Lautan Luka
Menyadari bahwa Aaron tak sadarkan diri, dokter Alvan segera membawanya ke rumah sakit. Beliau mengangkat Aaron ke mobilnya, dengan dibantu beberapa mahasiswa yang saat itu tengah berada di perpustakaan.
Dokter Alvan cukup mengkhawatirkan kondisi Aaron, karena denyut nadi pemuda itu melemah.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, pandangan Dokter Alvan tidak fokus pada jalanan, sesekali matanya melirik ke samping untuk melihat kondisi Aaron yang sangat memprihatinkan dengan wajah yang begitu pucat tidak ada rona.
Dokter Alvan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Yang menjadi fokusnya saat ini hanyalah keselamatan Aaron. Ia tak peduli dengan makian beberapa pengguna jalan lain yang memprotes tindakannya.
Sesampainya di rumah sakit, Dokter Alvan segera membawa Aaron ke ruang ICU. Karena pemuda itu membutuhkan penanganan intensif, dan ruangan yang tenang.
Dokter Feby mengikuti beberapa suster yang membawa Aaron di atas brankar di belakang. Dengan wajah yang terlihat cemas, Dokter Feby menatap wajah suaminya sekilas sebelum memasuki ruang ICU.
"Tolong selamatkan Aaron," ucapnya kepada Dokter Feby yang hanya di balas anggukan saja.
Dokter Alvan menatap ponsel Aaron yang ada di genggamannya, tadi ia sempat mengambil benda pipih itu. Ia membutuhkan ponsel itu untuk menghubungi keluarga Aaron, memberitahukan perihal keadaan pemuda itu.
Ia mencari kontak yang sekiranya bisa dihubungi, pencariannya berhenti setelah menemukan kontak dengan nama 'Ayah'.
Dokter Alvan segera melakukan panggilan, namun jawaban yang ia dengar membuatnya tersentak kaget. Sebuah bentakan yang disertai makian.
"Jangan hubungi Ayah, karena sedang sibuk. Kamu itu hanya menyusah...."
Dokter Alvan segera menyela, sebelum panggilan itu diputus sepihak.
"Maaf, Pak. Saya ingin memberitahukan bahwa putra Anda sedang berada di rumah sakit, karena mengalami kecelakaan." Tegas Dokter Alvan.
Fery tak langsung menanggapi.
"Anak itu memang bisanya mencari masalah saja. Tolong sampaikan kepada Aaron untuk segera pulang, dia hanya ingin mencari simpati dari saya saja," ujar Fery begitu dingin.
Doker Alvan menggelengkan kepala, dia tidak menyangka ada orang tua seperti Fery. Tidak mengkhawatirkan anaknya sendiri padahal sedang
bertaruh nyawa di dalam sana.
"Maaf, Pak. Tapi Aaron dalam kondisi yang tidak baik. Untuk lebih jelasnya, lebih baik Anda datang ke rumah sakit Cendana." bujuk Dokter Alvan.
"Saya tidak peduli. Mau dia mati sekalipun saya tidak peduli. Sudahlah jangan ganggu saya, saya sedang sibuk!"
Sungguh kasihan Aaron tidak di anggap ada oleh Ayahnya sendiri. Bahkan jika mati sekalipun Aaron tidak di pedulikan.
Setelah hampir lima belas menit, dokter Febi keluar dari ruang ICU. Ia keluar dengan wajah yang cukup kusut. Dokter Alvan segera menghampiri istrinya.
"Bagaimana keadaanya?" tanya dr. Alvan.
"Tidak jauh berubah dari saat ia dibawa ke sini. Mungkin lebih baik kalau kita melakukan CT Scan untuk mengetahui lebih lanjut apakah ada luka serius di kepala Aaron."
Dokter Alvan mengangguk mengerti, ia merasa simpati dengan pemuda itu. Apalagi setelah tahu bagaimana sikap Ayahnya pada pemuda itu.
***
Setelah di tempatkan di ruang inap biasa, Dokter Alvan tidak beranjak sedikit pun dari sofa yang berada di ruangan Aaron. Entah kenapa, seperti ada rasa simpati yang begitu besar ketika melihat wajah Aaron.
Dokter Alvan baru tahu, ternyata Aaron selama ini telah membohongi orang banyak dengan keceriaan yang selalu ia buat di kampus. Bahkan Aaron tidak menampakkan kesedihannya kepada semua orang.
Kini Dokter Alvan sudah berhasil membuka topeng milik Aaron yang melekat sempurna di wajahnya.
Aaron sudah sadarkan diri sejak sejam yang lalu, namun pemuda itu hanya diam ketika ditanya oleh dokter Alvan. Sesekali meringis menahan sakit, karena pening yang tak kunjung reda.
Baru saja akan memejamkan mata, suara pintu yang didorong kasar membuat Aaron kembali terjaga. Begitupun dengan dokter Alvan yang juga cukup terkejut, mendapati pria berjas hitam yang berdiri pongah di ambang pintu.
Dokter Alvan melirik Aaron. Dari pancaran mata pemuda itu, ia bisa melihat ada ketakutan yang tersirat. Ia segera bangkit dari duduknya dan menghampiri pria itu.
"Maaf, lebih baik anda keluar karena pasien saya butuh istirahat. Lagipula jam besuk juga sudah berakhir setengah jam yang lalu," ucap dr. Alvan sopan.
Bukannya pergi, pria itu justru menghampiri Aaron dan mengabaikan keberadaan dokter Alvan. Ia memaksa Aaron bangkit dari pembaringannya. Tak peduli dengan rintihan pemuda itu yang terdengar lirih.
Dengan sekali sentakan, lelaki itu mencabut selang infus yang masih menancap di lengan Aaron.
"Ayah," gumam Aaron takut.
Ya, lelaki itu adalah Fery ayahnya sendiri. Terlihat dari wajah Fery yang memerah karena amarah yang sudah tersulut sedari tadi, Fery seakan menjelma menjadi siluman ketika sedang marah.
"Pak. Tolong jangan berbuat kasar kepada Aaron! Dia masih membutuhkan perawatan, jika bapak berlaku kasar kepada Aaron, saya akan panggilkan security kesini untuk mengusir bapak!" tegas Dokter Alvan kepada Fery.
"Anda jangan ikut campur. Saya berhak atas dia, karena dia anak saya. Saya adalah orang tuanya, lalu Anda siapa? Anda hanyalah pahlawan yang tidak tau diri!" ujar Fery, lalu pergi menyeret Aaron keluar.
Melihat itu, Dokter Alvan tidak bisa melakukan apapun. Karena memang yang lebih berhak atas Aaron adalah Ayahnya sendiri.
Sebenarnya ia tak tega membiarkan Aaron dibawa pulang, sedangkan kondisinya belum terlalu membaik. Ia mencemaskan seandainya ada luka dalam di kepala pemuda itu karena efek benturan saat kecelakaan kemarin. Mengingat Aaron sempat mengalami perdarahan serius di kepala. Keluarganya memang lebih berhak, dan ia tidak bisa berbuat banyak.
***
Kecemasan Dokter Alvan ternyata terjadi, sesampainya mereka di rumah, Aaron diseret ke dalam kamar. Seolah tuli, Fery tidak mendengar Aaron merintih kesakitan. Aaron tidak bisa melawan, yang ia lakukan hanyalah pasrah. Karena kondisinya tidak memungkinkan untuk melawan.
Fery mendorong tubuh lemas Aaron ke atas kasur. Ia tidak berani melihat sorot mata tajam Fery yang mampu membunuhnya.
Fery melangkahkan kakinya untuk mendekati putranya yang meringkuk ketakutan di atas kasur empuknya.
"Tolong, Ayah. Jangan!" racau Aaron, bukannya melunak Fery malah gencar mendekati Aaron.
Plak!
Satu tamparan baru saja mengenai pipi kanan Aaron, seketika wajah yang mulus kini menimbulkan warna biru keunguan bekas tamparan tadi.
"Ini akibat kamu berani melawan saya! Saya sudah bilang sama kamu. Jangan pernah bolos kuliah. Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan saya," ucap Fery tajam.
Fery mengambil kertas yang tergeletak di atas nakas, lalu melempar ke depan wajah Aaron.
"Itu hasil ujian kamu hari ini. Nilai yang sangat buruk. Kamu emang tidak pernah membuat saya senang. Coba saja kalau kamu yang mati, bukan Aaric. Mungkin aku tidak akan mempunyai anak sebodoh kamu!" tegas Fery yang membuat Aaron menangis. Sebegitu bencinyakah Ayahnya sampai menginginkan kematiannya.
"Sebagai hukuman, malam ini kamu jangan keluar kamar, dan jangan harap kamu bisa makan. Mengerti?!" setelah itu Fery melenggang pergi meninggalkan Aaron yang sepertinya sudah dalam keadaan setengah sadar.
Mata sayunya perlahan tertutup karena lelah dan rasa sakit, bukan hanya fisik, hatinya pun juga sakit melebihi sakit fisiknya.
Tepat tengah malam Aaron terbangun, ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan untuk bangkit pun rasanya ia tak mampu.
Dengan terhuyung ia berjalan ke kamar mandi, untuk membasuh wajahnya. Ia mengamati wajahnya di pantulan cermin, pipi kanannya lebam, wajahnya pun kembali memucat.
"Kak, andaikan saja kamu masih ada di sini. Kamu pasti tidak akan membiarkan ayah melukaiku seperti ini. Apa kakak bahagia di sana?" Aaron menatap pantulan wajahnya.
"Mereka bilang aku beruntung karena terlahir di keluarga yang berada. Tapi aku justru menderita dengan semua yang ada. Kematian kakak, menjadi titik balik sikap ayah. Aaron harus berbuat apa, Kak?" Aaron menangis tergugu.
Aaron rapuh, jatuh dan tenggelam di dasar lautan luka. Tak ada lagi yang bisa ia jadikan sandaran, kecuali sang pencipta. Ia bergegas mengambil wudhu, dan melaksakan salat tahajud.
Seuasai salat, ia bersimpuh sembari mengangkat kedua tangannya.
"Ya Allah, ampunilah aku. Jika memang kematianku yang mereka harapkan, aku ikhlas. Engkau boleh mengambil nyawaku detik ini juga. Aku lelah, sangat lelah, biarkan aku beristirahat dalam dekapan-Mu." Aaron tergugu dalam do'anya.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro