

"Lepas!" pintaku.

"Bisa bicara, heh?" sindirnya.

"Kerjaan aku banyak."

"Okey."

"Lepasin, Revan!" pintaku, malas.

"Katakan dulu, kenapa kamu tiba-tiba jadi malas melihat saya?"

"Pas kamu nggak peduli sama aku, aku biasa aja tuh. Kenapa kamu malah protes banget kalau aku nggak mau liat kamu?"

"Kapan saya tidak peduli sama kamu?" tanyanya, dengan mimik 'pura-pura' berpikir, yang tampak menyebalkan.

"Ini ada kursi, loh, Rev. Kalau kamu amnesia, sini aku pukul kepala kamu pakai kursi."

"Itu KDRT loh, Salwa."

"Bomat. Biarin aku dipenjara, yang penting nggak ketemu kamu. Males."

"Okey." Nada suara Revan melemah, bersama dengan tangannya yang mulai terlepas dari sling bag milikku.

"Maaf, kalau permintaan saya malam itu membuat kamu tidak nyaman," ucapnya dengan sungguh-sungguh.

"Males ngingat itu. Lagian, aku tuh kesel gara-gara kamu yang seenaknya pukulin temen aku sembarangan. Kamu punya otak, nggak, sih? Dewa bahkan nggak punya salah apa pun sama kamu," gerutuku kesal.

"Dewa?"

"Temen cowok aku yang mukanya ganteng, tapi mendadak burik setelah kamu pukulin dia."

"Oh, karena dia?" Revan manggut-manggut polos. "Saya hanya memberi pelajaran sama dia, Salwa. Apa kamu tidak memperhatikan bagaimana dia memandang kamu saat itu? Apalagi kamu ... tidak tahu malu keluar malam-malam hanya menggunakan kaus putih tipis. Atau kamu memang sengaja mau mengundang laki-laki supaya deket sama kamu?"

Jleb.

Apa yang lebih menyakitkan bagi seorang wanita dari dihina kehormatannya? Apalagi oleh suamiku sendiri. Revan berbicara seakan sangat ingin merendahkanku, dan menyamakan diriku dengan wanita malam di luar sana.

"Ya. Aku emang nggak tau malu."

"Bagus kalau kamu sadar. Dan juga, tolong, jaga sikap kamu. Setidaknya di depan Mama kamu saja. Jangan bersikap seakan kita sedang masalah seperti tadi. Kita pura-pura akur hanya sementara saja. Kontrak saya dengan Mama kamu tinggal beberapa bulan."

Bersambung ....

Revan dan Adit.
Kalau cemburu, Revan langsung lampiasin ke si cowok. Gentle kalau menurut Pucil. Sementara Adit, malah ke istrinya. Pengecut menurut Pucil.
Tapi ... kalimatnya Revan selalu nyakitin. Sementara Adit ... nggak beda jauh sih. Tapi Adit tahu caranya minta maaf kalau merasa kata-katanya salah. Ya ... walaupun sih, gengsian juga :v

Ah ... anak-anakku, maafkan Pucil yang sudah membeda-bedakan kalian >_<

Es_Pucil
Si Kyut yang lagi ngantuk😪😪 seharian ini ngantuk mulu akunya😪

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro