Chapter 4.2 - Fish It Out
Sesampainya di dalam, hawa dingin mencekam yang entah datang dari mana menjalari Excelsis, membuat bulu kuduknya berdiri kaku. Cahaya senter yang seadanya di tangan Aithne mengenai salah satu objek yang berhasil membuat Excelsis melunjak kaget dan menyembunyikan wajahnya di belakang Aithne.
Siapa yang tidak ingin melarikan diri dari tempat dingin perenggut indera penglihatan dan sekalinya mendapatkan kemampuan itu kembali, hal pertama yang dilihat Excelsis adalah sepasang mata besar yang melotot galak dan bayangan hitam besar bercabang-cabang seperti hendak mencabiknya dalam jarak yang sangat dekat.
"Ini hanya kepala rusa bertanduk banyak, EG. Lihatlah baik-baik." Aithne menyorotkan senternya supaya Excelsis bisa mendapatkan gambaran utuh dari makhluk yang ternyata jauh dari menyeramkan itu. "Semua ini adalah hasil tangkapan dan koleksi kami."
Meski redup, Excelsis bisa membayangkan wajah sumrigah Aithne dan binar di matanya ketika menceritakan masa-masa menjalani hobinya dulu bersama Maeveen dari suaranya yang terdengar ceria. "Ikan-ikan yang terlihat seperti produk cacat laboratorium ini ditangkap di beberapa negara."
Sejujurnya Excelsis tidak memiliki selera untuk melihat lebih lama bentuk ikan-ikan yang terlihat seperti hasil mutilasi beberapa binatang yang dijahit menjadi satu. Aithne menuntun Excelsis ke sisi yang terdapat tiga pigura berisi kupu-kupu dari jenis langka, nama Latin dari masing-masing spesies itu tertera di bawahnya. Hanya saja Excelsis tidak berniat menghafalnya.
Makin ke tengah ruangan, terdapat lima kotak kaca berisi hasil awetan burung yang tak pernah dilihat Excelsis, saking langkanya. Lalu patung ular dimana salah satunya memiliki dua kepala di tiap ujungnya, hiasan-hiasan lain yang mirip dengan desain penangkap mimpi, hiasan kepala bernuansa Indian dan artefak lain dari zamannya masing-masing.
Excelsis hanya bertanya-tanya dalam hati salah satu orang tuanya adalah seorang arkeolog atau kurator museum karena Aithne bisa menceritakan semua nilai-nilai historis dari setiap koleksi yang ada di ruangan ini. Namun, ada satu profesi yang menyelinap di kepalanya: pemburu harta karun.
Mereka tiba di bagian tengah museum pribadi dan Aithne menyuruh Excelsis duduk bersila pada sebuah lingkaran kecil yang menyala. Mungkin lingkaran tersebut memiliki kandungan fosfor sehingga bisa menyala dalam gelap.
Timbul satu pertanyaan serius dalam benak Excelsis, fosfor menyala dalam gelap setelah menyerap cahaya, tapi ruangan ini selalu dalam kondisi gelap gulita. Matanya jelalatan berusaha mencari sumber cahaya untuk menyalakan lingkaran tersebut—bila benar lingkaran itu mengandung fosfor.
"EG?"
"I—iya." Excelsis menuruti permintaan mamanya, tidak sadar bila ia melewati lingkaran yang lebih besar. Terdapat dua belas pancang berbentuk piramida di tepi lingkaran terluarnya.
Excelsis tidak tahu apa yang tengah dilakukan Aithne karena lelah mengikuti arah sorotan senter yang terus bergerak-gerak, tanda wanita tersebut tengah mencari sesuatu. Langkah kakinya juga tak kalah sibuk berpindah dari satu bagian ke bagian lain.
Sekitar hitungan 'domba ke-50 melompati pagar', Aithne duduk bersila sambil berhadap-hadapan dengan Excelsis. Ia telah memakai sebuah jubah berwarna terang dan hiasan kepala berbentuk serigala bertanduk.
Menurut penjelasannya, tanduk hitam melengkung yang bagian lancipnya menghadap ke depan itu hanya ditambahkan supaya terlihat sangar dan seram. Ia menggigit senter dan menyorotkan cahaya pada sebuah buku tebal yang ada di pangkuannya, sibuk membolak-balik halaman yang telah menguning hingga menemukan yang dicarinya.
Segala sesuatu menjadi semakin aneh di mata Excelsis yang masih tidak mengerti mengapa mamanya mengajaknya ke tempat ini dan bermain dukun-dukunan hanya untuk menghilangkan luka memar, bukankah seharusnya mereka tinggal menunggu papanya pulang dan semua akan baik-baik saja? Atau bila terlalu lama, ada mobil terparkir di garasi yang siap membawa mereka ke dokter, memberi resep dan menebusnya di apotek.
"Pejamkan matamu dan jangan mengintip—SAMA. SEKALI."
"Ok." Excelsis memejamkan mata hingga tidak tahu bila Aithne mengibas-ngibaskan tangan, memastikan putrinya telah melumpuhkan salah satu panca inderanya.
Iris mata Aithne yang berwarna biru perlahan bergeser hingga menjadi ungu terang. Pergeseran warna itu juga terjadi pada rambut hitamnya, warna sekundernya yang ungu sekarang menjadi warna utama dan lebih terang.
Telinga lancip berbulu mencuat keluar dari kedua sisi atas kepalanya, bagi mereka yang tidak menyukai cerita fantasi mengira ia hanya mengenakan bando bertelinga serigala. Apapun alasannya, Aithne ingin terus menyembunyikan jati dirinya dari Excelsis. Hiasan yang tersemat di kepalanya hanya untuk menyembunyikan telinga serigala yang dirasanya terlihat lucu.
Aithne mulai membaca mantera-mantera aneh dari buku tersebut sambil memosisikan kedua telapak tangannya yang saling berhadapan di depan dada. Ia berkonsentrasi sampai telapak tangannya mengeluarkan seberkas cahaya ungu yang semakin lama semakin pekat di antara kedua belah tangannya.
Cahaya ungu itu terlihat seperti nyala api di dalam bola kaca. Setelah merasa bola api ungu itu cukup terang di telapak tangannya, ia menyentaknya hingga bola api ungu tersebut melayang-layang di udara seperti bola arwah.
Dengan satu jentikan, bola ungunya pecah menjadi dua belas bola-bola kecil lalu berpencar dan menyambar puncak pancang piramida yang mengelilingi mereka. Perlahan pucuk piramida tersebut membuka seperti kuntum bunga yang mekar.
Kuntum bunga tersebut berperan sebagai tempat dan lilin itu sendiri, menerangi sekeliling Excelsis dan Aithne.
"Buka bajumu."
" Eh? " Meski enggan, Excelsis tetap menanggalkan pakaiannya, menyisakan bra merah muda bercorak taburan hati kecil berwarna merah. Seketika tubuhnya menggigil seperti sedang berada di atas danau yang membeku.
"Konsentrasi—jangan rasakan dinginnya," Aithne tahu Excelsis sedang berusaha melawan hawa dingin yang menggigit setiap inci tubuhnya dan masih melawan keinginan untuk meringkuk seperti bola. "Praktikkan sugesti pikiran yang diajarkan papa, EG."
Bibirnya terlalu gemetar untuk bicara sehingga Excelsis hanya mengangguk kaku lalu melemaskan seluruh ototnya yang mengencang. Pelajaran pertama adalah, 'Lumpuhkan indera perasa dengan berpikir sebaliknya'. Bila merasa dingin, pikirkan panas. Api.
Excelsis berusaha memvisualkan dalam pikirannya sebuah perapian yang tengah menyala di dekatnya dan duduk di sofa yang empuk.
Konsentrasi Excelsis berhasil membuatnya merasakan energi panas yang dipancarkan dari lidah-lidah api yang tengah melahap potongan demi potongan kayu kering. Seluruh tubuhnya terasa hangat hingga sepasang tangan pucat merangkulnya dari belakang sofa lalu mengecup dahinya. Sebagian rambut dari sosok tersebut menjuntai dan mengenai pipi hingga Excelsis mengira selembar kain sutra biru tengah membelai wajahnya.
Tunggu dulu—biru? Rambut biru!
Excelsis menahan desakan untuk membuka mata seperti yang biasa terjadi padanya bila mengalami mimpi buruk. Tangan Schifar yang terkalung di lehernya menjadi momok yang membuat jantungnya tiba-tiba berdebar kencang.
Excelsis menggigit bibir bawahnya, menyadari tidak pernah ada mimpi buruk yang justru menyuguhkan adegan yang dapat membuat wajahnya terasa terbakar dan khawatir bila jantungnya yang berpacu kencang diketahui wanita yang entah sedang melakukan apa di hadapannya.
Excelsis berusaha membuang adegan tersebut dari pikiran dan menuntut kepalanya untuk memberikan alasan-alasan logis demi memuaskan penyangkalan dalam hatinya.
Dua alasan yang berhasil mendapatkan voting tertinggi adalah,
"Sama sekali tidak ada arti apa-apa, hanya sedikit gangguan teknis dari mekanisme pikiran yang kau catut dari adegan romantis film drama."
"Selama di mobil dia bersikap aneh, jadi wajar bila kau mengkhawatirkan sahabatmu. Iya, kan?"
Aithne tidak tahu bila badai tengah berkecamuk dalam diri Excelsis hanya karena 'kesalahan teknis dari mekanisme pikiran yang tiba-tiba mencatut adegan romantis dari film drama', tapi setidaknya anak itu sudah terlihat relaks.
"EG, bersiaplah. Ini akan menyakitkan."
Excelsis merasakan sesuatu dalam perutnya bergerak-gerak seperti pantulan bola liar ke segala arah. Lagi-lagi rasa mual yang ingin membuatnya ingin muntah.
Apa ini ... kenapa semua kejadian memaksaku untuk muntah ... apakah aku terlalu rakus hingga sekarang aku berada dalam hukuman ...?
Pelupuk matanya terancam tidak bisa membendung rembesan cairan yang terperas dari kantong air mata. Rasa mualnya berganti dengan rasa melilit, nyeri, perih atau pedih.
Entah, Excelsis tidak bisa memilih mana kata yang paling cocok untuk mendeskripsikan apa yang dirasakannya. Ia meringis hingga ujung alisnya nyaris menyatu. Pada titik ini, air matanya bergulir jatuh, mengalir mengikuti setiap lekuk menurun di wajahnya, semakin lama semakin deras.
"Sedikit lagi, EG. Bertahanlah!" Aithne tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya setelah melihat Excelsis terkapar dengan punggung melengkung ke atas. Seluruh otot di tubuh Excelsis mengencang.
Warna merah di bibir tipis Excelsis terlihat tidak natural karena warna tersebut berasal dari pigmen yang terkandung dalam darah. Ya, Excelsis menggigit bibirnya hingga berdarah-darah. Tidak cukup penyiksaan visual, telinga Aithne pun turut menderita karena Excelsis sudah kehilangan kemampuannya untuk membentuk kata yang dapat dimengerti manusia.
Setiap Excelsis mengeluarkan suara rintihan, erangan, raungan, jeritan atau apa pun nama lain yang menggambarkan tingkat kesakitannya, hati Aithne seperti diiris dan ditembusi pisau secara bersamaan. Ia berusaha mengabaikan sengatan di matanya yang mulai berair.
Dari pusar Excelsis keluar benang tipis berwarna ungu. Benang itu terbentang dan berakhir pada simpul di jari tengah Aithne. Saat ini satu tangan Aithne yang lain sedang menahan benang tersebut supaya tidak memutuskan jarinya.
Ia terlihat seperti seseorang yang tengah memancing dan bertarung dengan penggigit umpannya—yang terbenam di balik pusar Excelsis. Apa pun yang tengah dipancingnya tengah melakukan perlawanan sengit sehingga terjadi proses tarik ulur yang alot.
Aithne tidak ingin benang tipisnya putus dan membiarkan sesuatu yang telah menggigit umpannya tetap bersarang dalam perut Excelsis. Benang tipis yang awalnya hanya menggores kulit telapak tangan sekarang bersarang di bagian dermis kulitnya, dan makin terbenam seiring dengan entakan demi entakan yang dihasilkan dari gerakan yang makin liar di perut Excelsis.
Aithne memang sudah menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menyembuhkan luka, tapi kemampuan itu menjadi tidak efektif sekarang. Ketika satu luka sembuh, tarikan demi tarikan kasar yang lain membuat luka baru. Pengulangan menyakitkan itu menjelaskan mengapa banyak ceceran dan genangan darah di lantai.
Napas Excelsis tertahan, tubuhnya mengejan hebat setelah memaksakan untuk membuat satu tarikan napas panjang, seperti itu adalah udara terakhir yang bisa dihirup sebelum mati dan terbebas dari rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya, "Ma ... ma ...."
Mendapatkan momentum, Aithne menyentak tali tipisnya dengan perhitungan akurat bila sesuatu yang sedang dipancing dari perut Excelsis akan tertarik keluar melalui pusar.
Sekelebat bayangan hitam tercerabut keluar. Di saat yang sama, Excelsis merasa nyawanya juga ikut tercabut dari tubuhnya. Sempat terbersit bila nyawa seseorang itu ternyata melompat keluar dari pusar, bukan perlahan keluar dari mulut.
Matanya mengedip pelan, menyadari bahwa penderitaannya sudah berakhir dan bisa beristirahat dengan tenang.
Selamat tinggal semuanya ... senang bisa bertemu kalian ....
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro