Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 04

Meski akhirnya dibuang, aku bersyukur karena pernah berarti dalam hidupmu.
-Salwa-

"Udah pulang, Revan?" tanyaku basa-basi saat melihat dia melewati pintu dapur. Kedua tangan ini dikeringkan menggunakan sapu tangan, lalu menghampiri lelaki yang tampak sangat lelah itu.

"Kenapa? HP kamu bermasalah?" Revan balas bertanya, dengan nada sinis.

"HP aku baik-baik aja. Malah tadi udah ngobrol sama Mama."

Mendengar jawabanku barusan, wajah Revan malah semakin datar. Ditambah garis rahangnya kian mengeras, dan bibir bertambah menipis.

"Makan malam dulu, yuk? Aku ada masakin makanan," ajakku untuk menghilangkan canggung yang beberapa saat lalu menguasai suasana di antara kami.

Tampak Revan terdiam, seolah menimbang-nimbang.

"Makanannya nggak ada racunnya, kok," ucapku memberitahu.

Bibir tipisnya semakin mengetat. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia melangkah masuk dapur. Di belakangnya, aku mengikuti sambil tersenyum simpul.

Tidak ada acara saling menyajikan. Aku makan sendiri, pun dia. Kami duduk saling berhadapan, tetapi hanya kebisuan yang ada. Kecuali dentingan sendok dan piring yang saling beradu.

"Adelia belum pulang?" tanyanya tiba-tiba.

Seketika, mood-ku yang awalnya bagus, kini jatuh sampai dasar. "Belum," balasku tak acuh sembari terus melanjutkan makan.

Nasi setengah piring di depanku sudah habis. Aku menyesap beberapa teguk air, lalu terdiam sejenak memperhatikan Revan yang masih makan dengan lahap. Meski tidak ada kalimat pujian atau terima kasih darinya, melihat lelaki dingin ini menerima masakanku saja, rasanya sudah bahagia tidak terkira.

"Revan, boleh kita membahas beberapa hal?" tanyaku hati-hati tanpa mengalihkan pandangan darinya, "tentang ... kita bertiga."

Sendok di tangan Revan berhenti di udara. Ia menilikku beberapa saat. "Bicara saja!" pintanya, lalu menyendokkan makanan itu ke mulut.

"Tentang kamu, aku, dan Adelia ... aku belum mengatakan semuanya pada Mama. Karena berpikir, ini urusan rumah tangga kita. Mama sudah pusing mengurus kerjaannya." Jeda sejenak saat aku mulai menjelaskan. "Kamu dan Adelia saling cinta. Keluarga kecil kalian ada di sini, dan aku ... hanya orang asing yang berada di tengah-tengah kalian. Mungkin, selamanya akan begitu. Aku akan tetap menjadi orang asing ... bagimu."

Masih kuperhatikan gerakan Revan yang tiba-tiba lambat, padahal tadi cepat dan lahap.

"Kamu urus keluargamu, aku urus diriku sendiri. Jangan ada yang saling mengganggu antara kita. Anggaplah antara kita dua orang yang tidak saling mengenal yang tinggal dalam satu atap," lanjutku.

"Kenapa?"

Entahlah, tapi satu kata pertanyaan dari Revan tersebut terasa aneh. Mata tajamnya tertuju padaku, dan aku sama sekali tidak mengalihkan pandangan darinya.

"Karena orang asing akan tetap orang asing dalam hidup orang yang sudah memiliki kekasih."

Setelah menjawab, aku mendorong kursi ke belakang, lalu berdiri.

"Tapi tetap. Aku akan menyediakan makanan jika sempat. Mencuci piring, mencuci baju, menyapu, dan lainnya. Anggap saja balasan karena sudah mengizinkan aku tinggal di sini sampai kita berpisah nantinya." Aku tercenung dengan kalimatku sendiri. "Ya ... kita akan berpisah. Cepat atau lambat. Karena aku hanya orang asing," lanjutku dengan suara lirih di bagian akhir.

Piring kotor bekas makan tadi, aku bawa ke dapur.

Setelahnya, tidak ada lagi pembicaraan di antara kami malam ini.

Mungkin sebaiknya memang begini.

*****

Dengkusan kesal keluar dari mulut saat kakiku baru saja menginjak lantai kantor yang pernah aku datangi dulu.

Tempat Revan bekerja.

Bukan tanpa alasan aku ada di sini. Awalnya, aku meminta pada Mama untuk memberikan pekerjaan. Karena bekerja sebagai penulis, dan terkurung dalam rumah itu tidak terlalu mengasyikkan. Namun, Mama malah memerintahkan aku bekerja di sini. Katanya, supaya bisa menjaga Revan dari wanita lainnya.

Saat mengetahui alasan Mama, rasanya aku ingin tertawa dan mengatakan padanya, "semua sudah terlambat, Ma. Dia sudah terikat dengan wanita lain." Sayangnya, rasa takut akan penyakit jantung Mama yang bisa kambuh kapan saja, mencegahku melakukan itu.

Tarik napas ... buang.

Stiletto putih yang mengalasi kedua kaki mulai mengetuk ubin secara teratur. Setiap kali mendapat sapaan, aku tersenyum hangat dan membalasnya.

"Selamat pagi, Bu Salwa ...," sapa seorang wanita yang usianya kuperkirakan 25 tahunan. Aura dewasa menguar dari wajahnya saat dia tersenyum.

"Selamat pagi," balasku. Sesaat menghentikan langkah demi menjaga sopan santun. Karena di sini, ada dua nama yang aku bawa.

"Bu Martha meminta saya untuk menunjukkan ruangan Ibu. Mari ikut saya," pintanya. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

"Eum ... aku boleh bertanya?" Gugup, aku ingin mengutarakan isi hati.

"Silakan, Bu."

"Apa wajib menyebut nama karyawati lain dengan embel-embel 'bu'? Aku tidak nyaman. Apalagi ... aku merasa Anda lebih dewasa dibanding aku --ah maaf, saya." Aku memukul kening sekali, karena tidak bisa berbicara formal dengan baik.

"Ini kan kantor, Bu. Apalagi Anda adalah anak dari pemilik perusahaan ini, dan juga istri dari Pak Revan. Tentu tidak akan sopan jika menyebut nama secara langsung," jelasnya.

Aku mencoba mengerti, dengan memberikan anggukan beberapa kali.

Wanita itu berhenti di samping sebuah meja, dan aku mengikuti. Tempat ini cukup ramai dengan puluhan pekerja lainnya.

"Ini tempat Ibu. Jika butuh sesuatu, silakan panggil saya, atau panggil karyawan lainnya. Mereka akan membantu," kata wanita itu.

"Terima kasih," balasku sembari tersenyum. "Ah, ya. Siapa namamu?"

"Kania."

"Baik. Terima kasih, Bu Kania."

"Sama-sama."

Selepas kepergian Kania, aku langsung duduk menghadap monitor. Beberapa tumpukan kertas di atas meja membuatku mengenyit. Apa ini tugas untuk pekerja baru? Yang benar saja!

"Pssst! Pssst!"

Suara bisikan entah dari mana. Mungkin untuk orang lain. Kedua bahuku terangkat tidak acuh, lalu mulai bekerja menurut pemberitahuan Mama kemarin.

"Bu Salwa."

Panggilan barusan membuatku langsung menoleh. Wanita dengan rambut panjang sampai dada, mengenakan kemeja cokelat dan rok pensil selutut berwarna hitam datang menghampiri.

"Ada apa?" tanyaku.

Wanita itu tersenyum lebar dan pindah duduk di kursi kosong di samping tempatku bekerja.

"Kamu beneran anaknya Bu Martha?"

Pertanyaan ambigu. Aku pikir semua orang tahu pasal itu.

"Iya." Aku menjawab singkat. Lalu fokus memeriksa isi lembaran kertas tebal di hadapan.

"Kalau beneran anak Bu Martha, kenapa nggak jadiin kamu CEO aja? Supaya si iblis betina itu langsung minggat dari sini."

Aku tersenyum tipis mendengar curhatannya yang menggebu-gebu.

"Bu Martha mempekerjakan seseorang menurut kualitasnya, bukan atas asal-muasalnya," jawabku menanggapi.

"Tapi ... ah kamu perlu melihat bagaimana kezaliman bos itu. Dia ... lebih kejam dari firaun. Bahkan aku curiga, dia itu keturunan Firaun."

"Jangan menuduh sembarangan."

"Enggak. Aku nggak nuduh, Bu Salwa. Dia beneran kejam kayak Firaun." Wanita ini menggerakkkan tangannya, seolah ingin memperjelas apa yang dia sampaikan. Mata sipitnya bahkan melebar saat mrngatakan itu.

"Dia bukannya kejam, hanya tegas saja. Itu kata Bu Martha."

"Dia kejam, Bu. Dan juga ..." wanita ini mendekatkan wajahnya. "Dia penggoda. Usianya sudah 30 tahun, tapi belum nikah. Makanya itu dia suka gangguin cowok-cowok di sini."

Aku mulai kesal dengan kalimat tuduhan dari wanita ini. Namun, demi menjaga attitude, aku tetap sabar.

"Biarin aja sih. Toh bukan masalah kita."

"Tapi, Bu ...." Dia tampaknya juga sudah mulai kesal. Mungkin karena merasa tidak mendapat tanggapan seperti yang dia inginkan. Begitulah pengadu domba. "Dia sering godain Pak Revan, suami Ibu."

Mataku langsung tidak fokus pada tulisan di kertas, untuk sesaat. Buat apa peduli?

"Biarin aja. Saya percaya sama suami saya."

Revan mau nikah lagi pun, aku bodo amat.

*****

Layar laptop menampilkan sederetan kalimat yang aku susun sejak dua jam yang lalu. Hasilnya lumayan, 1650 kata. Tinggal posting di grup kepenulisan. Ah ... bahagianya.

Namun, aku belum sempat menekan tombol 'kirim' saat suara pintu kamarku diketuk.

Malas, aku bangun daru posisi tengkurap. Sedikit memperbaiki letak kauh putih --aish! Mendadak aku teringat kejadian saat tidur di ruangan Revan seminggu yang lalu.

"Kalau luarnya putih, yang di dalam tidak usah terlalu mencolok."

Bahkan suaranya seperti benar-benar ada di sini.

Ingin mengganti baju, malas rasanya. Lagipula, dalaman aku warnanya hitam. Tidak terlalu mencolok, kan?

Ketukan pintu kembali terdengar. Aku buru-buru membukanya.

"Ada apa?" tanyaku langsung.

"Adelia belum pulang. Sudah seminggu."

Dahiku mengerut bingung. "Terus?"

"Saya boleh minta tolong sama kamu?"

"Ap ... a?" Suaraku nyaris hilang di bagian akhir saat Revan langsung bergerak maju.

Masuk ke kamar, tanpa repot dia menutup pintu dengan kakinya.

"Bagaimanapun, Salwa, kamu tetap istri saya," tutur Revan. "And I need you tonight."

Aku masih membatu saat Revan langsung mengurungku di antara kedua lengannya. "Maaf. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Hanya saat Adelia tidak ada saja, saya akan butuh kamu."

Rasanya ingin tertawa keras. Menertawakan takdir diriku.

Pertama, dia hanya butuh aku untuk memenuhi kebutuhan bilogisnya. Bukan menginginkan aku.

Kedua, aku di matanya seolah hanya sebagai ... istri cadangan.

Bersambung ....

Mumpung ada ide, lanjutlah :v

Untuk next part, bakalan lanjut kalau setidaknya udah ada minimal 60 komen yak :"
Makanya, kuy spam komen :*

Betewe, next part khusus 17+. Di sini gak ada kan yang usianya di bawah itu?

Eh, aku ya?😳😳

Sisa sebulan lagi kok, terus 17 :v

Au ah, gelap.

Oh ya, jangan lupa follow akun aku ya ^^ Karena membahagiakan author itu berpahala loh :v. Kalau author bahagia, siapa tau bisa cepetan lanjut :v

Es_Pucil
Si kyut yang lagi on the way tidur :v Ada yang mau dimimpiin? :v

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro