Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Dikejar

Pertemuan di rooftop dua hari yang lalu, membuat sikap Vijendra tiba-tiba berubah menjadi menyebalkan. Selalu saja memiliki seribu cara mengganggu Kanaya serta tim ahli gizi lainnya. Membuat mereka mengeluh serta heran pada Vijendra yang sekarang.

"Sumpah, ya. Rasanya capek banget! Emang rasa sambel buatan kita seaneh itu ya sampe bos sendiri yang turun tangan?" Mutiara mengembuskan napas berat, sebotol air mineral sudah habis sekali teguk.

Tim ahli gizi baru saja mendapatkan jam istirahat mereka setelah tiga jam di ruang uji organoleptik tentang sambal ikan yang akan diekspor nanti. Padahal menurut mereka nilai gizi tersebut sudah bisa dikatakan layak dikonsumsi. Cuma, Vijendra merasa bahwa sampel sambal tersebut belum layak dikonsumsi apalagi diekspor.

"Kalian ngerasa enggak sih? Kalau akhir-akhir ini sikap pak Vijendra aneh banget. Dulu dia enggak peduli tentang uji organoleptik, malah nyuruh pak Harris mulu buat ngawasin," ujar Ida memulai perghibahan tentang bos mereka sendiri.

"Bener banget. Semenjak Tio, Indah, sama Jenita dipindahin ke cabang lain, terus diganti sama karyawan baru, sikap beliau aneh banget," sahut Mutiara yang satu angkatan dengan Ida. 

"Kayak punya dendam pribadi enggak sih sama tim kita?" Riska ikut memulai perghibahan tersebut.

Kanaya hanya mendengarkan tanpa berniat ikut campur. Malah gadis itu lebih mementingkan perutnya yang belum terisi dari pagi, daripada harus menyahuti perubahan sikap Vijendra. Jujur saja, Kanaya merasa tidak nyaman diganggu terus-menerus oleh Vijendra. Dari mulai mengirimi makan siang kemarin, menunggu untuk pulang bareng, sekarang malah menyiksa dengan memberikan berbagai tugas.

"Jadi gini ya diganggu enggak jelas, bikin enggak nyaman. Mungkin ini yang dia rasakan pas dulu," ucap Kanaya pelan.

"Kamu ngomong sesuatu, Naya?" Ida menoleh menatap Kanaya, sedangkan Kanaya menggeleng pelan.

Hampir saja ia keceplosan. Setelah sudah menghabiskan makan siangnya, Kanaya izin pamit terlebih dulu ke lobi kantor. Ia sudah janji untuk bertemu dengan seseorang di lobi sana, tetapi baru saja ingin mencapai lift. Vijendra menghalangi jalannya, menyodorkan kotak beludru berwarna merah ke hadapan Kanaya.

Membuat Kanaya mematung sebentar menatapi kotak beludru tersebut. Bertanya-tanya apa isi yang ada di dalam kotak tersebut. Matanya tertuju ke arah Vijendra yang berdiri di depan sambil melemparkan senyum manis.

"Apa ini?" Kanaya bertanya, kebingungan melanda kepala melihat Vijendra yang menyodorkan kotak beludru itu. Kotak yang berisi cincin ataupun kalung biasanya.

"Buka aja," kata Vijendra memamerkan dereta giginya, kotak tersebut masih saja disodorkan ke hadapan Kanaya.

Rasa penasaran menyelimuti benak. Mau tidak mau, Kanaya mengambil kotak tersebut agar rasa penasaran dalam diri terbukti. Jantungnya malah berdebar tak karuan, takut yang dipikirkan menjadi kenyataan.

Namun, setelah kotak beludru itu terbuka. Kanaya mengerjapkan mata dua kali, mulut terbuka sedikit karena terkejut dengan isi dari kotak tersebut. Isinya benar-benar di luar ekspetasi Kanaya. Bukan cincin, anting, ataupun kalung yang berada di kotak itu. Melainkan gantungan kunci bergambar sapi.

Kanaya menatap ke arah Vijendra dengan satu titik; bengong. Kejutan dari laki-laki itu selalu di luar kepala, bahkan ekspetasi.

"Gimana suka, 'kan?"

Kanaya tak menjawab, ia malah terdiam menatap Vijendra. Rasanya ia ingin sekali memukul wajah laki-laki itu yang tengah menyengir tanpa dosa. Setelah ia membuka kotak beludru itu.

"Kenapa? Kamu pikir itu cincin? Apa kalung? Begitukah? Kamu berharap dapat itu?"

Lama saling terdiam, akhirnya Vijendra menembak pernyataan tersebut untuk Kanaya. Membuat Kanaya menghela napas kasar.

"Enggak, siapa juga yang berharap dapat itu. Lagi pula gantungan ini lebih menarik daripada cincin," tutur Kanaya.

"Syukurlah. Dulu kan kamu sering banget bilang, bahwa kamu pengen dibeliin gantungan sapi yang dua ribuan di depan gerbang sekolah waktu itu. Jadi, aku beliin kamu sekarang," jelas Vijendra dengan tatapan polos tertuju kepada Kanaya.

Mulut Kanaya terbuka lagi, buru-buru ia mengulas senyum tipis. Memang dulu ia menginginkan itu, mengode laki-laki itu agar mau membelikannya. Akan tetapi sekarang ia sudah tak menginginkannya lagi. Bahkan sudah lupa dengan kejadian itu. Sudah lima tahun berlalu, ya masa ia masih menginginkan gantungan bergambar sapi.

"Ternyata kamu masih inget ya, Vijen. Tentang kenangan itu," ungkap Kanaya menatap gantungan yang masih dalam genggamannya.

"Gimana aku bisa melupakannya, Nay. Kenangan itu terekam begitu jelas dalam pikiranku, bahkan sampai sekarang masih melekat."

"Kenapa enggak coba buat lupain?" Kanaya menatap Vijendra, keduanya saling menatap satu sama lain. Lalu buru-buru Kanaya membuang muka ke arah lain.

"Lupain? Kalau dari mulut sih kelihatan mudah, tapi pas mau ngelakuinnya sulit Nay. Apa lagi kamu itu merupakan gadis pertama yang ngejar-ngejar aku meski udah tertolak berkali-kali."

Kanaya hampir memejamkan mata merasa malu saat mendengar kalimat tersebut. Memang bodoh sih yang ia lakukan dulu. Bukannya fokus belajar, ia malah mengejar-ngejar Vijendra. Bahkan menembak laki-laki itu berkali-kali agar jadi pacarnya, tetapi malah penolakan yang didapat. Lucu dan malang sekali.

"Dan pada saat perpisahan sekolah, kamu kemana, Nay?" Vijendra melanjutkan ucapannya, merasa bahwa Kanaya yang sekarang lebih banyak diam.

"Aku menghindar dari kamu, Vijen."

"Menghindar karena apa? Padahal ada yang pengen aku sampaikan ke kamu, kamu malah keburu pergi."

"Karena kamu pacarnya Arawinda, kan emang Arawinda yang kamu lirik mulu," kata Kanaya, masih membuang muka ke arah lain, enggan menatap wajah Vijendra.

"Udah ah, kalau ngomongin masa lalu. Enggak akan kelar-kelar. Aku permisi!" Tepat saat Kanaya mengatakan itu, lift terbuka, Kanaya bergegas lari ke arah lift tersebut sebelum dihalangi kembali oleh Vijendra.

***

"Cupu amat lo! Masa ngasih cewek gantungan kunci. Ini zaman udah canggih kali."

Adam tertawa terbahak-bahak mendengar cerita dari Vijendra. Terlebih saat sang sepupu bercerita dengan wajah frustrasi. Padahal ini baru awal memulai mendekati seorang gadis, tetapi sepertinya Vijendra merasa sudah tak mampu lagi.

"Berisik! Enggak usah ngeledek!"

Tawa Adam memudar, wajah tampak memerah masih menahan tawa tersebut.

"Lagian lo ngasih gantungan kunci gambar sapi segala pake kotak beludru. Kayak mau lamaran aja, tahu-tahu cuma gantungan gambar sapi," kelakar Adam.

Tatapan sengin nan tajam yang Vijendra tuju untuk Adam. Sukses membuat Adam diam. Suasana dalam ruang kantor Vijendra terasa senyap secara tiba-tiba.

"Kanaya ngebahas Arawinda," ujar Vijendra. Tatapan mata kini tertuju ke arah jendela besar, tangan berada di atas meja sambil menopang dagu.

"Arawinda?" Adam menggali ingatannya kembali tentang nama itu, terdengar tak asing sekali. "Ah, si cewek gemoi di kelas Mipa 3? Kenapa sama Arawinda? Bukannya dulu kalian satu kampus juga?"

"Dia ngira gue sama Arawinda pacaran dulu. Makanya pas waktu perpisahan sekolah dia pergi."

"Lagian lo sih sok jual mahal, ditinggal pas lagi sayang-sayangnya sama Kanaya baru galau!"

"Tapi, lo beneran dulu pacaran sama Arawinda?" Adam menyelidik, sejauh ini ia belum pernah dengar bahwa Vijendra menjalin hubungan.

"Enggak. Ya kalau gue pacaran sama Arawinda, ngapain gue masih inget-inget kenangan gue sama Kanaya dulu, Saradam!"

"Iya juga, sih. Tapi saran gue ya, cewek modelan Kanaya enggak akan pernah luluh meski dideketin sama lo, coba lo deketin keluarganya. Kalau bisa lamar langsung aja, lagian umur lo udah tuwir."

Vijendra langsung melempar patung gajah berbentuk kecil, tetapi berat dan bisa meninggalkan bekas lebam kalau mengenai wajah. Dengan sigap, Adam menghindari lemparan tersebut. Sampai membuat patung itu terpental ke lantai hingga hancur lebur.

"Enggak ngaca lo! Umur lo juga sama, Saradam. Sama-sama tuwir!"

"Sekarang lo ngerasain kan gimana capeknya ngejar-ngejar orang yang kita suka, bahkan cinta?"

Vijendra menggangguk, menatap langit-langit ruang kantor dengan lekat. Ternyata lebih melelahkan mengejar orang yang sepertinya sudah berpaling dari kita, daripada menunggu kepastian dari orang yang kita harapkan. Seperti itulah suara hati Vijendra sekarang ini.

"Takdir Tuhan begitu lucu, dipertemukan dengan momen manis, dipisahkan dengan momen tak mengenakkan. Lalu pada saat kita ingin melupakan, justru Tuhan kembali mempertemukan dengan rasa yang berbeda; kecangunggan, tak nyaman. Benar-benar waktu yang salah."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro