Chapter 3.8 - Darkside
"Suster May, terima kasih sudah meminjamkan kamar mandi dan bajunya." Excelsis menampakkan batang hidungnya dalam balutan kaos putih dan celana katun panjang berwarna senada yang dipinjamkan Suster May. "Akan kukembalikan besok setelah dicuci."
"Tidak perlu buru-buru," balas Suster May sambil tersenyum.
"Maaf ... sudah merepotkan."
"Tidak, sama sekali tidak. Istirahatlah dulu sampai asistenku kembali."
"Baiklah." Excelsis memilih menurut dan mengambil langkah pertamanya.
"Perlu dipapah?" Suster memperhatikan Schifar yang menatap Excelsis dalam diam dan menendang kakinya di bawah meja.
Sontak perhatian Schifar beralih dan ingin melancarkan protes. Namun, diurungkan setelah Suster May memberi kode untuk membantu Excelsis.
***
"Pantas saja sampai sekarang masih perjaka."
Untuk sesaat Schifar membeku dalam posisinya yang membungkuk hendak duduk. "Apa maksudmu?"
"Eh ... aku salah?"
Perubahan wajah Suster May dari mengolok dan sekarang seolah-olah terkejut dan menatap jijik membuat ingin Schifar mencolok mata si calon tante. Ia tahu bila Suster May hanya bergurau, tetapi terkadang gurauan wanita ini membuatnya serba salah untuk menanggapi dan berakhir memberikan impresi yang keliru.
"Hei, aku tidak suka tomat. Jadi, singkirkan pipi tomatmu itu." Suster May mengibas-ngibaskan tangannya.
Tidak puas dengan hanya berdecak, Schifar mendengkus, berharap Suster May segera kembali ke sikap seriusnya. "May, kenapa dia menghindar menatapku? Tadi dia baik-baik saja."
"Ya ampun, kenapa setiap perjaka punya sindrom ini!"
"Sindrom?"
"Sindrom bodoh, apalagi?"
"Kau mengataiku bodoh?"
"Kalau bukan bodoh, apa namanya? Tentu saja dia malu, kau tahu mengapa dia ngotot untuk mandi?"
"Ya, dia gila kebersihan. Kena muntahan pasti tidak nyaman."
"Hanya muntah? Ayolah, kau lebih cerdas dari ini."
Schifar terdiam sejenak mencoba memecahkan teka-teki yang diberikan Suster May. Beruntung akhirnya ia mengingat apa yang terjadi setelah memikirkan alasan Excelsis terburu-buru kala itu. Titik penting selain dipukul Lysandra adalah tujuan Excelsis untuk memuaskan hasrat ingin buang kecilnya!
"Ha~ah, ternyata itu."
"Pintar. Bila kau tidak bisa menemukan jawabannya, aku sudah berencana mentransfer Feeling dia." Mata Suster May tergencet pipinya yang terangkat.
"Tidak perlu." Schifar tidak mau merasakan sensasi malu yang dialami Excelsis.
***
Mata Schifar tertancap pada deretan foto rontgen milik Excelsis yang dipasang pada alat penerang di belakang suster May sambil mendengarkan semua informasi yang diberikan wanita di hadapannya.
"Apakah kau akan memberikan foto-foto ini kepada dokter ahli penyakit dalam untuk diteliti lebih lanjut?"
Sudut bibir suster May terangkat, sedikit tidak percaya Schifar akan melontarkan pertanyaan yang bisa dijawabnya sendiri dengan satu kata 'tidak'. Namun, melihat kelaparan Schifar untuk mendapatkan satu kata tersebut, ia semakin tidak ingin memberitahu secara langsung dan memilih menyuapi potongan-potongan informasi yang dimiliki saat ini.
"Kau lihat ini ...?" tanya Suster May sambil menunjuk dengan ujung pulpen, membuka petunjuk pertama. "Sepertiga hatinya hancur disertai bagian usus yang ini, tapi apa yang paling banyak dimuntahkan?"
"Entahlah, mungkin makanan yang tercampur dengan darah akibat cedera luka dalam?" tebak Schifar.
Suster May membetulkan kaca mata berujung runcing yang dipakainya. "Aha. Selain itu, apa yang kau bilang waktu membawa dia ke sini?"
"Pingsan karena kelaparan."
"Dengan cedera parah seperti itu dan kau berharap ada yang akan percaya?" tanya Suster May, sedikit mendramatisir. "Bila kau mengerti uraianku barusan, tentu kau sudah tahu apa yang akan kulakukan terhadap foto-foto ini, bukan begitu?"
"Ya."
Mendengar jawaban Schifar, suster May menyunggingkan senyum puas. Ia sangat percaya dengan kecerdasan yang dimiliki lelaki di hadapannya untuk merangkum dan membuat kesimpulan dari pertanyaan yang dilontarkan sendiri adalah hal yang sangat mudah seperti menjentikkan jari. Bagi wanita seksi ini, langsung menjawab setiap pertanyaan tanpa merangsang lawan bicara untuk berpikir, adalah kegiatan yang sangat cepat membunuh rasa antusiasnya.
Setelah sejenak berpikir, Schifar melanjutkan pertanyaan yang telah mengurut panjang dalam kepalanya. "Lalu apa yang akan kau lakukan bila mereka meminta hasil pemeriksaanmu?"
"Hmm ... bagaimana ya ... bila sekali atau dua kali, mungkin bisa kutolak secara halus. Namun, bila mereka terlalu mengganggu, mengisap habis nutrisi mereka bukanlah ide yang buruk. Dalam hal ini kau satu perahu denganku, 'kan?" Suster May menjilat bibir merah sensualnya yang berkilat-kilat memantulkan cahaya lampu.
Schifar merasa tengah membohongi diri sendiri bila mengatakan sorot kejam di mata Suster May tidak membuatnya menggigil. Insting apa yang ada pada binatang yang menduduki puncak rantai makanan bila mereka lelah dan kelaparan? Aku ingin memakan semuanya. Lelah diganggu bisa dijadikan pembenaran untuk tindakan impulsif mereka. Dan Suster May adalah wanita yang memiliki kapasitas untuk membuktikan yang telah terucap.
"Kau ingin aku melihat tumpukan mayat yang mengering seperti mumi? Tidak, terima kasih. Aku naik perahu berikutnya."
"Awww. Kupikir itu ide yang sangat bagus, setidaknya mengurangi populasi makhluk tak berguna."
"Tidak. Itu ide yang SANGAT buruk, May. Kau tahu bagaimana si Maniak Tua itu. Jangan menjadi—" Sekelebat ingatan yang sangat jauh di masa lalu tiba-tiba menyergap dalam benak Schifar.
Sosok pria bertubuh besar dengan mata merah menyala yang dipenuhi dendam dan amarah tengah mencekik seorang wanita bertanduk ulir di tepi jurang. Kaki wanita tersebut menggelepar-gelepar karena tidak bisa memijak apa pun. Tubuhnya tergantung di udara dan hanya bisa memegang kuat pada tangan pria tersebut sambil berurai air mata. Memohon pengampunan dengan suara parau yang terputus-putus di antara helaan napas yang semakin pendek.
Di kaki pria besar tersebut tergeletak mayat seorang lelaki yang juga bertanduk, sepertinya berasal dari ras yang sama dengan si wanita. Hanya satu kata yang terucap dari pria besar tersebut sebelum melepas wanita tersebut menemui ajal.
"Pengkhianat." Suster May mengulang kata tersebut.
Schifar melirik suster May dari sudut matanya yang runcing, memperparah kesan tidak bersahabat yang sudah lama melekat erat. "Berhentilah mengintipku ...."
"Schifar oh Schifar. Lihatlah raut wajahmu sekarang." Suster May menggeser cermin duduk yang terletak di atas meja hingga Schifar bisa melihat pantulan wajahnya sendiri. "Apakah aku perlu mengintip bila wajahmu menyiarkan dengan jelas apa yang ada di dalam sana?"
Schifar bertanya dalam hati bila sosok bemata tajam di dalam sana sungguh-sungguh dirinya, bagaimana mungkin ia menunjukkan ekspresi memalukan seperti itu di hadapan seorang wanita. Ekspresi di dalam cermin adalah gambaran seseorang yang tersakiti seolah-olah dia yang menjadi objek penderita, sementara yang mati adalah orang lain.
Tidak mendapat respon, Suster May mengutarakan opininya, "Wanita itu melakukan sesuatu yang tak termaafkan, Schifar. Dia pantas menuai apa yang dia tanam."
"Aku tahu ...." Schifar nyaris bergumam untuk diri sendiri. Meski ia setuju dengan hukum 'tanam-tuai', kenyataan berkata lain. Sulit baginya untuk merangkul konsep tersebut tanpa merasa bersalah.
Melihat mata Schifar masih dipenuhi konflik, Suster May meletakkan kedua siku di atas meja dan menyandarkan dagu di atas jemari yang bertautan. Tatapannya berubah serius. "Schifar—"
Schifar mengantisipasi apa yang akan keluar dari mulut wanita seksi tersebut. Sikap dan wajah serius suster May pasti mengindikasikan ada informasi penting yang ingin dibaginya.
"Kau khawatir padaku? Awww, manisnya ...." Wanita berseragam serba putih ini hanya terkekeh melihat wajah terkhianati Schifar.
"Seriuslah." Schifar memutar bola matanya sambil menengadah, lelah dengan semua godaan Suster May.
"Tidak seru."
Schifar seperti kehabisan energi untuk menanggapi gerutuan Suster May. Wanita itu memang mengharapkan reaksi menggemaskan dari si rambut biru yang entah mengapa terlihat tak bersemangat hari ini.
***
Glosarium:
Feeling transfer (mentransfer Feeling) : Salah satu kemampuan yang dimiliki succubus adalah memindahkan atau lebih tepatnya memancarkan perasaan yang dimiliki seseorang pada targetnya. Mereka menyebut perasaan seseorang sebagai Feeling.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro