Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3.7 - Broken Yet Holding On

"Exis! Apa yang terjadi padamu?" Schifar memegangi Excelsis untuk membantunya berdiri.

Wajah iri dan kesal menghiasi wajah para siswa karena betapa beruntungnya lelaki jangkung ini yang bisa leluasa menyentuh kulit halus Excelsis. Tidak semua orang diberi kesempatan yang sama, mendekat saja sulit apalagi menyentuh. Mustahil.

"Schi—Schi, Schifar ... ma ... ti, a—apa, apa aku, aku a—kan ma ... ti ...?"

"Tentu saja tidak." Schifar mengusap-ngusap lembut punggung Excelsis yang masih melengkung seperti udang karena gadis itu tidak sanggup untuk menegakkan diri. Melihat gadis tangguh yang terlihat mengenaskan seperti sekarang, membuat Schifar ingin bersumpah untuk membaktikan diri menjadi pelindung Excelsis sampai akhir hayatnya.

"Lys—" Tangan Excelsis tidak pernah meninggalkan perutnya.

"Iya, aku sudah dengar." Schifar sulit menerima kenyataan bila Lysandra adalah penyerang Excelsis. Matanya berkelana untuk mencari sosok pendek berambut cokelat. Namun, hanya sentira Lysandra yang tertinggal. Selain itu, ada sentira anyir bercampur air laut yang pekat mengalir dari arah toilet.

Laut lagi, hah?

Schifar membopong Excelsis untuk dibawa ke klinik kesehatan, kali ini dengan lebih mudah karena tidak mendapatkan protes dari yang bersangkutan. Ketahanan Excelsis runtuh dan pingsan dalam dekapannya.

***

Suster May tengah bertugas di klinik ketika Schifar datang. Setelah mendengar sedikit penjelasan dari Schifar ia langsung menyuruh membaringkan Excelsis di atas ranjang kosong dan menutup rapat pintu geser yang berada di sampingnya. Schifar memilih menunggu di luar.

"Kau lihat ini?" Suster May keluar dari bilik pemeriksaan dan menunjukkan pelindung perut Excelsis. Ada cetakan tapak tangan pada lempengan tipis ini.

Wajah Schifar mengeras, tidak dapat berkata-kata. Suster May mengangkat benda fleksibel yang mengikuti lekuk tubuh ini hingga melampaui kepala mereka berdua. Cahaya lampu menembus sela-sela bulatan mikro yang saling bertautan seperti rantai. Ada lubang menganga selebar dua sentimeter di area yang terdapat cetakan tapan tangan.

Walau merasa aneh dengan keberadaan lubang kecil tersebut, Schifar lebih mengkhawatirkan kondisi gadis yang masih terkapar di dalam bilik pemeriksaan. "May, panggil aku bila dia sudah siuman."

"Kau mau ke mana?"

"Memeriksa sesuatu."

Sepuluh menit berlalu dan Schifar menyembulkan kepala ke dalam bilik pemeriksaan. "Dia sudah siuman?"

"Belum." Suster May keluar dan membiarkan Schifar duduk di samping ranjang Excelsis.

Lima menit kemudian kesadaran Excelsis kembali karena mengendus wangi pizza yang didekatkan ke hidungnya. "Schifar, aku pingsan ya?" Excelsis berpaling ke arah Schifar setelah mengetahui ia berada di klinik sekolah.

"Ya." Schifar mengatur bantal kepala untuk tempat Excelsis bersandar. "Bisa makan?"

"Entahlah." Excelsis meraba perutnya. "Maaf ... sepertinya aku memuntahkan seluruh makanan yang kau belikan tadi."

"Ya, aku tahu. Setelah May menyelesaikan makan siangnya, aku akan membelikan makanan pengganti. Pizza sekecil ini pasti tidak akan cukup."

"Trims." Sudut bibir Excelsis berkedut. Ia ingin tersenyum tapi perasaan malu yang merasuk seakan mengunci otot wajahnya.

Gemuruh di perut Excelsis menciptakan keheningan yang aneh di antara mereka. Rona kemerahan di pipi Excelsis dengan cepat merembet hingga ke ujung telinga. Hanya dengan petunjuk kecil ini Schifar langsung berkesimpulan penyebab gadis di ujung hidungnya pingsan bukan karena cedera yang diterima, melainkan kelaparan akut.

Bukti lain, sebelum ia mendekatkan pizza mini yang tersimpan di saku jas, hidung Excelsis terus mengendus-ngendus seperti kucing karena aroma bento yang tengah dinikmati Suster May. Padahal, matanya masih tertutup rapat.

Jadi, memang aroma pizza mungil inilah yang berhasil memanggil kesadaran Excelsis.

"Sudah siuman?" Kepala Suster May menyembul dari dari balik tirai. Ia meletakkan sesuatu di pangkuan Schifar. "Coba kita cek suhunya," gumam Suster May sambil menembakkan sensor pengukur suhu di dahi Excelsis dan mengecek angka yang muncul pada benda yang mirip pistol tersebut. "Bagus. Normal."

"Terima kasih. Maaf merepotkan."

"Tidak. Sama sekali tidak," balas Suster May sambil tersenyum ramah. "Aku akan menulis surat pengantar supaya kau bisa dipulangkan. Tapi sebelumnya nikmati makan siang kalian, ok?" Suster May mengedipkan matanya dan keluar lagi.

Excelsis mengerling ke arah Schifar sambil melemparkan senyum penuh arti.

"Jangan salah sangka. Saat ini dia berkencan dengan pamanku, dia hanya berusaha mengakrabkan diri." Schifar tidak ingin mengungkapkan bahwa sifat asli seorang succubus penuh dengan gairah seksual yang selalu meledak-ledak dan kedipan genit itu hanya 'taburan gula halus di atas kue'.

Ia juga tidak akan memberitahu selera berpakaian wanita itu bila kata 'suster' di depan namanya dilepas. Entah sudah berapa kali Schifar dikagetkan dengan penampakan wanita tersebut di pagi hari dengan pakaian sangat minim tengah membongkar isi kulkas mereka.

"Oh." Keinginan Excelsis untuk menggoda Schifar lebih lanjut langsung surut setelah mengetahui rahasia kecil Suster May. "Kau tidak kembali ke kelas?"

"Nah. Aku memang sudah berencana bolos di kelas Nona Seymour," balas Schifar. Tangannya sibuk membuka bungkusan di pangkuan.

"Aww, saat ini pasti dia sedih sekali." Excelsis memasang wajah simpati sambil pura-pura menerawang.

Schifar menghela napas. "Wanita sekarang kenapa tidak bisa seterus terang May. Bila wanita itu menginginkan pamanku, kenapa harus melibatkan aku? Sudah berkali-kali kubilang tidak ingin menjadi perantara mereka, tapi tetap saja dia terus menggangguku. Menyusahkan!"

Sangat jarang Excelsis bisa mendengar Schifar memuntahkan kalimat panjang, sambil merengut pula. Ia terlihat manis seperti seekor anak anjing yang mengadu pada induknya.

"Kenapa melihatku seperti itu?" Melihat senyum di wajah Excelsis yang justru semakin mengembang membuat Schifar khawatir. Ia takut bila kelaparan ekstrim bisa memengaruhi kewarasan seseorang.

"Jadi aku harus melihatmu seperti ini?" Excelsis menjulingkan mata untuk memancing reaksi Schifar. Namun, reaksi yang ditunggu tak kunjung datang hingga ia harus berhenti karena syaraf-syaraf matanya mulai sakit.

Schifar bukannya tidak bereaksi. Pipinya sempat menggembung hingga ia harus membuang muka ke arah jendela supaya tidak tertawa. Kekonyolan Lysandra ternyata sudah menghinggapi Excelsis.

"Kalau ingin tertawa, tertawa saja. Buat apa pakai buang muka segala. Kelihatan itu pipimu menggembung seperti tupai."

"Kata siapa aku ingin tertawa?" Schifar berpaling lagi dan pura-pura serius.

"Coba kalau Lysa melihat yang tadi, kau bisa membuatnya mati bahagia." Excelsis melulum ujung jarinya yang terkena saus tomat dan tersenyum hingga memunculkan sepasang lesung pipi yang jarang terlihat.

Rahang Schifar mengencang. "Aku tidak suka dilabeli sebagai pembunuh, meski mereka bahagia menerima kematiannya." Schifar tahu bila Excelsis hanya bercanda, tapi tenggorokannya seperti disangkuti empedu yang pahit. Ia buru-buru menundukkan kepala dan mengibas-ngibas lutut, seolah-olah ada debu yang harus dienyahkan dari celana panjangnya.

Dari sikap dan perubahan wajah yang tiba-tiba masam, Excelsis langsung tanggap bila Schifar tidak suka dengan pembicaraan mereka, terutama dengan kata 'mati' yang diasosiasikan dengan 'pembunuhan'. "Maaf. Aku kelewatan, ya?"

"Nah. Makanlah ini, aku akan mengambil surat yang dibuat May dan membawanya ke kelas." Schifar menyodorkan bungkusan makanan yang diberikan oleh calon tantenya—dengan nomor urut kesekian—kepada Excelsis lalu bangkit berdiri.

"I—iya." Excelsis mengulurkan tangan, tapi matanya terus mengikuti Schifar hingga ia menghilang di balik pintu yang digeser hingga setengah tertutup. "Haah ... Ada apa dengan dia, suasana hatinya seperti perempuan yang sedang datang bulan."

Di balik pintu, langkah Schifar terhenti mendengar desahan pelan Excelsis. Ia menundukkan kepala sambil menatap telapak tangan yang seolah-olah bersimbah darah, bukan darahnya tapi darah mereka yang menjadi korban.

Sontak sorot matanya dipenuhi kesedihan serta kemarahan yang berkecamuk, mengancam akan mengoyak hatinya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil tanpa bentuk.

"Andai kau tahu, Exis ...."

***


Glosarium

Sentira
: bau khas (scent)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro