Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

WAITING FOR YOU

Title  :  Waiting for You
Author : Ravenura
Cast : Kim Myungsoo (L) Infinife, Suzy
Genre : Angst, surreliasme, fantasi, drama, romance
Lenght : One Shot
Rate : PG-15
Disclaimer : Cuma pinjam nama. Murni rekayasa penulis sambil menikmati euforia comeback INFINITE setelah ljma tahun hiatus wamil. I am back fo you, my muse! Sekalian untuk menyemangati diri yang mager menulis belakangan ini dan iseng ajak-ajak teman LEWAT COMMUNTY menulis fanfiksi Korea.

Happh reading, all.


Musim semi kembali merekah, bersama kelopak-kelopak putih bunga sakura yang memenuhi sepanjang jalan. Di kota tenang bernama Hadong, seluruh tubuhku diisi oleh angin dari Jirisan.

Jejeran gunung yang tenang, misterius dan tidak terjangkau. Aku memenuhi pemandangan alam itu penuh-penuh. Namun, mataku belum kenyang dengan pemandangan yang jarang sekali dilihat di kota Seoul.

Suguhan alam yang tidak bisa dibayar dengan uang sebanyak apapun. Ironis memang. Jumlah uang maupun popularitas tidak pernah bisa disandingkan dengan hati yang sesak.

Aku beruntung bisa berhenti sejenak sambil melihat pemandangan indah. Sayangnya, masih seminggu lagi untuk mencapai puncak musim sakura. Kusyukuri saja angin yang berembus lembut sambil bersenandung pelan.

Namun, tidak bisa.

Seseorang di tepi jembatan sedang memeluk sebuah bingkai. Pandangannya semakin kuyu saat menatap jalan yang penuh lalu lalang kendaraan. Seminggu lagi, jalan utama itu akan ditutup pemerintah, difokuskan agar wisatawan domestik berkunjung menikmati mandi kelopak bunga.

Aku mendekat tanpa suara ke sosok yang bersedih itu. Prihatin karena dia satu-satunya orang yang memiliki ekspresi paling suram. Ini hari yang indah, tetapi rasanya mengganjal ada pengunjung bersedih.

"Halmoni (Nenek)." Aku memanggilnya.

Dia menoleh ke samping, lalu mendekap lebih erat bingkai foto. Seolah tidak ingin benda persegi itu jatuh. Bibirnya terkatup rapat, tetapi seluruh tubuhnya bergetar hebat.

Aku agak menyesal turut ikut campur demi mengajaknya bicara. Seharusnya aku abai dan membiarkan pikirannya berkelana sendiri.

Sudah cukup bagiku untuk untuk merasakan penat sepanjang 30 tahun di kota yang sibuk. Menghadapi tekanan pendidikan sehebat-hebatnya, lalu pada akhirnya terjebak sebagai budak korporat sepanjang hari selama tujuh tahun terakhir. Masa muda yang semu karena aku tidak punya kenangan apa-apa selain lega akhirnya lulus kuliah dan mendapat telepon lamaran pekerjaan diterima.

Kota yang indah. Andai punya waktu luang, aku ingin menikmati zipline terpanjang se-Asia dalam tiga menit. Menikmati udara, laut, hutan, dan kota Hadong sepenuhnya.

"Hari yang indah." Dia berkata seraya menghela napas panjang. Kuakui, aku bersyukur dia mau bicara daripada menatap kosong ke sisi jembatan.

"Anda benar, Halmoni. Sekarang waktu yang tepat untuk piknik bersama keluarga. Menggelar tikar, membuka bekal berupa kimbab, serta tidur siang sambil menikmati angin. Akan bagus lagi kalau hujan bunga."

"Kalau saja bisa." Nenek tua itu kembali menghela napas.

Rupanya tekanan batinnya terlalu besar sehingga dia sulit untuk tersenyum.

Aku mengamati lebih saksama. Ada seberkas cahaya memantul dari kedua bola matanya. Aku mengerling ke atas. Tidak ada matahari. Sama sekali tidak ada jejak putih kapas ataupun biru bersih. Hanya ada gumpalan pekat berwarna kelabu sebagai payung kota Hadong. Tidak lama lagi kita kecil itu akan diguyur hujan deras.

"Aku ingin berkumpul lagi."

"Telepon saja. Mudah, kan?" Aku terkekeh pelan.

Sejujurnya aku akan prihatin dengannya. Kalau saja aku punya tikar dan bekal, nenek tua itu akan kuajak piknik berdua. Hitung-hitung acara healing tidak terduga. Siapa tahu, kenangan itu akan membekas selamanya untukku. Akan lebih menyenangkan bertemu orang baru dengan kisah-kisah di luar jangkauan. Berbagi pengalaman meskipun nenek tua itu tidak terlihat menyakinkan. Mungkin, satu dua kata dariku untuk menemaninya akan mengurangi kesedihan berkepanjangan yang dia alami.

"Tidak bisa." Dia tersenyum tipis.

Aku bersyukur. Benar-benar lega dia bisa tersenyum. Kuharap dia bisa tertawa lebar sambil menyampaikan lelucon-lelucon menyenangkan.

"Waeyo, Halmoni? Apakah mereka membuang Anda di masa tua?" Pertanyaan yang sarkas dan aku dengan seenaknya bicara. Lalu aku menampar mulutku sendiri agar hati-hati bicara, tetapi dia berhenti berguncang.

"Kita tidak bisa berhubungan sepanjang waktu. Aku selalu lupa karena sibuk." Dia menjawab seraya menarik napas dalam-dalam.

Semakin kuperhatikan, tarikan dan pembuangan napasnya sama panjangnya. Sama teraturnya. Seakan dia mencoba untuk berdamai dengan keadaan.

Nenek yang malang, aku bergumam.

"Kenapa?"

Ayolah, kenapa aku harus mengurusi orang lain. Otakku tidak sinkron dengan hati. Sebagian dari diriku ingin enyah tanpa menyakiti perasaannya. Sebagian yang lain, ingin bicara. Namun, bukan begini caranya. Aku ingin ikut campur tetapi mencampakkan pada akhirnya. Bukan ini yang kumau. Aku ingin sama-sama mengobati kelelahan batin satu sama lain.

Hash…. Aku bertemu orang yang salah di momen yang ingin kusyukuri. Bagaimana nanti kalau dia tambah bersedih usai percakapan mendalam sepihak ini?

Dia masih menatapku, sama sekali tidak terpengaruh dengan suara renyah dari tamparan bibir. Padahal mulutku sudah terbakar kesakitan.

Wajahnya kini menunduk ke pigura. Dia menatap penuh damba dan rindu. Air mata yang ditahan telah meledak dalam haru biru yang menyayat. Tangannya meraba sosok dingin tanpa ekspresi di dalam bingkai.

"Oh, kekasihku. Sudah 50 tahun kita tidak bertemu. Mengapa aku masih bertahan di dunia ini? Aku bahkan terlalu sibuk berjuang, sampai lupa hari ini di antara banyak hari-hari musim indah. Di sini kau menungguku, di sini pula aku enggan datang."

Aku tetap diam. Abai pada penuturannya. Kedua mataku benar-benar terkunci pada potret muda yang didekap oleh nenek tua. Aku tertarik dengan wajah yang tidak asing.

Wajahku.

Lalu siapa perempuan ini?

"Aku takut mengingatmu. Takut hancur lagi. Kau yang gigih mengajakku piknik di sini, justru mati mengenaskan di depan mataku. Aku takut untuk hidup dalam kegelapan tanpamu. Sekarang, aku tidak takut apa-apa. Aku ingin pergi bersamamu, Kim Myungsoo."

Hah, itu namaku.

Kenapa dia punya wajah dan namaku? Apakah ini kebetulan?

Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Mengamati kota yang terlihat tua dan terpinggirkan.

Siapa wanita ini? Aku sama sekali tidak mengenalnya.

Aku telah mengembara ke segala arah, menikmati setiap keindahan kota demi kota. Namun, sudah cukup lama bagiku bertahan di Seoul untuk bekerja.

Rasa sakit menghunjam telak kala dia tersedu-sedu memeluknya.

"Halmoni, apakah itu kakekku? Ayahku? Apa yang terjadi?" Aku berteriak kencang dan mengguncang tubuh rentan itu. Namun, dia sama sekali tidak bergerak dalam cengkeramanku. Justru bergerak dengan sedu sedannya sendiri.

Aku kembali menyentuh bahunya dengan tekanan kuat, tetapi dia tidak tersentak tegak berdiri seperti yang kumau. Dia semakin merunduk sambil mendekap pigura itu.
Apa-apaan ini?

"Aku membesarkan Seri dan Sewon dengan baik. Mereka bahagia dengan keluarga kecilnya. Sekarang, jemput aku, Myungsoo-ya." Nenek itu kembali berkata. Terus meratap. "Anak-anak kurang ajar. Susah payah kubesarkan, tetapi memilih pindah mengikuti pasangan masing-masing. Kenapa tidak ada satupun orang bicara padaku? Aku takut dengan vonis dokter. Kanker sialan itu. Kenapa tidak satupun mau tahu keadaan ibunya yang sekarat? Kenapa tidak ada yang menghiburku?"

"Halmoni, aku di sini?" Aku menunjuk diriku sendiri.

Ribuan panah basah jatuh dari langit. Dengan seketika perempuan renta itu basah kuyup. Dia masih duduk bersimpuh dalam duka yang sengaja ditimbun sekian lama. Kini telah meluap tanpa bisa dicegah karena nenek tua itu membiarkan dirinya banjir kenangan lamanya.

Aku menyentuh tubuhnya, bermaksud mengajaknya berteduh di sebuah kafe tidak jauh dari tempat kami berdiri.

Namun, aku tidak bisa merasakan apa-apa. Seluruh tubuhku tembus terawang.

Apa yang terjadi?

Aku menyentuh udara kosong di mana seharusnya itu pundak manusia.

"Halmoni, apa-apaan ini?" Aku bicara padanya penuh tuntutan. Panik pada tubuhku sendiri.

"Di sini, kau ingin liburan sambil merayakan 1 tahun si kembar. Di sini pula, kau pergi dari kami. Aigoo, kenapa kau tidak bawa aku sekalian pada kematian. Sekarang jemput aku, Myungsoo-ya. Apa kau ingat aku di sini, Bae Sooji?"

Aku berkedip. Tersihir oleh nama itu. Sakit yang menancap dari seluruh tubuh. Kurasakan aliran darah membeku seiring kerut wajah tua yang memuai. Memamerkan seraut wajah familiar itu. Nenek tua itu dulunya cantik rupawan. Memiliki dua bola mata besar penuh kemurnian serta senyum manis yang anggun.

Dia menua didera kehidupan berat.

Apapun masalahnya, dia berjuang untuk hidup seperti yang dikisahkan sendiri.

Itu fotoku. Dia bahkan bicara sendiri. Aku salah paham mengira kami bicara dua arah. Dia tidak mendengar atau mengetahui eksistensiku hari ini.

Perasaanku ikut tercabik-cabik menyadari kenyataan sesungguhnya.

Aku telah mati dan kini aku hanyalah roh bergentayangan menanti urusan yang belum selesai.

Nenek tua itu, istriku. Menanti kujemput agar tiba bersama di alam baka. Apa yang harus kulakukan agar dia bahagia?

Aku mengerjapkan kelopak mata. Merasa bodoh bukan main dan kini, bersama deru hujan yang panjang. Kudengar derap kaki menuju Sooji. Payung dan selimut menaunginya, seiring wanita muda memeluk ibunya.

"Eomma, kau pergi tanpa kabar. Seharusnya beritahu aku di mana kau pergi. Dua hari tanpamu, aku takut, Eomma." Si kembar mana yang dimaksud, tetapi aku gagal menyentuh puncak kepalanya.

Anakku, yang bahkan beberapa kali kugendong karena aku jarang berada di rumah saat awal pernikahan kami. Aku terlalu sibuk bekerja dan mengeluh penat di kantor sepanjang hari. Tidak tahan ada di rumah yang berantakan. Sooji tidak akan pernah sanggup membersihkan rumah karena mengurus dua bayi seharian.

Aneh sekali. Sakit yang kurasakan tidak sedalam saat menyadari si nenek tua itu istriku.

"Jangan ulangi lagi, menghilang tiba-tiba, Eomma. Ayo pulang ke Seoul, Eomma. Biarkan Appa tenang di sana. Kita pasti bertemu kelak di surga. Eum?" bujuk wanita itu membekap ibunya.

Mata itu, mata yang mirip denganku. Aku mewarisi wajahku di wajah anak itu. Aneh sekali ada yang mirip denganku. Hanya saja dia versi perempuan.

"Eomma harus pergi, Seri-ya."

"Jebal andwaeyo, Eomma! Jangan pergi tinggalkan aku. Kau harus kembali ke rumah sakit. Mari selesaikan pengobatanmu dan kita akan piknik seperti keinginanmu. Aku dan Sewon janji akan piknik bersamamu, eoh?"

"Kau tahu dari mana?"

"Dokumen medis di meja. Kau pikir aku tidak tahu?"

Kedua orang itu menangis terisak-isak dalam guyuran hujan. Bersama kepingan tubuhku yang semakin transparan. Bersama embusan musim semi, aku terseret semakin menjauh. Bersama gumpalan kepedihan yang besar.

Aku akan berkelana lagi, menunggumu, Bae Sooji. Maafkan perangai burukku, yang suka memenuhi hati untuk diri sendiri. Bukan saatnya kau mati, tapi akan kujemput kau di manapun kau berbaring terakhir kalinya. Pada hari itu, aku akan kembali.

Selesai

Banyuwangi, 13:37 WIB
Untuk hati yang merindu masa-masa itu, tetapi takkan mampu bersama lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro