Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4.0 - Faint

"Pamanmu lucu."

"Hegh. Sama sekali tidak." Schifar melepas dasi lalu mengikat asal rambutnya dengan kain biru tua berbahan nilon tersebut hingga terjurai seperti buntut kuda.

Sekilas mata Excelsis menangkap sesuatu yang selalu tersembunyi di balik sejumput poni pajang di sisi wajah Schifar. Ada empat garis yang melintang dari pelipis kiri dan berakhir di area tulang pipinya. Dilihat dari bentuknya, Excelsis menduga garis-garis tersebut merupakan bekas luka lama, mungkin akibat cakaran binatang.

"Hei, luka itu kau dapat dari mana?"

"Lawan yang kuat." Mata Schifar menatap tajam ke arah jalan. Sebenarnya Schifar bukan ingin menantang siapa pun untuk berkelahi karena sorot matanya itu, tapi memang tidak ingin bicara saat ini.

Lawan yang kuat? Singa, harimau, leopard, jaguar ....

Excelsis bingung karena sosok 'lawan kuat' yang mengantri dalam kepalanya hanyalah deretan hewan karnivora berkuku tajam penghuni kebun binatang.

Apa tidak ada manusia yang bisa menjadi tandingan Schifar hingga ia harus berkelahi dengan binatang?' adalah pertanyaan yang sempat lewat seperti iklan berjalan dan menggelitik Excelsis untuk mewujudkannya dalam bentuk suara, tapi diurungkan.

"Ooh." Beruntung Excelsis termasuk salah satu makhluk yang peka dan bisa menangkap sinyal yang disiarkan orang-orang di sekitarnya melalui bahasa tubuh mereka. Sayang, kemampuan berkualitas tinggi ini belum dikuasai dengan baik oleh Lysandra.

Di lampu merah, tangan Schifar bergerak ke kerah bajunya dan mulai mencopot tiga kancing teratas. Gerah, meskipun pendingin udara mobilnya masih berfungsi dengan baik. Entah mengapa Excelsis merasakan getaran depresi sekaligus agresi yang kuat darinya. Dua getaran emosi yang bertolak belakang ini membuat Excelsis bingung sekaligus khawatir dengan kondisi kejiwaan Schifar.

Beberapa detik berjalan sebelum Schifar sadar ada sepasang mata yang sedari tadi menatapnya lekat-lekat dalam diam. "Ada apa?"

"Kau baik-baik saja?"

"Ya. Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"

"Tidak, tidak apa-apa." Excelsis merasa konyol sendiri karena mengkhawatirkan hal yang tidak perlu.

Ini bukan pertama kalinya Excelsis merasa Schifar terlalu dingin dan tak bersahabat bila getaran itu tertangkap sinyal pekanya. Namun, ia tidak bisa membaca isi hati orang dan hanya bisa bertanya-tanya mengapa seseorang terkadang mengeluarkan gelombang aneh seperti itu. Di luar sikap dingin, Schifar hanyalah seseorang yang sangat perhatian dan gampang tersipu—meski yang bersangkutan tidak akan mengakui—bila menghadapi godaannya dan Lysandra.

Sejak awal, hanya Lysandra yang berusaha mendekati Schifar karena di mata Excelsis murid pindahan di tengah semester adalah ancaman. Berita buruknya, ancaman itu terbukti benar. Ia kalah baik dalam bidang akademik dan bela diri.

Dalam tiga bulan Schifar sudah menjadi ketua dalam kegiatan ekstrakurikuler kenpo laki-laki. Pertengkaran tidak bisa dihindarkan selama tiga bulan ke depan. Excelsis menyebut masa-masa yang harus dilaluinya sebagai 'kehidupan neraka'.

Hal yang selalu menjadi topik pertengkaran biasanya menyangkut penggunaan gym sebagai tempat latihan, masing-masing tidak bisa mengalah satu sama lain untuk urusan ini. Lalu pandangan beberapa siswa lelaki yang menganggap perempuan yang belajar seni bela diri hanyalah tindakan sia-sia karena mereka tetap membutuhkan seorang lelaki untuk melindungi mereka.

Ditambah, seni bela diri yang kasar tidak sesuai dengan citra perempuan yang feminin dan lemah lembut. Namun, permusuhan itu mereda setelah Schifar menolongnya dan Lysandra dalam sebuah insiden yang sempat masuk berita nasional. Sejak saat itulah keduanya resmi berdamai dan terbentuklah trio Tuan Putri dan Kirin Kembar.

***

Sekitar setengah jam perjalanan, mobil Schifar terparkir di depan pagar bercat hitam dan emas setinggi tiga meter yang memiliki emblem keluarga Vladimatvei.

"Trims, Schifar. Sampaikan salamku pada Lysa."

"Ya. Masuklah." Schifar menunggu Excelsis menghilang di balik pagar mirip penjara yang telah terbuka setelah petugas yang selalu berdiam di posnya melihat putri majikan mereka sudah pulang, meski agak heran dengan jam pulangnya yang jauh lebih awal.

Schifar langsung menginjak gas dalam-dalam hingga dahi Excelsis mengerut.

Kenapa harus ngebut kalau mau ke rumah Lysa. Rumah kita kan hanya beda sepuluh blok? Apa tidak akan kelewatan? Kenapa buru-buru sekali?

Keluar dari gerbang utama perumahan Excelsis, Schifar menepikan mobil untuk memeriksa data-data yang dikirim Gunther ke ponselnya. Titik target mereka berada di selatan, area yang tidak ada pemukiman penduduk karena termasuk wilayah hutan lindung. Lagipula tidak ada yang mau membuka lahan di area yang hanya terdiri dari hutan lebat dan lembah-lembah curam. Satu-satunya kelompok manusia yang berada di sana hanyalah penebang kayu dan penambang batu bara, itu pun di daerah yang dekat dengan kota.

"EG, kau sudah pulang?" Kepala seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluhan tahun menyembul dari balkon lantai dua rumah mewah bergaya modern yang didominasi oleh warna salmon.

Embusan angin menerbangkan rambut panjang hitamnya yang memantulkan warna keunguan. Warna sekunder ini hanya bisa dilihat bila mendapat siraman cahaya yang terang seperti saat ini, sewaktu matahari tengah terik-teriknya bersinar. Wanita yang selalu berbalut pakaian berwarna ungu pastel ini bernama Aithne Ilyana Timofei.

"I—iya, Ma!" teriak Excelsis sebelum melangkah masuk ke pintu kayu besar yang sudah terbuka lebar. Wajah salah satu pelayan rumah mereka telah menyambutnya.

"Nona Excelsis," sapa seorang gadis muda sambil tersenyum dan mengulurkan tangan untuk mengambil tas majikan mudanya.

"Mamaku masih belum bosan berkebun, kan?" Mata Excelsis menyapu lantai dua di dekat tangga, berharap tidak menemukan sosok Aithne berdiri di sana.

"Belum jam tiga, Nona."

"Bagus." Seulas senyum mengembang di wajah Excelsis sebelum melepas sepatu dan memakai sendal rumah kesayangan yang berbentuk kepala rakun berbulu merah muda. Saat ini ia hanya ingin mandi dan berharap dengan tidur sakit di perutnya akan hilang.

"Ada yang perlu saya bawakan, Nona?"

Excelsis menggeleng. "Ayo naik," bisiknya sambil mengendap-ngendap menaiki tangga.

"Nona, kenapa—"

"Ssst ...!" Excelsis melintang telunjuk di depan bibir lalu melirik ke bawah sambil berkata, "Aku ingin istirahat, perutku sakit. Nona Bulan berkunjung."

"Oh ... iya, iya." Kepala si pelayan mengangguk cepat dan segera mendahului Excelsis.

Sesampainya di depan pintu putih yang tergantung hiasan bertuliskan 'Tempat Peristirahatan Terakhir EXCELSIS', pelayan muda berseragam hitam dengan celemek renda berwarna putih membukakan pintu dan meletakkan tas Excelsis di dekat rak buku.

"Terima kasih. Bila mamaku tanya, bilang seperti tadi, ya?" Excelsis mengedipkan sebelah mata dan hendak menutup pintu.

"Bilang apa, EG?"Jantung Excelsis serasa melompat naik ke tenggorokan karena mendengar suara Aithne yang tangannya sudah menyerobot masuk dan sekarang terjepit di antara kusen dan daun pintu.

Ternyata Aithne tidak meneruskan kegiatannya dan memilih untuk berinteraksi dengan Excelsis. Tentu saja ia curiga dengan jam kepulangan Excelsis yang terlalu awal, belum lagi tingkah Excelsis yang bukan hanya tidak datang menghampiri seperti biasa, tapi malah mengendap-ngendap seperti pencuri di siang hari, di rumahnya sendiri.

"Ma—Mama! Maaf!" Excelsis segera menarik kenop pintu dan menyambar tangan mamanya, memeriksa dengan teliti untuk memastikan punggung dan telapak tangan Aitne baik-baik saja.

Meski tidak menemukan luka memar, Excelsis menunduk dan meniup pelan untuk meredakan rasa sakit yang bahkan tidak dirasakan oleh Aithne. Semua akan terasa normal bila Excelsis melakukannya secara natural.

Aithne tahu persis bila Excelsis tiba-tiba melakukan hal yang tidak pernah dilakukan sepenuh hati dan menghindari kontak mata, pasti karena ada yang disembunyikan darinya. "EG."

"Hm?"

"Ada apa?"

"Mencoba teknik baru yang katanya ampuh meredakan sakit. Merasa lebih baik?"

"Oh ..., belajar dari mana?"

"Drama yang Mama nonton kemarin sore."

"Kemarin sore kita bertiga makan malam di luar."

"Oh iya, kemarin sorenya lagi."

"EG~"

"Maaf ma ...." Excelsis langsung memeluk Aithne, merasa tidak ada gunanya untuk terus berkilah. Wanita bertubuh langsing ini terlalu sulit untuk diperdaya. "Aku hanya izin pulang karena merasa kurang sehat dan ingin istirahat. Itu saja."

"Kenapa tidak menelepon?"

"Aku tidak ingin merepotkan. Lagipula aku sudah sampai dengan selamat, kan?"

"Siapa yang mengantar?"

"Schifar."

"Oh." Sejak dulu Aithne tidak suka dengan Schifar bahkan pernah mengancam akan mengacak-acak hidupnya bila ternyata lelaki itu memiliki motif tersembunyi. Aithne mengusap-usap belakang kepala Excelsis lalu meraba pipinya. "Tidak demam."

"Sakit perut."

"Salah makan?"

"Eng—ya, sepertinya begitu. Sempat muntah soalnya, tapi sudah makan lagi. Mungkin terlalu banyak sampai terasa begah."

"Sampai begah? Etalase di kantin dimakan juga?" Mata Aithne membesar, pura-pura terkejut.

"Mama ...." Excelsis mencebik, pura-pura merajuk.

Aithne tertawa kecil dan mengecup dahi Excelsis. "Ganti baju dulu sana."

"Em," balas Excelsis sambil mengangguk mantap, senang bisa lolos dengan mudah dari gempuran pertanyaan Aithne.

Setelah pintu tertutup rapat, Excelsis buru-buru mengeluarkan plastik berisi seragam sekolahnya. Kemeja dan rok pernuh dengan bercak-bercak bekas muntahannya sendiri hingga ia harus menahan desakan ingin muntah. Dua potong seragam tersebut berakhir di keranjang baju kotor.

Di depan kaca, Excelsis mengangkat kaos pinjaman dari Suster May hingga mengekspos perut langsingnya. Luka memar berbentuk tapak jari Lysandra masih tercetak.

Lysa, sejak kapan kau belajar kung fu dan menguasai jurus 'Tapak Dewa Sakti Menghancurkan Lemak'?

"EG, coba minum ini." Satu tangan Aithne memegang kenop pintu yang sudah terbuka, sementara yang satu lagi memegang secangkir minuman. Excelsis tersentak kaget dan buru-buru menutup perutnya, tapi kalah cepat dari murka sang mama. "Siapa yang melakukannya!"

"Mama ...." Wajah Lysandra langsung membayang, membuat Excelsis lebih mengkhawatirkan gadis itu dibanding dirinya sendiri saat ini.

Amukan wanita di depannya sangat mengerikan. Apabila murka telah menguasai, Aithne tidak peduli seseorang yang berani berurusan dengannya itu laki-laki atau perempuan, teman atau musuh, mereka semua pasti akan berakhir di rumah sakit dengan beberapa ruas tulang yang patah. Menyelesaikan masalah dengan kekerasan seolah menjadi kode etik dari keluarga Vladimatvei, terutama duo ibu dan anak ini. Hanya saja, bila Excelsis—sedikit—sudah bertobat, Aithne masih berusaha mengendalikan kemarahan yang menggebu-gebu bila sudah menyangkut keselamatan keluarga kecilnya.

"Cepat bilang, EG!" Excelsis melihat kegeraman dalam mata Aithne yang semakin menggelap. Cangkir yang dipegang telah jatuh dan hancur berkeping-keping, bercampur dengan ceceran teh di lantai, menyisakan patahan pegangan cangkir yang terkepal erat. Excelsis semakin ngeri membayangkan nasib Lysandra, apakah ia akan selamat dari cengkeraman amarah mamanya.

Excelsis menunduk, memutus kontak dengan mata Aithne yang semakin menakutkan. Aroma besi berkarat melayang-layang di udara, membangkitkan denyutan-denyutan nyeri di kepala yang membuatnya limbung dan harus berjuang melawan keinginan untuk muntah. Sambil bersandar pada lemari, Excelsis meremas kepalanya sekuat mungkin dan berakhir dengan benturan demi benturan pada permukaan kaca di lemari yang sama demi sekedar mengurangi sakit yang seperti akan membelah tengkoraknya.

Dirinya terus bertarung dengan rasa mual dan aroma yang semakin pekat memenuhi udara, seperti memaksanya mengigat sesuatu yang terkubur, ingatan-ingatan samar dari masa lalu, adegan demi adegan yang entah kenapa seperti sebuah film yang disensor. Semakin keras usaha Excelsis menajamkan ingatan, adegan itu akan menghilang satu demi satu hingga yang tersisa hanya aroma yang semakin menyakiti kepala. Namun, satu hal yang pasti, Excelsis merasa aroma inilah yang membuatnya masih bernapas hingga saat ini.

Masih dalam status yang sudah tidak mengenal kondisi sekitar, tangan seseorang menjamah sambil memanggil lembut namanya. Tak lama tubuh Excelsis mengudara karena ditatang sepasang lengan ramping nan kuat dan dibaringkan pada permukaan yang lembut. Matanya yang sayu sempat menangkap cahaya dari lampu gantung kristal di langit-langit sebelum ditelan kegelapan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro