Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Waktu itu di Kereta Pagi

Tuturu...tututuru...tuturu. Ponsel yang terletak di atas meja di samping bergetar sambil mengeluarkan bunyi alarm untuk membangunkan seseorang. Sebuah tangan meraba-raba hingga menemukan ponsel itu dan mematikan alarm.

"Huah, aku masih mengantuk." Gerutu seorang pria yang baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia melakukan peregangan sambil perlahan-lahan bangkit dari tempat tidurnya. Ia melihat jam melalui ponselnya yang menunjukkan waktu saat ini pukul 05:30. 'Masih ada cukup waktu, tapi aku bisa kesiangan jika tidur lagi.', pikirnya dalam hati dan dengan malas beranjak menuju kamar mandi untuk mandi.

Setelah mandi, ia kembali lagi ke kamar untuk memeriksa pesan yang ada di ponselnya. Isinya berupa pengingat akan adanya rapat, undangan makan bersama, dan pesan dari orang tuanya yang menanyakan kabarnya. Matanya terlihat bosan dan lesu hingga berhenti di sebuah mainan figure karakter dari anime yang ia tonton dulu. Ia tersenyum kecil mengingat betapa senangnya ia menontonnya, hingga mengumpulkan setiap merchandise dari seri tersebut karena kebetulan adiknya juga ikut menonton.

"Anak itu, bagaimana kabarnya sekarang ya. Terakhir kudengar, ia sudah mulai memasuki tugas akhir. Semoga lancar-lancar saja." Gumamnya sambil mengingatkan dirinya untuk menghubunginya nanti. Di samping hiasan tersebut terdapat sebuah bingkai foto. Pria itu meraih bingkai itu untuk melihatnya lebih dekat, kemudian ia tersenyum sambil mengingat kenangan masa lalunya yang berhubungan dengan foto ini.

Saat itu, pria tersebut masih duduk di bangku SMA. Dia adalah murid kelas 12 yang tengah bersiap menghadapi ujian nasional dan tes masuk perguruan tinggi. Setiap hari, ia selalu berangkat dan pulang menaiki kereta, karena letak sekolahnya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Walaupun ia mengendarai sepeda motor atau menggunakan transportasi seperti angkot dan bis, ia akan terlambat masuk kelas kecuali berangkat sehabis subuh.

"Hari ini penuh juga. Ya, namanya kereta pagi. Berangkat lebih cepat pun, aku tidak dapat tempat duduk." Pemuda dengan rambut hitam pendek dengan jaket bertudung menaiki kereta yang baru saja berhenti dengan tujuan akhir pusat kota. Sepertinya ia tidak mendapat tempat duduk lagi dan terpaksa harus berdiri. Ia tidak terlalu mempermasalahkannya dan memutuskan untuk membuka ponselnya sambil melihat-lihat posting medsos teman-temannya atau berita-berita baru. Setelah merasa tidak ada yang menarik, ia mengeluarkan earphone untuk mendengarkan lagu. Saat itu, ia menerawang penumpang-penumpang di sekitarnya. Ada pegawai kantoran yang berpakaian rapi, lengkap dengan jas dan dasi. Terlihat rambutnya sudah disisir dan diolesi gel. Terlihat sekumpulan mahasiswa yang tengah berbincang-bincang ramai tetapi ada temannya yang tertidur. Dan akhirnya berhenti pada seorang siswi SMA yang duduk di kursi seberang dari posisinya.

Siswi itu mengenakan pakaian SMA putih abu-abu yang sama dengannya, tapi bisa terlihat logo sekolahnya berbeda. Rambutnya diikat di bagian ujung bawahnya. Ia juga memakai kacamata. Di tangan kanan siswi itu ada segelas minuman hangat yang bisa dibeli di stasiun dan di tangan kirinya ada sebuah buku. Pemuda itu tidak bisa melihat sampulnya karena terhalang penumpang lain. Setiap hari pemuda itu memperhatikan siswi itu, dan setiap hari pula siswi itu duduk tidak jauh dari posisinya dengan membawa barang yang sama setiap hari.

"Hari ini pun, aku berada di gerbong yang sama dengannya. Padahal aku asal saja pilih gerbong, tapi entah kenapa selalu begini keadaannya." Pemuda itu tidak mendapat tempat duduk dan harus berdiri berdesak-desakan sementara siswi itu selalu mendapat tempat duduk. Mereka turun di stasiun kota, melewati lautan manusia yang bergegas mengejar aktivitas paginya. Seperti biasa mereka berdua adalah yang terakhir turun, menunggu semua orang keluar dari gerbong. Lalu kemudian keduanya berjalan menuju arah yang berbeda, karena pintu keluar menuju sekolah mereka pun berbeda. Pemuda itu tanpa sadar selalu menoleh ke belakang untuk melihat siswi itu pergi, dan siswi itu terus berjalan tanpa berhenti membaca bukunya. Kemudian, pemuda itu memperhatikan ada sesuatu di dekat kakinya. Dia menunduk untuk mengambilnya. Ternyata benda itu adalah pembatas buku.

"Pasti miliknya. Aku kembalikan besok saja kalau ketemu. Sekarang bisa telat nih." Jawabnya santai sambil mempercepat langkahnya menuju sekolah. Namun pada hari-hari berikutnya, ia justru tidak berada di gerbong yang sama dengan siswi itu. Ia mencoba menunggunya setelah turun dari kereta, tapi ia tidak melihat batang hidung siswi tersebut.

"Kok dia tidak ada ya? Seharusnya jam berangkat kita kan sama. Bagaimana mengembalikannya?" Begitu pikirnya, hingga ia bertanya-tanya kenapa ia merasa harus mengembalikan pembatas buku tersebut.

"Apa aku hanya mencari alasan saja agar bisa bertemu? Ah tidak, tidak. Perasaanku saja." Kata pemuda itu sambil melihat judul bukunya melalui pembatas buku itu.

"Wah, bukunya ternyata novel misteri. Tampangnya tidak kelihatan seperti itu." Menurut pemuda itu, gadis itu selalu memasang ekspresi yang datar ketika membaca, padahal buku yang dibaca gadis ini ceritanya bagus.

"Mungkin aku bisa mengajaknya bicara soal cerita-cerita fiksi yang kukenal." Begitu pikir pemuda itu memikirkan scenario jika ia bisa bertemu siswi itu.

Sebulan telah berlalu, dan hari itu hujan turun dengan deras. Dengan basah kuyup, pemuda itu berhasil mengejar kereta pulang. "Hampir saja. Bisa-bisa aku sampai rumah kemalaman." Ucapnya lega sambil mencari tempat duduk. Sebenarnya ada bangku kosong di dekat tempat ia masuk, tapi sadar bahwa sekujur tubuhnya basah, ia memilih tetap berdiri. 'Berdiri lebih cepat kering, menurutku.' Begitulah pendapatnya. Sampai ia melihat siapa yang duduk tepat di depannya. Siswi itu. Kali ini ia mengenakan jaket tebal sambil memakai masker. 'Mungkin ia sedang flu.' Begitu pikirnya. Dan kemudian ia ingat akan barang yang dulu ingin dikembalikannya. Ia mengumpulkan keberaniannya untuk menyapa siswi itu dan mengembalikan pembatas bukunya.

"Anu...permisi..." Sapanya dengan hati-hati. Siswi itu menyadari kalau ia dipanggil dan menoleh ke arah pemuda itu.

"Ya?" Tanyanya dengan suara sedikit serak.

"Um, ini. Kurasa ini milikmu. Aku menemukannya di stasiun kota." Pemuda itu menunjukkan pembatas buku yang selama ini dibawanya. Siswi itu terkejut melihatnya dan menggenggam tangan pemuda itu.

"Terima kasih! Aku kira pembatas ini hilang. Saat tiba di sekolah, aku tidak bisa menemukannya. Pasti jatuh saat turun dari kereta. Terima kasih!" Siswi itu berterima kasih dengan senang pada pemuda itu, dan rona wajah pemuda itu sedikit memerah karena tidak menyangka siswi itu akan bereaksi seperti itu.

"Ahaha, bukan apa-apa. Tadinya aku berniat mengembalikannya keesokan harinya, tapi aku tidak bisa menemukanmu. Menunggu di stasiun pun kau tidak ada. Jadi, kuputuskan untuk membawanya sampai bisa bertemu denganmu." Sambil menenangkan dirinya, pemuda itu menjelaskan situasi bagaimana ia bisa menemukannya hingga ia mengembalikannya.

"Oh! Maaf, aku sedang sakit. Jadinya, aku tidak pergi sekolah selama sebulan ini. Sekarang pun aku belum pulih, tapi kuputuskan untuk sekolah karena aku tidak mau ketinggalan pelajaran." Siswi itu meminta maaf sambil menjelaskan alasan mereka tidak bertemu.

"Pantas saja. Oh, tapi rajin sekali ya kamu. Belum sembuh tapi sudah memikirkan sekolah. Kalau aku sih, lebih baik menunggu sampai benar-benar sembuh. Tidak ada materi yang bisa diserap kalau tubuh belum fit." Ujar pemuda itu sambil memberikan nasehat.

"Kurasa kau benar, aku sebaiknya tidak memaksakan diri. Tapi, aku sudah kelas 12. Sebentar lagi ujian. Aku tidak bisa santai-santai." Balas siswi itu.

"Ah, berarti kita sama ya." Ucap pemuda itu sambil menggosokkan tangannya.

"Eh? Kau juga kelas 12? Dari SMA mana?" Tanya siswi itu.

"SMA 4. Kamu?" Jawab pemuda itu singkat sambil bertanya balik.

"SMA 1." Jawab siswi itu dengan singkat juga.

Perjalanan sesudah itu lebih sepi. Mereka tidak berbicara lagi karena mungkin tidak ada yang dibicarakan. Kemudian, kereta berhenti di stasiun tempat tinggal pemuda itu. Siswi itu tetap duduk, berarti ia tinggal lebih jauh.

"Ah, sudah sampai. Aku turun duluan ya. Cepat sembuh. Dan hati-hati dengan barang bawaanmu." Pemuda itu turun dari kereta sambil mengangkat tangannya sejenak untuk pamit.

"Iya, terima kasih atas sarannya. Kau juga hati-hati." Kata siswi itu sambil membalas dengan melambaikan tangan. Jantung pemuda itu berdegup sedikit lebih kencang dan mengangguk. Kemudian kereta itu berjalan kembali.

"Wah, tak disangka aku malah bisa bertemu lagi saat pulang sekolah. Tapi dia itu...kalau dipikir lumayan juga. Hehe." Ucapnya sambil berjalan pulang meninggalkan stasiun.

Seiring berjalannya waktu mereka cukup sering bertemu di gerbong kereta. Kadang saat berangkat sekolah, kadang saat pulang sekolah, atau bahkan berangkat dan pulang. Saat di kereta pun mereka sering sekali membicarakan hobi mereka masing-masing. Si Pemuda senang sekali main video game dan musik, tapi di waktu senggang dia lebih banyak membaca buku. Bersiap untuk ujian, begitu katanya. Si Siswi selalu senang mendengarkan cerita-cerita si pemuda, yang menurutnya berupa angin segar dari penatnya pelajaran-pelajaran yang bertumpuk. Saat memasuki masa ulangan akhir semester, keduanya saling tanya jawab materi sambil menunggu tibanya kereta di stasiun. Pemuda maupun siswi sama-sama senang bisa menemukan teman seperjuangan untuk mencapai tujuan mereka.

Pada akhirnya tibalah saat penentuan, ujian nasional. Keduanya sama-sama belajar di gerbong kereta lagi seperti biasa. Tidak ada yang menawarkan diri untuk belajar bersama karena kebetulan jadwal mereka masing-masing pun padat sekali. Sehingga waktu mereka bertemu di kereta merupakan waktu yang berharga bagi keduanya. Selang beberapa hari, ujian nasional berakhir. Dan fokus seluruh siswa kelas 12 berpindah ke persiapan masuk perguruan tinggi. Hari itu keduanya memutuskan untuk pulang bersama lagi.

"Jadinya kamu mau masuk Universitas apa?" Tanya pemuda sambil memakan roti coklat yang bawa.

"Universitas di provinsi sebelah. Di sana ada jurusan yang kuinginkan dan aku ingin sekali merasakan tinggal mandiri." Jawab siswi sambil meminum jus.

"Hm, begitu ya. Berarti mungkin kita tidak akan ketemu lagi setelah ini." Pemuda menimpali sambil mengungkapkan kekecawaan.

"Kenapa?"

"Aku berencana kuliah di kota ini. Universitas di sini juga termasuk yang terbaik. Dan aku lebih tenang jika bisa tetap di sini. Ibuku dan adikku berharap sekali aku tidak sekolah jauh-jauh."

"Jadi, selain karena maumu, juga karena keluarga begitu?"

"Yap."

"Hmm, oke."

"Kenapa? Kau sepertinya tidak senang."

"Yah, bagaimana ya. Ujian nasional sudah selesai, berarti kita tidak harus selalu ke sekolah tiap hari seperti dulu. Dengan begitu, kita tidak bisa ketemu di kereta ini lagi." Jawabnya siswi itu dengan sedih.

"Hei, jangan membuatku jadi merasa bersalah karena membuatmu sedih dong. Aku kan hanya ingin tahu supaya aku bisa mendoakan keberhasilanmu."

"Tidak kok, aku tidak sedih." Siswi mencoba untuk tidak terlihat akan menangis. Perjalanan kereta yang cukup lama ini membuat keduanya memohon agar kereta ini tidak kunjung tiba di tujuan, karena mereka tidak mau segera berpisah.

Pada saat kereta berhenti di stasiun sebelum stasiun tempat tinggal pemuda, siswi memutuskan untuk turun. Tanpa sadar pemuda itu ikut turun juga. Hal ini mengejutkan siswi.

"Kau kenapa turun di sini? Stasiunmu seharusnya satu lagi kan?" Siswi bertanya keheranan akan tindakan pemuda.

"Aku yang harusnya tanya dulu. Kamu kenapa turun di sini? Tempatmu kan masih jauh." Pemuda tidak mau kalah.

"Aku ingin mencari sesuatu di sini. Selagi aku ingat." Jawab siswi.

"Mau kutemani?" Pemuda menawarkan.

"Eh? Tidak apa-apa nih?" Siswi bermaksud memastikan tawaran pemuda.

"Lagipula kereta berikutnya masih lama. Barang yang kamu cari tidak jauh kan?"

"Iya. Hanya di luar stasiun kok." Keduanya lalu berjalan menuju sebuah toko cindera mata. Di dalamnya terdapat berbagai jenis cindera mata, seperti mug, gantungan kunci, kalung, dekorasi ruangan. Pemuda merasa kagum pada toko cindera mata yang memiliki variasi banyak. Siswi langsung mencari barang yang diinginkannya dan lalu membawanya ke kasir. Pemuda melihat sebuah gelang warna-warni yang bagus. Ia berpikir untuk memberikannya pada adiknya sebagai hadiah. Dia pun membawanya ke kasir untuk membayar dan pergi keluar dimana siswi tengah menunggu.

"Kau membeli sesuatu?" Tanya siswi sambil memeluk tas berisi barang yang ia beli.

"Ya. Kamu? Apa yang kamu cari ada?"

"Anu...ini untukmu. Hadiah dariku." Siswi tidak menjawab pertanyaan pemuda dan memberikan barang yang ia beli.

"Apa ini?"

"Coba kau lihat sendiri." Pemuda mengeluarkan isi tas tersebut. Isinya adalah kotak plastic yang berisi figure anime kesukaannya. Ia tidak percaya bahwa siswi mau memberikannya hadiah seperti ini.

"Hadiah itu, aku ingin kau jadikan sebagai pengingat akan diriku. Hari-hari yang kita lewati bersama di kereta, cerita-ceritamu yang membuatku tertawa, setidaknya ini yang bisa kuberikan sebagai rasa terima kasih. Terima kasih, sudah menjadi teman seperjuanganku." Kata siswi sambil tersenyum.

"Kalau begitu aku juga, ini untukmu." Pemuda memberikan gelang warna-warni yang ia beli tadi. "Mungkin tidak seberapa dibanding hadiahmu. Tapi, tidak apa-apa kan?"

"Um! Aku akan simpan ini baik-baik." Sepi. 1 detik. 5 detik. 10 detik. Hingga akhirnya pemuda angkat bicara. "Suatu hari nanti, kita ketemu lagi di sini ya. Setelah kita lulus kuliah. Di tempat ini. Bawa hadiah kita masing-masing, sebagai bukti bahwa kita masih salin mengingat satu sama lain."

"Janji ya?" Siswi mengangkat kelingkingnya dan pemuda mengikatkan kelingkingnya pada kelingking siswi itu. "Janji". Keduanya lalu masuk lagi menuju stasiun, lalu tiba-tiba berhenti dan mengucapkan nama mereka untuk pertama kalinya pada masing-masing.

"Namaku Tari." "Aku Aris." Keduanya kaget karena mereka mengucapkan hal yang sama bersamaan. Kemudian mereka tertawa bersama sambil menunggu kereta pulang.

Kembali ke waktu sekarang, Pria itu, Aris masih menatap bingkai foto itu lama sekali sambil larut dalam nostalgia. Hingga panggilan seseorang membuyarkan lamunannya. "Pak! Sudah bangun belum? Ayo sarapan nanti telat!" Panggil seorang wanita dari luar kamar.

Tersadar kembali, Aris segera berpakaian dan menuju ke sumber suara. "Iya, sebentar bu! Lagi siap-siap nih!" Aris tidak lama kemudian selesai berpakaian lalu keluar untuk sarapan. Di bingkai foto yang ia lihat tadi, berisi foto Aris dan Tari berdua dengan tulisan di bawah foto itu, 'SELAMAT ATAS PERNIKAHANNYA, ARIS DAN TARI!'

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro