Tragedi Musim Gugur [ Gumiya x Yan!Reader ]
Cerita ini bernama dari Tragedi musim gugur. Tragedi yang akan selalu diingat oleh rumah sakit tempat Gumiya menghembuskan napas terakhirnya.
Desikan dedaunan terdengar sayup-sayup, angin bertiup pelan hari ini. Sosok lelaki bersurai hijau itu terduduk di bangku taman yang terdapat di lantai paling atas rumah sakit ini. Dia memakai baju piyama rumah sakit, menandakan dia salah satu pasien.
"Ah." Lelaki itu menikmati pemandangan pagi bersama sebungkus roti yang diberikan perawat tadi.
Matanya memperhatikan bagaimana indahnya awan berjalan pelan di langit, burung-burung yang terbang secara berkelompok, kupu-kupu yang sedang menyerbuk, semua pemandangan alam yang indah ini menenangkannya. Matanya berhenti ke arah pemandangan yang tidak biasa. Seorang gadis berdiri di ujung pagar, dia juga memakai piyama seragam rumah sakit.
"Ah- nona!"
Gadis itu tidak menoleh ke arah lelaki itu. Alih-alih ia malah memanjat keluar pagar itu. Lelaki itu terkejut dan segera bangkit dari duduknya. Lelaki langsung terburu-buru menghampiri gadis yang bertampang kosong dan berdiri di pinggiran gedung tanpa pembatas.
"Nona... tolong jangan lakukan itu." Lelaki itu memeluk gadis itu dari belakang pagar. Dengan sekuat tenaganya, ia mengangkat gadis itu dan menariknya ke dalam pagar.
"Hey-" gadis itu terlihat panik dan marah. "Apa maksudmu! Apa urusanmu?!"
"Jangan... hah... ah... jangan lakukan itu, Nona." Napas lelaki itu terengah-engah.
"Hidup sudah tidak layak untuk dijalani. Aku mau mengakhiri hidupku." Perempuan itu mencoba memanjat keluar pagar. Namun sebelum ia sempat, lelaki itu kembali menahannya.
"Bolehkah kita berbicara dulu?"
Gadis itu menoleh dan dahinya mengerut. Dia terheran-heran dengan lelaki itu. Tersadar bahwa lelaki itu juga pasien rumah sakit.
"Kau... juga?"
"Juga?"
"Kau sakit juga?"
"Oh, iya." Lelaki itu tersenyum.
"Dan kau masih bisa tersenyum?"
"Aku masih memiliki energi untuk itu." Lelaki itu berkata, "ayo duduk dulu. Mari kita bicara. Lagian juga masih pagi, langit selalu indah jika di lihat dari sana."
Mereka berakhir duduk di bangku tempat lelaki itu berawal. Menghirup udara segar di pagi hari, melihat pemandangan alam nan indah, serta mendengar nyanyian burung-burung. Semua anugrah Tuhan yang lelaki itu syukuri.
"Namaku, Gumiya. Kalau kamu?"
"(Y/n)... itu namaku."
"Ah, nama yang indah." Gumiya tersenyum. Kakinya diayun-ayunkan. Dia terlihat tidak sama sekali sakit.
"Pasien? Kamu ga kelihatan sakit." Gadis itu terheran-heran dengan tingkah Gumiya.
"Oh, aku pasien sakit jantung. Haha, minggu depan aku juga mau operasi. Kalo kamu?"
"Jantung... aku- Aku pasien penyakit ginjal."
"Oo, begitu." Gumiya masih menatap langit dengan penuh sayang. Dia seperti terpaku dan tak dapat berpaling. Sama sekali tidak terlihat seperti pasien sakit jantung. "Kau harus menghargai hidupmu loh. Fakta kalau kamu sudah berjuang dan masih hidup sampai sekarang, itu sudah luar biasa."
(Y/n) melihat ke arah Gumiya yang kini bersandar di bangku itu, menutup matanya. "Kau dengar itu? Suara angin bertiup sangat indah. Bisa mendengar, melihat, berbicara... serta merasa, itu anugrah, loh."
Matanya yang terlihat tenang kembali terbuka sambil menatap ke angkasa biru. "Aku terlahir tidak seperti anak lain, jantungku langsung melemah kalau bermain seperti anak-anak biasanya."
(Y/n) masih melihat ke arah Gumiya yang terlihat sangat tenang. Lelaki itu lalu menoleh ke arah gadis itu. Dia berkata, "tapi dengan begitu, aku lebih peka melihat alam. Bukankah itu anugrah?"
"...kau aneh."
"Aku tahu." Gumiya tertawa mendengar ucapan gadis itu. "Orang-orang banyak berjuang melawan penyakitnya, karena mereka menghargai kehidupan. Seberapa pahitnya realita menyambut, kemanisan berkah pasti akan terasa juga. Seperti keseimbangan, yakan?"
(Y/n) hanya terdiam, ia memperhatikan ketenangan jiwa Gumiya. Lelaki itu sangat menyatu dengan suasana alam di pagi hari.
"Hey... (y/n), kamu mau tau spot rahasia yang enak?"
"Rahasia?"
"Yup, rahasia!"
Gumiya bangkit. Ia lalu memberikan tangannya kepada (y/n). "Ayo, sini ku tunjukkan."
"A-aku bisa jalan sendiri!"
"Yasudah, ayo!"
Gumiya membawa (y/n) turun dari lantai atap itu. Perlahan menuruni anak tangga, lalu sampai di depan lift.
Di dalam lift terdapat seorang suster yang sedang membawa beberapa berkas di tangannya. Melihat Gumiya berada tepat di depan pintu lift, ia berkata, "pagi, Megpoid-san! Wah kau kelihatan bersemangat hari ini," sembari membungkuk sedikit untuk menyapa.
"Pagi juga, Sakane-san." Gumiya memberi salam dan masuk ke dalam lift bersama (y/n). "Aku mau jalan-jalan sama teman hari ini!"
Suster itu keluar dari lift, bertukar tempat. Beliau memberikan senyuman juga kepada (y/n). "Semoga harimu indah."
"Kau juga!"
Pintu liftpun tertutup. Hanya ada dia dan (y/n) di dalam sana.
"Kau kenal orang-orang yang bekerja di sini?" (Y/n) menoleh ke arah Gumiya yang sedang menekan tombol lantai.
"Bisa dibilang begitu. Sudah lebih dari lima tahun bolak-balik check up sama rawat inap, ujung-ujungnya sampai kenal deh. Hahaha!" Gumiya tertawa sedikit.
"Ah, begitu."
Gadis biasa itu melihat keceriaan Gumiya dengan matanya sendiri. Gumiya juga tidak tahu bahwa, dirinya telah membuat gadis itu menemukan arti kehidupan.
Mulai dari hari itu, setiap hari Gumiya dan gadis kecil seumurannya selalu bermain bersama di rumah sakit, berkunjung, atau seperti hari ini, beberapa minggu kemudian dari hari jumpa pertama mereka.
Di hari ini, Gumiya dan gadis itu duduk di bangku taman yang berada di halaman luar rumah sakit. Dengan sepasang kotak susu yang masing-masing diminum oleh mereka, lalu masih dengan piyama rumah sakit. Angin berhembus pelan di pagi hari ini.
"(Y/n), gimana check up-mu?"
"Membaik, kata dokternya jauh lebih baik sekarang. Kalo kamu?"
"Aku?" Gumiya terdiam ketika ditanya oleh gadis itu. Dia mengalihkan pandangan ke langit biru pagi. Senyuman masih terlukis di wajahnya.
Meski demikian, gadis itu masih menunggu jawaban. Kedua mata itu tertuju kepada Gumiya yang tertawa pelan entah kenapa.
"Terima kasih."
Alis (y/n) naik seketika. Justru dengan jawaban begitu, gadis itu bingung mendengarnya. "Maksudmu?"
Gumiyapun menoleh ke arah (y/n). Sepasang mata yang hangat itu sangat berarti bagi gadis itu. Orang ini tidak pernah berhenti tersenyum, orang ini juga adalah kehidupan bagi (y/n). Dengan kehadiran Gumiya saja sudah cukup.
"Berkatmu. Aku jadi pemberani."
"Haaa?~ maksudmu?"
"Aku pengecut, (y/n). Meski berjuang melawan penyakit sendiri, aku tidak berani menghadapi takdir, namun aku juga tidak mau mengakhiri berkah ini."
(Y/n) hanya terdiam. Ucapan Gumiya kian semakin menjadi teka-teki baginya, semakin susah dimengerti.
"Aku sudah memutuskan untuk operasi hari ini."
"Hah?"
"Kesempatanku untuk sembuh mungkin ada di sana. Meski sedikit, namun tak apa untuk mencoba. Ya kan?"
Gadis itu tak bisa berkata apa-apa. Air matanya mulai berjatuhan, Gumiya bingung melihatnya.
"Hei, kenapa nangis sih?" Tangan Gumiya mengusap air mata itu, lalu mengelus kepala gadis itu.
"H-habisnya... aku hidup karena kamu."
"Kalau begitu berjanjilah padaku."
Jari kelingking Gumiya disodorkan kepada gadis itu. Dia mengajukan perjanjian kecil.
"Tetaplah hidup... tetaplah hidup untukku. Janji?"
Gadis itu terlihat ragu. Dia tidak mau mengkaitkan kelingkingnya dengan Gumiya. Lelaki itu lalu menarik kelingking gadis itu.
"Janji..." ucap gadis itu pelan.
Air mata yang terus berlinang itu tidak dapat dibendung di hari yang dingin itu. Gumiya juga tidak bisa melakukan apa-apa soal itu, namun hanya tersenyum seperti biasa.
Lalu, di hari ini juga, seperti yang Gumiya katakan, lelaki itu melakukan operasi. Gadis itu menunggu di luar kamar operasi.
Menunggu dan menunggu, keringat dingin mulai bercucuran mengenai lantai yang juga dingin. Berharap atau berhenti berharap, bahkan gadis itu tidak sanggup untuk memikirkan masa depannya. Dia hidup hanya untuk Gumiya, hanya Gumiya semata.
Dokter keluar dari ruangan menghadap keluarga Gumiya. Ah, rasanya kaki (y/n) mau mati rasa ketika tahu ekspresi apa yang pria tua itu akan buat.
Dokter itu menggelengkan kepala.
"Mati?"
Isakan ibu Gumiya mulai terdengar sayup-sayup.
"Haha... gak mungkin Gumiya sekuat itu mati..?"
Gadis itu terus bergumam pelan sendiri dengan tawa yang terdengar sedikit. Dia berjalan cepat membuka pintu ruang bedah tersebut.
"Anak siapa itu?" Suster yang tidak cegatan berkata. Seharusnya (y/n) tidak boleh masuk secepat itu, namun apa boleh buat, dia seperti orang kesetanan dengan pandangan kosong.
Gadis itu melihat tubuh Gumiya yang tergeletak di atas tempat tidur bedah. Mesin pengukur denyut jantung hanya menunjukan garis lurus tidak berbelok.
"Gumiya... kau... mati?"
"Dik, tolong keluar dari sini," ujar suster itu, beliau memegang lengan gadis itu.
"Ah... Gumiya mati, karena kalian?"
Bulu kuduk suster itu berdiri, (y/n) menatap suster itu dengan mata kosong dan senyum maniak.
"Dik-"
"Kalau gitu kalian semua pantas mati."
Tamat sudah, gadis itu mengambil pisau tajam yang ada di meja kecil di ruangan itu. Dengan akal yang sudah tak sehat lagi, pisau bedah itu tertancap entah kemana-mana. Dokter dan beberapa orang menjadi korban di hari ini.
"Maafkan aku, Gumiya. Aku akan menemui lebih cepat dari janjiku."
Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang gadis itu ucapkan sebelum pisau itu tertancap ke lehernya sendiri. Ruang bedah itu penuh darah bercucuran dan berserakan.
Hari itu dikenal dengan tragedi musim gugur di rumah sakit itu. Bukan hanya dedaunan yang gugur, namun medis dan pasien juga gugur.
Tetapi, mereka tidak dapat menyalahkan siapapun.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro