Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6.2 - (Her) Gentle Touch

"Kenapa kau menyamakan 'itu' dengan jalan?  Bocah kejam. Keji. Jahat!" Rajukan Lysandra naik satu oktaf di setiap kata yang terlontar. Ia merasa Schifar melakukan penindasan mental terhadapnya.

Mata mereka beradu lagi, tapi kemarahan yang memuncak hingga ubun-ubun membuat Lysandra gagal menyadari iris Schifar menyala lagi. Tanpa dikomando, keduanya kompak membuang muka dan mogok bicara satu sama lain.

Schifar mengikuti jalur yang dilewati oleh Gunther sewaktu mereka datang demi menghindari dua pos penjagaan. Lysandra tidak tahu bila mereka harus melewati sebuah jalan yang lebarnya hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja. Jalur panjang yang harus mereka lalui adalah jalan-jalan kecil di tepi hutan yang memiliki kontur tidak rata karena terdiri dari perbukitan, jalur menurun dan belokan ekstrim serta jalinan jurang yang siap menelan siapa pun yang tidak menguasai medan atau karena jatah keberuntungannya sudah habis.

Bisa dipastikan bila Schifar melakukan satu kesalahan kecil saja, akibatnya akan sangat fatal.
Beruntunglah mobil Schifar sudah dilengkapi dengan sistem yang bekerja seperti sonar pada kelelawar sehingga ia dapat mengetahui jalan mana yang aman atau area yang harus dilewati dengan penuh kehati-hatian dan fokus yang tinggi.

Sebenarnya mobil ini memiliki dua buah sayap layaknya pesawat terbang berukuran mini yang dapat dibentangkan sewaktu-waktu. Namun Schifar sangat meminimalkan penggunaannya karena masih dalam tahap uji coba, selain itu bahan bakar yang tersisa saat ini hanya cukup untuk penggunaan mode mobil saja.

Setelah melewati zona berbahaya, Schifar memasuki jalan raya yang menghubungkan kota Wichzkita dan wilayah Maltoaz. Prioritas utamanya sekarang adalah menemukan tempat makan yang masih buka 24 jam untuk memenuhi kebutuhan perut Lysandra yang terus-terusan mendengkur, membuat wajah gadis itu memerah. Meskipun kesal dan marah, Schifar tidak sampai hati menelantarkan salah satu kebutuhan primer seorang gadis yang masih dalam tahap pertumbuhan.

***

Lima belas menit kemudian, pijaran lampu dari sebuah bangunan kecil di tepi jalan mengundang Schifar untuk menepi. Di pintu masuk, mereka disambut ramah oleh pelayan wanita paruh baya dan diantar di satu-satunya meja kosong di sudut ruangan. Schifar segera duduk dan memandang keluar jendela, mengabaikan tatapan heran Lysandra.

Lysandra melirik pada pelayan mereka. "Kenapa meja ini gelap sendiri?"

Tangan wanita yang sedikit lebih tinggi dari Lysandra bergerak ke kantong apron dan mengeluarkan sebatang lilin. Sementara tangan satunya sibuk mencari korek api, Schifar sudah menyalakan pemantik apinya.

"Terima kasih anak muda," ujarnya sambil tersenyum.

Setelah posisi lilin yang sudah menyala tersebut berdiri stabil di tempatnya, wanita berkaca mata tebal ini mengeluarkan buku kecil dan pensil.

"Mohon maaf, lampu di meja ini tiba-tiba meledak dan mencederai salah satu pelayan kami ...," matanya mengikuti Lysandra yang mengambil posisi duduk berhadapan dengan Schifar, "jadi, apa pesanan kalian?" lanjutnya. 

Lysandra memesan satu porsi besar pizza dan segelas minuman bersoda. Pesanan Schifar berupa lima porsi jumbo kentang goreng dan secangkir kopi hitam kental. Sewaktu pesanan datang, Schifar mendapatkan bonus sepiring roti panggang isi cokelat.

Tanpa melihat ekspresi Lysandra, Schifar langsung menggeser makanan tambahan tersebut kepadanya. Selain karena tidak menyukai makanan manis, ia tahu roti dalam bentuk apapun masuk dalam daftar makanan favorit gadis berwajah bulat di hadapannya. Sayang, usahanya tidak mendapatkan respon dari Lysandra yang sibuk melahap pizza.

Selama sepuluh menit ke depan tidak ada jalinan perbincangan walau sesekali mereka saling melirik, berharap salah satu dari mereka akan membuka mulut. Akhirnya kontes adu keras kepala ini dimenangkan oleh Schifar yang memilih tetap bungkam setelah Lysandra merasa tidak tahan dengan kesunyian di antara mereka.

"Baiklah, kuterima maafmu!" Lysandra buru-buru menyendok es batu dari gelas dan mengunyahnya sambil menatap galak pada Schifar. "Sekarang bicara."

Sudut bibir Schifar berkedut, berusaha menahan ekspresi wajahnya tetap datar. Ia menunjuk mulutnya yang tertutup rapat dan membuat gerakan dengan tangan yang bila diterjemahkan menjadi 'sejak tadi mulutku terkunci rapat, bagaimana bisa meminta maaf padamu?'

Pelototan galak Lysandra menjelma menjadi kedipan tiada henti, tidak percaya dengan reaksi Schifar yang masih menolak bicara padanya. Mulutnya berhenti mengeluarkan suara berisik dari es batu yang masih dikunyah.

Dari mana kau belajar jadi keras kepala seperti ini, Schifaaaaar ...?

Ujung jemari kiri Schifar sibuk mengetuk-ngetuk permukaan meja sementara ujung telunjuk kanannya bolak-balik menelusuri pinggiran cangkir kopi. "Apa?"

Senyum langsung terbit di wajah Lysandra karena perang dingin mereka telah berakhir. Sembari memikirkan pertanyaan pertama, matanya menumbuk kipas di atas kepala mereka yang mengancam akan mematikan lilin di tengah meja. Melihat nyala api yang terus bergerak-gerak dan menolak untuk mati membangkitkan penasaran Lysandra. Tentu saja yang menarik perhatiannya bukan pergerakan api tersebut, melainkan sumbernya—pemantik api milik Schifar.

"Sekarang bilang, sejak kapan kau merokok?"

Lysandra membaca gerakan mulut Schifar yang membentuk kata 'merokok?' lalu mendengkus singkat. "Imajinasimu terlalu tinggi."

"Baguslah bila apa yang kupikirkan tidak benar." Lysandra menggaruk ujung hidungnya yang tidak gatal. Ia merasa perbincangan mereka tidak akan berkembang bila ia tidak segera menemukan topik baru yang bisa memancing respon lebih dari lelaki yang terlihat berusaha menahan untuk tidak menguap di depannya berakhir begitu saja.

Pertanyaan, pertanyaan, pertanyaan merasuklah dalam kepalaku! Jangan sia-siakan mukjizat malam ini begitu saja! Ini satu-satunya kesempatan bisa berdua saja dengan Schifar, tahu!

Schifar tahu bila Lysandra tengah memaksa sel-sel otaknya bekerja ekstra—khususnya malam ini—meski ia tidak tahu apa yang ada dalam benak si mungil ini karena ia bukanlah pembaca pikiran seperti 'dia'.

Sekelabat bayangan wajah seseorang berambut merah yang tengah meneteskan air mata dan mengatakan sesuatu kepadanya dalam kepulan asap tebal datang berkunjung lalu meredup begitu saja.

"Ugh ...." Schifar tertunduk sambil memegangi sisi kepalanya. Berbagai suara berebut meminta perhatiannya dengan nada-nada yang menuntut, mengiba, dan satu jeritan vokal yang menyalahkannya atas semua yang menimpa 'dia'.

"Kenapa? Kenapa bukan kau saja yang mati? Kembalikan ... kembalikan kakakku!"

"Schifar?" Tindakan Schifar semakin tidak wajar di mata Lysandra. Dari tangan yang bergetar sambil menangkup kuat-kuat kedua telinganya, padahal suasana di sekitar mereka cukup tenang.

Lysandra mengulurkan tangan dan menyentuh punggung tangan Schifar dan memanggil namanya dengan lembut. Suara Lysandra menyibak bisikan-bisikan sinis dan jahat yang menyuruhnya mengakhiri hidup sebagai satu-satunya bentuk penebusan dosa.

Sentuhan lembut Lysandra mengirim impuls hangat yang merasuk cepat hingga ke lubuk hati Schifar, persis yang dilakukan seseorang dalam ingatannya yang tetap berkabut. Perlahan ia membuka mata dan beradu tatap dengan Lysandra, "Lys?"

"Ah, eh! I—ini bukan seperti yang kau pikirkan! Ta—tadi kau seperti ini, lalu begini, terus begitu." Lysandra terkesiap dan langsung menarik tangannya, gelagapan sambil memeragakan semua tindakan Schifar secara berlebihan.

Melihat Schifar tidak memberikan reaksi apapun, Lysandra semakin gelagapan dan bentuk pertahanan terakhirnya adalah melarikan diri. "Permisi!" teriaknya sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk menarik perhatian wanita yang melayani mereka tadi.

"Ya, ada yang bisa diban—"

"Di mana toiletnya?" sambar Lysandra.

"Tu." Wanita berapron yang juga merangkap sebagai pemilik menyelesaikan kalimatnya yang terpotong sebelum menunjuk posisi toilet.

"Terima kasih!" Lysandra segera bangkit dan menoleh pada Schifar, "bila kau cerita pada Excelsis soal ini ..., " tangan Lysandra membentuk gerakan menggorok lehernya sendiri, "sediakan peti mati untukku!" lanjutnya lalu bergegas menuju toilet. Ia tidak ingin tahu bagaimana ekspresi Schifar saat ini.

"Ada apa dengannya?" gumam Schifar. Spesies perempuan memang sulit dimengerti sampai kapan pun.

***



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro