Cefirit: Cerita Tentang Diferensiasi Limfosit
CEFIRIT
Starred by:
—Algis & Sherin—
[Mikroba VS Makrofag]
"Kenapa harus ada stratifikasi sosial dalam masyarakat, sih?"
Algis melirik Sherin yang tampak bengong sembari memeluk lutut, mengamati rintik demi rintik hujan yang membasahi bumi. Kalau kata orang Sunda mah, lagi ngahuleng tarik. Ini, nih! Ini! Setan suka banget sama yang pikirannya kosong-kosong begini. Apalagi kepala Sherin emang kopong, otaknya ketinggalan di rahim Mama. Canda! No offense, yah. Salam damai!
Enggak tahu harus ngapain sambil menunggu hujan reda biar bisa lekas pulang ke rumah, Algis akhirnya memutuskan mencemplungkan diri ke dalam kubangan topik Sherin yang kelam macam tumpukan dosa. "Ya ... gimana, ya. Mau dengar jawaban pakai perspektif apa, nih? Soshum? Saintek?"
Dih, enggak jelas. Sherin malas menanggapi.
Meski begitu, Algis tetap ngotot melanjutkan kalimatnya. "Di Sosiologi, stratifikasi sosial ini erat kaitannya dengan teori konflik dari Karl Marx. Highlight utamanya ada di pertentangan antara kaum borjuis dengan proletar. Apa katanya? Suatu hari, kaum proletar akan menang sehingga melahirkan masyarakat tanpa kelas. Tapi apa nyatanya?"
Bjir, sejauh ini, ini yang paling jauh. Makin ke sana, makin ke sini. Sherin sempurna cengo. Kepalanya kini menoleh untuk melihat Algis yang bernafsu menjelaskan segalanya hingga menciptakan percik-percik hujan lokal. Sherin mengerjap cepat. "Kamu beneran mau linjur, ya, Gis? Sosio banget, tuh."
"Nyatanya, orang bilang situasi itu kayak negata utopia ... enggak mungkin ada masyarakat tanpa kelas." Sherin mengalihkan topik? Mana mau! Algis, kan, ahlinya menyetir arus perbincangan, bukan menyetir kepentingan partai. Eh, eh. Bahaya. Tahun 2024 di depan mata, nih. Sensitif!
Meski sebal karena pertanyaannya malah tak direspons sama sekali, Sherin hanya mengangkat bahu, malah menantang. "Kalau jawaban versi saintek-nya gimana?"
Algis menjentikkan jari dengan semangat. "Nih, ya, Sher! Jangankan manusia, dua sel yang sama-sama limfosit aja bisa berdiferensiasi jadi dua limfosit berbeda—sel B dan sel T—karena tempat pematangan yang berbeda, latar belakang yang berbeda. Enggak cuma itu. Kamu tahu, kan, keanekaragaman hayati itu dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan? Jangankan dua manusia berbeda, satu bunga hortensia yang membawa genetik sama sekalipun bisa menghasilkan warna bunga berbeda jika tumbuh di media tanam yang tingkat keasamannya berbeda. Apalagi manusia yang diversitasnya jauh-jauh-jauh lebih kompleks?"
Waw. Iya-in, deh, yang sekarang udah jago biologi! Sherin mengelus dagu, tertarik karena akhirnya Algis menggunakan bahasa manusia untuk menerjemahkan cocoklogi antara saintek dengan kelas sosial. "Kenapa Homo sapiens harus punya keanekaragaman gen yang tinggi, sih, kalau akhirnya cuma bikin jurang kesenjangan makin dalam? Emangnya Tuhan enggak tahu, ya, kalau orang-orang kayak aku gampang banget terperosok ke jurang itu? Udah enggak cakep, otak pas-pasan, akhlak banyak minusnya ...."
"Nah, itu sadar diri."
"Eh, Bangsul! Serius!"
"Serius, kok." Di saat Sherin siap melempar Algis hingga mencapai cincin Saturnus di luar angkasa sana, Algis justru masih memasang tampang seriusnya. "Coba bilang ke aku, Sherin ... bilang. Apa hal negatif suatu ekosistem kalau punya biodiversitas yang rendah?"
Waduh. Apaan, nih? Kuis dadakan? Sherin mendadak gugup, lantas menelan ludahnya susah payah. "Ehm, keanekaragaman yang rendah itu kurang stabil, rentan terhadap gangguan. Sekalinya terkena serangan hama atau penyakit, ekosistemnya pasti mengalami kerusakan besar-besaran ...."
"Exactly! Nyatanya, perbedaan emang enggak seburuk itu, kok, Sherin. Kalau semua manusia ini homogen, aku enggak punya alasan buat temenan dan terus terlibat di hidup kamu dengan berlindung di balik peran dari kata 'kebetulan'. Kalau semua manusia identik ...." Algis menjeda kalimatnya. "Ke mana lagi aku bisa bertanya soal 'kenapa harus kamu yang jadi orangnya'?"
Hai gaez! Cuma mau bilang, Mikroba VS Makrofag UDAH TAMAT YAWWW! HUREYYYY<3 Monggo dibaca🤩
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro