Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 05

Cara menunjukkan rasa setiap orang itu berbeda. Beberapa malah menyembunyikannya, karena dua alasan: takut atau gengsi.
-Salwa-

"Papa ... Papa!"

Teriakan Vania terdengar dari luar kamar. Aku mengumpulkan semua sisa-sisa tenaga dan mendorong Revan. Memang tidak berhasil membuatnya menjauh, tapi setidaknya bibirku sudah bebas dari kuasanya.

"A --Adelia udah pulang," ucapku memberitahu. Deru napas kami masih belum beraturan. Aku mencoba lepas dari kungkungan tubuh besarnya, tetapi tidak bisa meski sudah mendorong dada Revan berkali-kali. "Lepas!"

Lelaki ini akhirnya menyingkir. Dia berdiri dan memasang kembali kemejanya yang sudah dijatuhkan ke lantai tadi. Sementara aku mengambil posisi duduk, memperbaiki posisi pakaian yang sudah tidak pada tempatnya.

"Kamu melewati kesepakatan kita. Kita itu cuman orang asing. Istri kamu cuman Adelia!" pekikku keras. Menghentakkan kaki dengan keras, aku melangkah keluar kamar.

Tepat setelah membuka pintu, Adelia sudah berdiri mematung. Sekilas dia melirikku, lalu ke dalam, dan kembali lagi padaku. Mendapat tatapan menginterogasi darinya, secara gugup tangan ini mengusap rambut yang mungkin sedikit berantakan.

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku drngan sengit.

Wanita di depanku ini melepas pandangannya, sehingga aku bisa segera pergi.

*****

Siang yang terik. Gerah menyiksa ketika aku menginjak pelataran rumah. Kaus oblong hitam yang membalut tubuh beberapa kali aku gerakkan untuk mengusir panas.

Pintu ganda dengan tinggi 2.5 meter berwarna putih gading aku dorong dengan kuat. Kemudian berjalan santai memasuki rumah.

Tujuan awal adalah ingin ke dapur, tetapi terhenti sejenak saat tidak sengaja menangkap sosok Mama di ruang tamu, sedang mengobrol dengan seorang pemuda. Entah siapa. Namun, saat pandangan kami bertemu, aku langsung terdiam.

Mata tajamnya sangat memukau.

Bibir merah mudanya. Astaga, sepasang benda kenyal itu bahkan lebih segar dibanding milikku.

Belum lagi kerangka wajahnya. Oh My God ... aku menemukan sosok 'cool boy' dalam dirinya. Sangat cocok dengan bayangan otakku yang penggila cerita wattpad.

"Salwa, ganti baju dulu, Nak." Itu suara lembut Mama.

Beberapa kali aku mengerjap, tersenyum canggung, lalu segera undur diri.

Sejak saat itu, aku selalu memikirkan dia. Bahkan, membuat cerita tentang dirinya. Meski, aku belum mengetahui namanya kala itu.

Nama pemuda itu baru aku tahu saat dia kembali berkunjung. Bukan untuk menyetor hasil pekerjaannya, tetapi untuk melamarku.

Perasaanku berubah bahagia. Sangat bahagia. Bahkan, aku tidak malu untuk menari, berjoget, dan menyanyi ... di dalam kamar.

Bahagia menguasai selama beberapa hari. Kami berkenalan. Kencan. Lalu menikah tiga minggu setelah lamaran.

Dalam waktu singkat itu, perasaanku semakin membumbung tinggi. Apalagi mengetahui sifat dinginnya yang misterius, memberikan rasa penasaran berlebih.

Namun, semua bahagia, ekspektasi, dan impian hancur di hari yang sama saat semua angan tercapai.

Setiap langkahku selalu diiringi dengan tetesan air mata mengingat kejadian dulu.

Ya ... hidup tidak akan seindah dunia wattpad. Di mana si pemuda dingin bisa dicairkan oleh gadis periang. Karena, bekunya dia selalu membuat otakku sulit mencari topik pembicaraan yang membuat kami bisa dekat.

Mataku menilik sekitar, lalu menyadari sesuatu.

Bodoh memang.

Keluar rumah tanpa membawa apa pun. Bahkan sekadar jaket untuk menutupi kaus putih ini. Sebagai gantinya, aku hanya memeluk diri sendiri melewati jalan perumahan yang mulai agak sepi.

Ini aku mau ke mana sebenarnya?

Entahlah.

Kakiku semakin lamban diayun, kala mata menemukan sebuah objek di mana beberapa kumpulan pemuda tengah duduk di pinggir jalan. Hanya ada dua pilihan sekarang; balik, atau lanjut.

Jika kembali, aku harus menemui keluarga menyebalkan itu lagi. Namun, jika lanjut ... aku tidak bisa menjamin mereka tidak akan menggangguku.

Beberapa saat aku mematung karena sibuk berpikir. Sampai, salah satu di antara mereka menoleh padaku, yang lain beberapa bersiul menggoda. Kan!

Tubuhku berputar ingin kembali pulang ketika pemuda yang pertama kali melihatku malah melangkah mendekat. Dari pakaiannya, sudah dipastikan mereka itu sebuah geng.

Tuhan ... selamatkan aku.

"Hei ... tunggu!"

Kan! Dia bahkan sudah berani berteriak. Aku bagaimana?

Setengah berlari, aku menghindarinya. Perasaan, aku belum terlalu jauh dari rumah.

"Berhenti! Sebentar saja!" teriaknya lagi.

Astaga, kenapa terus mengejar?

Rumah Revan mulai tampak. Tidak segan lagi aku berlari kencang. Terdengar suara langkah kaki cepat dari arah belakang.

"S --Salwa!"

Kegiatanku yang membuka gerbang, terhenti setelah mendengar suara bariton itu dari arah belakang. Dari mana dia tahu namaku? Perasaan semakin tidak enak.

Hentakan sepatu terdengar tepat di belakangku. Tubuhku mendadak kaku, sementara otak mencoba memikirkan serangan apa yang cocok diberikan jika dia berani menyentuh sedikitpun.

"Kamu Salwa, kan?" tanyanya.

Penasaran akan membunuhku jika tidak berbalik. Maka dari itu, dengan gerakan lambat, aku menghadap pemuda itu.

Satu detik ... dua detik ... tiga ....

"Dewa?" tebakku setelah beberapa saat mengamati wajahnya yang tampak tidak asing.

Dia tersenyum lebar, khas seperti dulu dengan sebuah lesung di pipi kanannya. Manis.

"Masih inget ternyata? Kirain udah lupa setelah nikah," sindirnya.

Aku tertawa. "Mana mungkin lupa lah! Lo nya kebanyakan ngutang sama gue. Gue sayang duit-duit gue!"

"Beneran ya ternyata kata orang. Cara mudah membuat orang lain mengingat kita adalah dengan meminjam uangnya," balas Dewa sebagai tanggapan.

"Nah! Itu tau! Bayar sekarang!" Telapak tangan menghadap ke atas, meminta.

"Oke-oke. Gue bayar lunas malam ini!"

"Eh--" Aku meringis saat Dewa langsung melingkarkan lengannya di leherku, menyeret hingga menjauh dari gerbang. "Ada tempat penjual ice cream deket sana."

"Eh, kok bayar pake ice cream sih? Gue maunya uang!"

"Utang gue cuman lima rebu, Sal. Yaelah!"

"Ya ... apapun itu, gue mau duit gue!"

"Udah! Jang kebanyakan bicara!" ucapnya tegas.

Meski diseret tanpa peripertemanan, setidaknya aku bisa menemukan separuh dari kebahagiaanku yang menghilang.

Dewa.

Teman SMA yang selalu memberikan contekan saat ujian. Satu-satunya yang ikhlas saat aku menyalin jawaban tugas yang diberikan guru. Yang pertama dan terakhir kalinya teman laki-lakiku yang selalu bersama saat masa putih abu-abu.

Akhirnya ... untuk pertama kali setelah kepergian Papa, aku tertawa bebas.

Dewa mendudukkan aku di salah satu kursi kayu, sementara dia memesan ice cream. Tanpa perlu memberitahu kesukaanku, dia pasti sudah hapal betul.

"Nih!"

Aku menerima sodoran Dewa, lalu bersiap hendak memakannya.

"Bibir kamu berdarah, Salwa. Itu kenapa?" tanya Dewa tiba-tiba.

Jari telunjukku memeriksa. Benar saja, sedikit darah menempel di jari. Aku mengusap bibir secara asal.

"Kegigit tadi."

Dewa ikut duduk di sampingku. "Kegigit sama suami, ya?"

Tingkat kepekaanku mendadak tinggi. Aku merasa ada yang aneh dari cara bicaranya yang mendadak tidak semangat.

Entah kenapa.

*****

Keesokan malamnya, aku kembali ke tempat penjual ice cream ini. Karena berdiam diri di rumah itu tidak ada gunanya. Hanya ada tatapan tajam dari Revan setiap kali bertemu, dan wajah menyebalkan milik Adelia. Belum lagi rengekan Vania. Kepalaku rasanya ingin pecah.

"Ke sini lagi?" seru seseorang, yang aku duga adalah Dewa.

Saat beebalik, aku memasang wajah ceria. "Huum. Ice cream-nya manis." Sejenak, aku memperhatikan wajah Dewa yang tampak berubah. "Muka kamu kenapa?" pekikku setelah tahu di wajahnya terdapat banyak lebam.

"Biasalah, anak cowok! Nggak seru kalau belum berantem."

"Emang dengan berantem kamu bisa buktiin apa? Buktiin kalau kamu cowok sejati? Apa gunanya? Apa dengan menyakiti anak orang kamu bisa dianggap cowok? Enggak, Wa!" gerutuku kesal.

"Ya ... gimana lagi?"

"Ada 1001 cara untuk menyelesaikan masalah, gak perlu sampe berantem gini. Kalau lo luka, bukan lo doang yang sakit--"

"Lo juga ngerasain sakitnya, Sal?" potong Dewa di saat aku masih mengoceh tadi.

"Enggak. Tapi lo pikirin lah perasaan Tante Hana liat anaknya cuman bisa berantem doang."

Dewa tersenyum tipis. "Seharusnya, ceramah lo tadi bukan buat gue." Ia menjeda sejenak. "Tapi buat suami lo."

Bersambung ....


Es_Pucil
Si mungil yang tumbuhnya ke samping, bukan ke atas.
Piye? >_< Godaan pisang goreng susah ditolak

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro