Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Menunggumu Pulang Sekolah


Bubaran sekolah sudah tiba. Aku menyeret sepeda dari parkiran, sengaja berhenti di samping gerbang sekolah sambil menunggumu.

Kulirik sepeda onthel bewarna putih yang masih terpinggir di tempatnya. Aku sadar seharusnya tidak perlu menoleh hingga menyadarkanmu. Kamu beserta satu kawan itu melambai sampai jumpa, lalu menarik setang sepeda dan memutarkan rodanya sambil mengayuh keluar parkiran sekolah, melewatiku dan melengang ke jalan raya.

Kuhempaskan satu kayuhan penuh tenaga tak ingin ketinggalan punggungmu. Walau hanya dari jarak lima meter aku mulai mengayuh teratur sesuai hitungan kakimu, setidaknya aku menikmati momen ini.

Masa SMA mungkin akan menjadi lebih indah jika kita saling mengenal. Tapi sayangnya, apa yang kita inginkan tidak pernah sesuai harapan.

Aku duduk di kelas dua sementara kamu dikelas tiga. Tidak naik kelas setahun mungkin sedikit mengecilkan diriku di sekolah. Seharusnya aku masih bisa bertemu denganmu jika naik kelas, atau mungkin sekelas denganmu, duduk berdua, dan . . .

Di perempatan jalan, kamu berhenti. Mengeluarkan sesuatu dari tas sekolah sambil mengikat rambut panjangmu yang kusut terkena angin. Kemudian setelah mengaduk-aduk tas, kulihat kamu mengeluarkan ipod dan meletakkan earphone sambil kembali melajukan sepeda sampai ke rumah.

Aku berusaha menahan senyum simpulku karena semerbak kecantikanmu selalu menguar memenuhi hatiku untuk memilikinya. Tapi sayangnya itu hanya angan.

Karena setiap kali kamu memasuki gerbang rumah, menaruh sepeda dan masuk ke dalam rumah di samping ku itu, kesempatanku untuk melihatmu hanya kembali esok hari seperti ini.

***

Meski rumah kita bersebelahan, dan aku satu sekolah denganmu, ternyata yang kuketahui mengenai cinta adalah bisa membuat seseorang mendadak bisu dan tersadar akan ketakutan yang aneh. Takut untuk berbicara, takut untuk mengatakannya dan takut untuk muncul di depanmu.

Aku tidak tahu kenapa aku selalu gugup jika kamu suka lewat di depan kelasku, atau ketika kamu datang ke kantin yang sama dan berdiri bersebelahan denganku. Pernah sekali kudengar, kalau kamu sangat lapar karena belum sarapan. Ingin sekali kukatakan padamu kalau aku ingin membuatkan waffle yang ibu ajarkan khusus untukmu. Namun sayangnya, suara itu hanya tersimpan dalam hati.

Menyatakan perasaan bagi seorang pemuda sepertiku ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Walaupun beberapa temanku selalu pintar mencuri hati kakak kelasnya, mereka tidak malu. Mereka tidak peduli dengan kebodohan mereka yang memuja-muja kecantikan atau kepintaran setiap gadis di depan semua orang. Tapi aku? Hanya mengamatimu dari jauh, membiarkan senyum indahmu tanpa kumiliki sambil terus menyimpan semua memori itu dalam pikiran, kurasa itu sudah cukup.

Setiap pulang sekolah, aku ingin sekali berbicara denganmu. Tapi aku tidak berani. Aku takut pada cinta. Aku takut kamu mengenalku karena aku hanya bocah bodoh yang tidak naik kelas. Karena semua ketakutanku itu, aku hanya bisa memendam perasaan ini dan menuliskan surat cinta untukmu setiap harinya, berharap ketika aku berani mengambil keputusan, salah satu salinan dari isi hati ini bisa keluar dan mewakili suara hati.

Tapi seiring waktu berjalan, semakin mencintaimu, aku semakin takut.

Dan surat-surat di dalam boks di kamarku tidak pernah ada yang keluar dari tempatnya hingga kamu pindah kota, meninggalkan rumah karena kamu sudah diterima di Universitas bergengsi di tengah kota.

Ternyata cinta bukan hanya memberi ketakutan. Tapi kebodohan.

Kenapa ketika aku melihatmu pergi, dan orangtuaku yang melambai ke arahmu melaju di dalam taksi aku hanya diam saja mengamati hingga kamu hilang dari ujung kompleks di balik jendela kamar? Kenapa aku sebodoh itu? Kapan kita bisa bertemu lagi? Kapan kamu bisa mengetahui perasaanku?

Kapan aku berani menyatakan perasaan ini?

***

"Ma, aku diterima kerja di kantor yang kemarin aku lamar," ujarku di tengah ruang makan tak lama setelah ayah dan ibuku berbincang ringan di tengah makan malam ini.

Mama memutarkan kepalanya, sedikit tersenyum senang ditengah kunyahannya, begitu pula papa.

"Akhirnya ada yang nerima kamu kerja," syukur mama.

"Setelah mendapat kerja, jangan lupa sisakan uang untuk lanjut kuliah. Papa bilang apa, kan? Papa nggak mau biayain kamu kuliah. Kamu harus bayar tanggung jawabmu sebagai anak nggak naik kelas. Tunjukin kemampuan kamu, kalau kamu bisa bayar selama satu tahun, papa akan bantu kamu."

Kalimat papa itu lagi-itu lagi.

Setelah lulus dari SMA, papa tidak mau membiayai kuliahku karena nilai kelulusanku sangat jelek. Aku tahu aku bodoh. Kesukaanku hanya bermain musik dan bernyanyi. Masih belum menghasilkan apa-apa, tapi seharusnya aku tahu di mana passion dan mimpiku.

Apalagi ketika kamu pergi, aku mulai menyadari kekuatan cinta lainnya adalah membuatku bisa melakukan hal lain untuk mengisi hatiku yang kosong. Bernyanyi sambil bermain gitar adalah salah satu yang ingin kuperlihatkan padamu ketika lulus nanti.

Sebelum lulus, aku sangat bertekad bisa satu Universitas denganmu dan bisa kembali bertemu denganmu. Tapi waktu berkata lain.

Aku tidak bisa kuliah di satu tempat bersamamu. Tapi ketika aku menerima pekerjaan baruku, tanpa sengaja, apartemenku berada dekat dengan asrama mahasiswi Universitasmu. Kebetulan sekali, bukan?

Sejak hari itu, aku berpamitan pada papa dan mama. Mereka mendoakanku supaya aku bisa bekerja dengan baik di luar pengawasannya kali ini. Mereka berharap aku tidak mengecewakannya lagi.

Orangtuaku membantuku pindah. Pernah sekali, ketika siang, bubaran mahasiswi itu memenuhi jalan gang di kompleks tempat tinggal. Karena Universitasmu berdiri tepat di belakang apartemenku, suara-suara orang yang ribut terdengar samar-samar membuatku teringat akan masa SMA.

Kulihat boks kumal yang masih kusimpan sampai sekarang. Kubuka tutupnya dan melihat kapan kali terakhir aku berhenti menuliskan surat cinta untukmu.

Ternyata hari di mana kamu pindah itu adalah hari terakhir pena ini berhenti menuliskan tentangmu. Beralih dari surat cinta, pada rentang waktu satu tahun itu, aku menulis lagu mengenai dirimu yang tidak pernah bisa kumiliki seutuhnya. Ingin sekali kau kuperdengarkan lagu ini, bagaimana selama tiga tahun dari awal masuk SMA aku menyukaimu hingga sekarang---oh, tunggu.

Kutajamkan pandanganku ke luar jendela apartemen ketika melihat tiga orang gadis berjalan sambil tertawa lewat di bawah jalan gang. Aku mengucek mata beberapa kali.

Itu kamu.

Astaga.

Itu kamu.

Aku melihatmu.

Tapi kamu tidak.

Biar saja.

Kamu berjalan hingga ke ujung gang, melambai sekali ke kedua temanmu lalu menutup pintu asrama itu dan masuk ke dalamnya.

Jantungku berdegup tanpa sadar, dan entah dari kapan aku mulai meremas kertas surat cinta ini hingga lecek.

Ternyata dari cinta, aku kembali mengetahui suatu hal.

Aku menemukanmu kembali.

***

Kutelusuri jalanan menuju Universitasmu sebelum aku berangkat kerja. Tak disangka, ruang di antara kita ternyata sempit. Aku kembali menemukanmu dan tahu dengan cepat kalau kamu masuk di Fakultas kedokteran. Wajar sekali. Kamu memang sangat pintar. Bisa masuk Universitas ini saja kamu sangat hebat.

Kembali, hanya mengamatimu dari jauh dengan segenggam waffle buatanku, berharap bisa memberikanmu untuk makan pagi. Tapi ketika kamu lewat di depanku, ketakutan itu masih menyerangku.

Lalu aku hanya kembali merenung ketika detik kamu melewatiku. Dan waffle ini, hanya kembali kunikmati sendiri untuk makan siang dengan perasaan konyol.

Dari hal itu aku kembali mengerti mengenai cinta. Jika selamanya aku ketakutan menyatakan perasaan, maka semakin sakit hati ini ketika kamu tidak pernah melihatku. Akan butuh berapa lama aku mengumpulkan keberanian untuk itu? Akan butuh berapa boks lagi untuk menyimpan surat cinta di dalam kamarku sedangkan kamu sama sekali tidak mengetahui perasaan ini?

Pulang kerja, malam sudah membentang. Aku turun dari bus dan berjalan melewati gedung kampusmu. Sepi. Hanya suara derik jangkring yang menguar di tengah malam. Tapi ketika melihatmu masih di taman kampus bersama satu teman wanitamu, kamu masih belajar, aku menutup langkah.

Ini sudah malam, tapi kamu belum kembali ke asrama. Aku menjinjit, mengikutimu hingga ke lorong gedung. Kamu memasuki ruang kelas sambil membicarakan teori yang tidak kumengerti. Dan pintu kelas pun di tutup. Aku berjalan ke taman belakang gedung yang menghadap kelasmu, memilih berbaring sambil menatap bintang dan mengawasi cahaya di dalam kelasmu yang belum juga padam. Kulirik arloji, pukul sepuluh. Kamu sangat giat, sama seperti ketika SMA. Ternyata kamu tidak berubah, ya.

Sama, aku juga tidak pernah berubah.

Tapi ketika aku melihat bintang yang berkelap-kelip mengikuti irama jantungku, aku sadar kalau sesuatu harus berubah dari detik ini.

Besok pagi, aku akan datang. Besok pagi, aku ingin kita bertemu.

***

Menunggumu sebelum berangkat kerja di ujung gang, ternyata sukses membuat perutku melilit dan mulas. Kurasa hari ini bukan waktu yang pas. Apa mungkin aku ubah harinya, besok? Waffle ditanganku ini juga sudah hampir dingin karena kamu belum muncul juga.

Aku bertanya-tanya apa kamu kesiangan? Seharusnya kamu berangkat pukul tujuh, tapi sekarang sudah lewat lima belas menit. Semakin saja perut ini berkontradiksi dan mengacaukan semua rencana kata-kata yang akan kuluncurkan padamu.

Ya. Sudah pasti. Aku akan membatalkan pertemuan ini. Perutku mulas hingga nyeri. Aku tidak bisa membiarkanmu melihat ini semua. Jadi ketika aku melangkah berbalik menuju apartemen, kurasakan perutku melega. Tetapi beberapa detik ketika aku sampai di depan pintu, suara derak pintu di asramamu berbunyi. Aku menoleh cepat dan menemukanmu lagi dengan gerak tergesa-gesa.

Kamu terlambat.

Untuk kali pertamanya. Kalau diingat, kamu tidak pernah terlambat waktu SMA. Ingin sekali kuberikan waffle ini, tapi apa daya. Kamu melesat cepat sambil memasang earphone di telinga seakan lagu-lagu di dalam ipodmu itu bisa menenangkan langkahmu. Lalu kamu pergi tak melihatku di sini.

Sama seperti ketika kamu memasukkan sepeda sewaktu sekolah. Pergi, tanpa mengetahui aku ada di sini.

***

Entah kenapa, setelah melihatmu tadi pagi, aku merasa hatiku semakin kuat untuk memutuskan ketakutan ini dan berharap bisa bertemu denganmu setelah waktu belajar malammu itu. Tidak ada lagi rasa mulas dan gugup, pikiranku tertuju hanya pada reaksimu dan kata-kataku nanti.

Aku menggenggam gitar, menunggumu di depan pintu asrama tanpa memikirkan apa-apa lagi. Mungkin ini akan terasa konyol. Tapi aku tetap berharap setidaknya kita bisa berbicara satu kali saja.

Setelah memastikan kamu akan kembali beberapa menit dari kampus, aku pun menyiapkan segalanya dengan penuh cekatan. Kurapikan baju kerjaku yang kumal, kusisir rambut dan yang terpenting, kusiapkan lagu tentangmu itu untuk di dendangkan ketika kamu muncul di belokan gang.

Lampu disekitar kompleks yang remang sama sekali tidak membantu untuk melihatmu yang berjalan sambil bermain ponsel dengan benar. Aku buru-buru memetik gitar, memosisikan tubuhnya hingga saat intro dimulai, saat inilah hatiku siap menerima semua reaksimu.

Langkahmu dari ujung sana melayangkan bait demi bait lagu tentangmu. Tapi kamu tetap tidak menoleh dari ponselmu. Apa yang kamu sibukkan sampai tidak bisa mendengarku? Apa suaraku kurang keras?

Kurasa lagu tentangmu bukan yang terbaik. Jadi kuganti saja dengan lagu dari musisi terkenal di negri ini tentang cinta.

Kamu semakin dekat, dan ketika lagu itu dimulai, kamu pun mengangkat wajah dan mata kita bertemu. Saat itu, mata kita bertemu untuk kali pertama kamu, menyadari aku.

Degup jantungku berdebar hebat. Jemariku mengkaku tak bisa menekan senar dengan benar. Lalu kusadari sepertinya aku berhenti karena kamu menatapku bingung.

Sedetik, kami bertatapan tanpa suara. Lalu kamu menarik sesuatu dari telinga, menarik earphone itu. Oh---astaga.

"Kamu nyanyi lagu Confession Ballons, tadi?" ucapmu mengejutkanku. Ternyata kamu dengar?

Aku tergagap. "Iya. Aku bernyanyi itu," kutemukan diriku salah tingkah. Kamu menatapku heran setengah takjub.

"Kenapa berdiri di sini dan menyanyikan lagu itu?" tanyamu kembali.

Aku tak menjawab langsung, malah menurunkan gitar dari pelukanku dan menyapa.

"Hai."

Kamu mengernyit di antara gelap sinar lampu jalanan.

"Hai?" katamu tak yakin.

"Masih ingat aku? Aku Devon, tetanggamu ketika SMA."

Kamu kembali berkerut seakan baru kali pertama mendengar nama itu.

"Sepertinya aku nggak ingat," katamu membuatku terkejut.

Kamu tidak pernah mengingat tetanggamu? Kamu---

Aku menarik napas, berusaha mengingatkan akan hal kecil yang setidaknya bisa membuatmu sadar akan keberadaanku.

"Aku satu sekolah sama kamu dulu. Rumah kita sebelahan. Aku dulu nggak naik kelas jadi nggak pernah berani menyapamu," ucapku jujur sementara suara derik jangkrik semakin menguar ke langit malam.

Degup jantungku berdentuman tak konstan, menanti jawaban dari tiap kerut di dahimu itu. Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu se-lama itu untuk mengingatku saja?

Kamu tersenyum kecut memandangku, "maaf. Tapi aku nggak pernah melihatmu sebelumnya."

Tujuh kata itu membekukan ragaku dalam detik selanjutnya. Kemudian aku hancur.

Kamu menatapku dengan pandangan asing. Degup jantung yang tadi terpompa perlahan-lahan mulai terasa perih hingga membuat napasku tercekat. Entah dari kapan senyum dibibirku ini terbentang, tapi kemudian aku melepas semuanya dalam detik ketika aku berujar tidak apa-apa.

Sebelah tanganku menarik keluar secarik kertas dari saku celana. Kemudian dengan terluka, kuberikan surat cinta terakhir yang kutulis untukmu selama penantianku ini.

Khusus untukmu.

Kamu menerima benda itu dengan rendah hati, menatapku yang menyembunyikan luka di mata kemudian aku mengucapkan selamat tinggal.

"Tunggu!" teriakmu menghentikan langkahku yang hampir ambruk.

Aku menoleh perlahan, kamu kembali bersuara. "Terima kasih. Aku suka lagunya."

Senyum ringkih dari bibir itulah yang hanya bisa kumunculkan. Karena setelahnya aku hanya mengangguk dan membiarkanmu mengetahui perasaanku lewat surat itu.

Mungkin lebih baik dari awal aku tidak ada di duniamu. Diam-diam mencintaimu hanya menimbulkan luka untukku. Ini hanya kebodohanku kenapa tidak pernah berani menyapa sedari awal ketika kita bertemu. Bahkan aku membiarkan pertanyaan akan lagu apa yang sering kamu dengar itu. Mungkin suatu hari nanti kamu akan sadar aku yang ada di sampingmu diam-diam selama ini menghiasi duniamu. Karena ketika kamu mengetahui isi surat itu, maka aku sudah pergi jauh dari sisimu.

***

Cerpen ini untuk meramaikan Valentine Contest yang diadakan oleh Wattpad Indonesia. Selamat membaca^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro