Chapter 6.7 - I Bet You Don't Curse God
"Hei, setelah kembali kau harus janji untuk cerita—terutama tentang asal-usulmu."
"Kenapa kau ingin tahu?"
"Karena mereka nyata dan berada di sekitarku. Aku tidak ingin mati konyol menjadi monster mengerikan seperti rasmu itu! " Lysandra langsung membekap mulutnya sendiri, sangat menyesal telah melemparkan kata-kata yang bisa menyinggung perasaan Schifar.
"Salahkan mereka." Schifar menunjuk ke atas dengan matanya.
"Mereka?" Lysandra berpikir sejenak sebelum akhirnya menangkap maksud Schifar. "Apa yang Vara Celeste lakukan padamu? Sepertinya kau membenci mereka?"
"Karena mereka, rasku ada di dunia ini. Kemudian, kenapa aku harus memerangi rasku sendiri? Kau pikir menyenangkan membunuh mereka? Bagaimanapun kami semua masih memiliki hubungan darah!" Schifar menghela napas panjang setelah memuntahkan isi hatinya.
Ia kesulitan mengendalikan gelegak darahnya yang mendidih. "Adakah keadilan bila mereka tidak punya hak untuk hidup hanya karena tanpa keinginan mereka sendiri, mereka berubah dan menjadi salah satu dari Black Vyraswulf itu?"
"Itu ... adalah takdir."
"Kau mengatakan itu takdir?" Schifar tidak berusaha menekan kegusarannya. Banyak kata yang masuk dalam daftar yang dibencinya. Benar, 'takdir' salah satunya.
Kekasaran nada suara Schifar dan sorot matanya sekarang membuat Lysandra ingin meringkuk seperti bola. Meski kemarahan tersebut bukan diarahkan padanya, tetap saja ia tidak siap menghadapi sisi lain yang tidak pernah ditunjukkan Schifar selama ini.
"Apakah para dewa benar-benar tidak memiliki kewarasan sehingga membuat kita semua yang katanya anak-anaknya menderita?"
Serangan kedua membuat Lysandra kembali meremas ujung roknya dan melirik takut-takut pada sosok di sampingnya. Ia bisa merasakan kemuakan yang bercokol di hati Schifar dari caranya berbicara mengenai para penghuni Langit Atas.
"Makhluk-makhluk seperti kalian tidak semuanya bisa beradaptasi dengan perubahan DNA, tubuh kalian terlalu rentan menerima DNA kami." Schifar berusaha mengatur napasnya yang terasa berat. "Tidak semua manusia yang tergigit bisa berubah menjadi Vyraswulf, sebagian akan mati dalam keadaan sangat tersiksa dan meminta untuk dibunuh saja."
Semua perubahan emosi Schifar disaksikan oleh Lysandra dalam diam. Namun, sorot matanya yang awalnya dipenuhi kilatan kemarahan sekarang menjadi sangat redup hingga nyaris mati sedikit menguapkan ketakutan Lysandra.
"Kau ada pasti karena sesuatu, seperti peran yang harus kau mainkan di dunia ini. Jadi, jangan pernah mengutuki mereka dengan alasan apa pun." Lysandra menyentuh bahu Schifar dengan lembut, menunjukkan empatinya.
"Sesuatu ...," Schifar mengulang satu kata yang dilontarkan Lysandra, mencoba meresapi maknanya.
"Iya. Kau telah menjadi pahlawan anjing bagiku." Lysandra mengelus ujung kepala Schifar sambil tersenyum tulus.
"Coba bilang anjing lagi!" Schifar kesal bila dirinya disamakan dengan anjing.
"Pahlawan anjing, terima kasih."
"Turun! Pulang sendiri, sana!"
"Ya memang aku harus turun di sini, kita sudah di depan pagar rumahku."
Schifar tidak dapat lagi mengukur kegondokan yang diterimanya dan hanya berdecak, bukan karena kagum tapi kesal tidak bisa menyentil mulut Lysandra sesuka hati.
"Terima kasih. Selamat malam pahlawan telinga serigala." Untuk terakhir kalinya Lysandra mengelus-ngelus kepala Schifar, tepat di bagian yang akan muncul telinga serigala bila diperlukan.
"Jaga diri, ok?" Lysandra menepuk-nepuk bahu Schifar, memamerkan sepasang lesung pipi yang selalu muncul bila sedang tersenyum, lalu keluar dari mobil dan melambai sebentar sebelum menghilang di balik pagar rumahnya.
Schifar tidak menyangka senyum Lysandra membuatnya terlihat sangat manis. Kehangatan juga turut terpancar keluar dari sorot matanya bila gadis itu sedang serius. Bila Lysandra berada dalam fase ini, Schifar merasa ia bisa mengandalkannya dan semua akan baik-baik saja. Sayangnya, Lysandra lebih sering berada di sisi menyebalkan, berisik dan mengusik persis monyet usil.
"Wuah. Bila semenit lebih lama, bisa-bisa besok aku masuk peti mati!" Lysandra berpegangan pada pagar kayu kediaman keluarga Zeafer sambil mengelus-ngelus dadanya. Kakinya masih gemetar. "Kenapa dia menyeramkan dan seksi di saat bersamaan, sih?"
***
Sesampainya di apartemen dan membuka pintu, tatapan penuh selidik Gunther dan May menyambutnya. Pasangan kekasih itu tengah duduk di ruang tamu ditemani beberapa botol minuman keras dan kaleng soda. Di atas meja bertebaran foto-foto hasil rontgen milik Excelsis dan satu koper hitam yang pasti berisi tumpukan uang. Dari dulu hingga sekarang metode pembayaran Gunther tidak pernah berubah, ia memang anti dengan metode transfer antar rekening.
"Aku pulang."
"Lama sekali." Gunther melirik jam tangannya lalu mengetukkan kakinya dua kali pada koper yang masih tertutup rapat. "Tangkapan besar kali ini."
Schifar tidak menanggapi Gunther dan melangkah gontai ke kamar tidurnya untuk bertemu muka dengan kasur berseprai biru tua kesayangannya. Karena si penakut Lysandra, ia terpaksa mengulur semua rencana dan sekarang terlalu lelah untuk bergerak. Tepatnya ia tidak ingin melakukan apa pun saat ini selain tidur semalaman dan berharap besok suasana hatinya sudah tertata kembali.
Setelah meletakkan tas ransel di bangku meja belajar dan menyingkirkan tirai yang selalu menyembunyikan jendela dan pintu geser yang semuanya terbuat dari kaca bening, ia duduk sambi bersandar di tepi ranjang Perilakunya persis seperti seseorang yang tengah patah hati. Padahal alasan sebenarnya hanya karena tidak ingin mengotori seprai yang jarang ditidurinya itu.
Bulan setengah bersinar keperakan. Namun, bagi Schifar langit malam ini sama kelamnya dengan malam tanpa bintang. Kerlip bintang yang sesekali berkilat-kilat seakan luput dari sapuan matanya yang tidak fokus akibat seulas senyum hangat Lysandra yang mampir tanpa diundang.
Apa lagi permainan kalian, hah?
Tantangan Schifar pada Langit Atas langsung dibalas oleh lengkung senyum dari bibir merah muda milik seseorang sewaktu memejamkan matanya. Sayup-sayup suara lembut dan semanis madu memanggil namanya.
"Schifar ...."
Sontak Schifar membelalak dan celingak-celinguk mencari sumber suara. Bila ingin jujur, ia sangat ingin matanya membentur sosok si pemilik suara, entah dalam bentuk solid atau ... astral. Namun, harapannya yang setipis sehelai rambut seketika putus karena memang tak ada siapa pun di ruang tidur yang minim perabotan ini.
"Lancang sekali kau memikirkan dia setelah apa yang telah kau perbuat, Schifar ...." Pilu, menyesal, marah, dan tidak sudi memaafkan diri sendiri berpijar dari setiap kata yang meluncur begitu saja.
Tangannya terulur untuk meraih kenop bulat di laci nakas teratas. Namun, dua perasaan layak dan tidak layak saling berjibaku untuk sesaat, menyulap Schifar seperti patung pahatan yang terperangkap dalam waktu.
"Kau ada pasti karena sesuatu."
"Iya. Kau telah menjadi pahlawan anjing bagiku."
Suara Lysandra menggaung kembali dalam kepala Schifar, menggeser paksa ketidaklayakan yang sangat agresif merongrong hatinya.
Pahlawan, hah? Seperti itukah peranku di matamu, Lys?
Seulas senyum kelu melembutkan raut wajah Schifar yang sempat mengeras. Ia bergeser mendekat untuk membuka laci lalu mengintip benda yang tergeletak di dasarnya. Benda yang dengan cepat berpindah ke tangannya adalah sebuah kalung berbentuk kepala serigala dengan perpaduan warna hitam dan putih yang bisa disatukan dan dipisahkan tepat di bagian tengah, mirip seperti dua potongan puzzle. Bagian yang seharusnya tergambar mata tampak berlubang.
"Maaf, aku gagal mengukir matanya."
"Lalu kenapa dilubangi?"
"Karena ... Akh sudahlah! Kau mau terima atau tidak?"
Lempengan yang menggantung dari tali parasut hitam ini terangkat hingga sejajar mata Schifar yang tengah mengenang perbincangan singkatnya di masa lalu dengan si pemberi hadiah. Berkas cahaya rembulan masuk melalui dua lubang 'mata', membuat kepala hitam-putih ini seperti tengah menatap balik dirinya dengan mata menyala.
Anehnya, nyala bagian 'mata' pada sisi yang berwarna hitam lebih redup seperti dipenuhi kesedihan dan simpati. Berbanding terbalik dengan nyala intens di bagian berwarna putih yang mengumbar kemarahan dan tuduhan-tuduhan yang membesarkan rasa bersalah seseorang. Padahal, intensitas cahaya yang diterima kedua 'mata' tersebut sama. Penjelasan yang masuk akal adalah ini hanyalah hasil penglihatan Schifar yang berkaca-kaca atau akibat mata kirinya yang selalu tertutup rambut. Tidak lama kemudian, sudut matanya dijejali cairan bening yang berebut menuruni lekuk pipi dan membasahi rambut hingga menempel di wajahnya.
Schifar meremas kuat-kuat kalung yang sudah menemaninya entah berapa lama ini dan menempelkan ke dahi, tidak kuasa menahan isakan demi isakan kecil yang tertahan di tenggorokannya. Ia tidak peduli dengan cairan bening kental yang keluar dari hidung mancung warisan sang ibu akan ikut melekat di rambut. Kesesakan menghimpitnya seolah udara yang terhirup tidak kompatibel dengan sepasang paru-paru di dalam rongga dada.
***
Luapan emosi Schifar yang menguar-nguar membuat kepala May terangkat dan menatap pintu kamar Schifar. "Anak itu ...." May menggeleng-gelengkan kepalanya.
"May, kau mengintip tanpa izin lagi?" Gunther datang sambil menatang sepiring besar berisi buah-buahan.
"Bagaimana, ya?" May mengulurkan tangan untuk mengambil sebutir ceri merah dan memelintir dengan lidah hingga lepas dari tangkainya. "Sulur-sulur depresinya sedari tadi menggelitik tubuh sensitif ini."
Umbar senyum sensual May membuat Gunther memicingkan sebelah mata sembari tertawa kecil karena ia sangat mengerti maksud dari tunangannya ini. "Biarkan dia. Kau tahu ini hari apa, kan?"
"A-ha. Tapi, kali ini berbeda, honey."
"Seperti?"
"Intuisi wanitaku mengatakan ini masalah ... hati." May melempar senyum misteriusnya, seperti mengirim sebuah teka-teki yang harus dipecahkan oleh Gunther.
"Maksudmu gadis yang diselamatkan itu?"
"Tepat sekali," timpal May sambil menjentikkan jari dan mengambil ceri merah kedua. "Kehadirannya seperti badai."
"Woah, sebesar itu?"
"Ya. Mungkin dampaknya bisa jauh lebih besar dari perkiraanku."
"Aku hanya berharap anak itu bisa mengatasinya. Atau ...."
"Dia akan lebih 'rusak' dari yang sekarang?"
"Hm."
***
Vara Celeste: Dewa-dewi penghuni Langit Atas.
Langit Atas (Upper Sky): Sebutan untuk suatu tempat (Realm) yang menurut para penghuni Bumi adalah tempat tinggal pencipta mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro