Chapter 2.0 - Seashore
Pantai Lumicola, Laneford Laguna, Arlukha.
Senyum bulan sabit sudah lama merekah, dikelilingi oleh beberapa titik-titik cahaya yang sesekali tampak berkilat-kilat. Sekumpulan pemuda tengah menikmati hidup di tepi pantai yang tak jauh dari sebuah penginapan kecil tempat mereka menginap.
Di pondokan kecil beratapkan rumbia dan disangga beberapa bambu, bernaung empat orang. Dua orang yang menunggu pesanannya selesai dibuat oleh seorang bartender. Tangan pria berkulit cokelat ini sibuk mengukur, mencampur dan mengocok minuman keras.
Deretan botol dan kaleng minuman beraneka merek berjejer rapi di lemari bertingkat di belakang si bartender berdiri. Tidaklah sulit untuk mengetahui cairan apa yang tertampung di dalam, terutama yang berada di sisi kiri—minuman beralkohol berkadar dua puluh persen atau lebih. Di area yang didominasi oleh kaleng, jenis minumannya lebih beragam dan tidak selalu mengandung alkohol.
Pria cekatan ini selalu mengumbar senyum bila ia berhasil melakukan tehnik-tehnik spesial, senang bisa membuat salah satu tamu wanita terpukau. Dari pembawaannya yang bersahabat, bahkan terlalu santai, bisa dipastikan mereka bukanlah pelanggan biasa.
"Selesai." Ia menyodorkan dua gelas cairan berwarna biru dengan hiasan irisan lemon di tepinya pada tamu wanita yang segera berlalu setelah memberi tips tambahan.
"Dan, tidak punya rencana untuk pindah ke kota? Aku bisa meminta Andy untuk merekrutmu," tanya Clayton, pemuda tampan yang duduk di bangku sebelah kiri. Sesekali ia meneguk cairan kekuningan dari sekaleng bir yang sedari tadi digenggamnya seperti sesuatu yang sangat berharga. Ia masih tidak mengerti dengan pilihan si bartender yang memilih menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk bekerja di kota kecil yang sangat minim tempat wisata seperti kota Laneford Laguna ini.
Dan—atau lengkapnya, Daniel—hanya menyunggingkan senyum tipis sebelum merespon Clayton yang menatapnya serius. "Sama sekali tidak, tempat ini luar biasa."
"Seperti?" Brad yang sedari tadi sibuk dengan telepon genggamnya akhirnya menerjunkan diri dalam percakapan dua sahabat yang sudah saling kenal sejak mereka masih duduk di sekolah dasar.
Brad dan empat kawannya yang lain sering mengunjungi kota kelahiran Clayton sejak tiga tahun terakhir untuk berlibur. Pantai Lumicola menjadi tujuan utama untuk melakoni hobi berselancar mereka.
Keenam pria tersebut memang dipertemukan dalam sebuah grup sosial media yang mempunyai kegemaran yang sama. Setelah mencoba berbagai pantai yang tersebar di benua mereka tinggal, semuanya sepakat bahwa Pantai Lumicola adalah tempat terbaik yang bisa ditawarkan oleh alam.
Meski arus dan gelombang di kawasan ini sulit diprediksi, keberadaan Daniel membuat segalanya menjadi sedikit lebih mudah. Daniel bukanlah seorang pawang laut, tapi karena kecintaan pada tanah kelahiran dan sifat yang senang mengamati segala sesuatu membuatnya sangat paham dengan karakter arus dan gelombang dari pantai yang menghadap samudera tersebut.
"Malam ini kalian akan menyaksikannya sendiri." Sudut mulut Daniel terangkat, memancing rasa penasaran dari dua tamunya.
"Mungkin sedikit petunjuk bisa menyelamatkan hidupku?" Senyum khas Brad yang tampak seperti seringai tak tulus kembali muncul ke permukaan. Bila tidak ada yang tahu bagaimana sifat aslinya, manusia satu ini memang terlihat seperti sosok yang tidak menyenangkan untuk dijadikan teman. Tapi ia tidaklah seburuk ungkapan 'seperti menghadapi tuan muda dari keluarga kaya raya yang angkuh dan dimanjakan sejak lahir'.
Clayton melirik Brad. Candaan Brad sama sekali tidak terdengar lucu, bahkan untuk sesaat ia merasa sangat tidak nyaman. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang mencoba memberi peringatan akan nasib buruk yang bisa saja datang menimpa mereka. Namun, ia cepat-cepat menepis firasat yang membuat bulu tengkuknya meremang.
"Hei, kenapa menatapku dengan penuh cinta begitu? Lupakanlah aku, sayang." Brad menepuk bahu Clayton dan menggoyang-goyangkan jari manisnya yang tersemat cincin perak bermata intan, menandakan ia telah bertunangan.
Candaan kedua Brad sungguh sangat pantas untuk dihadiahi kepalan tinju di wajah. Sadar atau tidak, Brad mengoloknya sebagai pria tidak laku. Bagaimana bisa Brad lupa bila si calon istri dalam dua bulan ke depan adalah wanita yang ditelikung darinya.
Clayton menyesal telah mengenalkan wanita tersebut pada Brad. Mungkin saja posisi cincin itu akan terselip di jari manisnya sendiri, bukan pada pria tak peka yang sekarang sibuk memainkan es batu yang mengambang di gelas cocktail berwarna biru tersebut dan belum melepas seringai menyebalkan itu dari wajahnya.
Daniel tengah mengantarkan pesanan minuman dan makanan ringan kepada empat tamu lain yang tengah mengelilingi api unggun. Riak ombak yang pecah di bibir pantai tidak akan sanggup menjangkau obor bumi mereka. Malam terahir mereka ditemani oleh deru debur ombak dan busa putihnya yang berkilat-kilat.
Embusan angin yang membuat siapa pun ingin menyusup di bawah selimut tebal seolah tidak memiliki dampak berarti pada sekumpulan lajang-lajang yang sibuk bernyanyi dengan iringan petikan gitar. Suara sumbang mereka selalu berbelok-belok setiap mencapai nada tinggi lalu dengan mudahnya tergelincir hingga orang tidak bisa mengenal lagi lagu yang sedang mereka nyanyikan.
Siapa yang akan tahan bila kengototan mereka untuk mencapai nada do tinggi akan berakhir seperti jeritan seekor tikus yang ekornya terjepit perangkap. Sungguh, pita suara mereka memang bukan diciptakan untuk menghasilkan nada merdu, indah apalagi syahdu yang bisa menggerakkan emosi seseorang. Mungkin bisa, menggerakkan emosi marah dan melempari mereka dengan benda apa pun yang bisa diraih.
Tidak hanya keahlian bernyanyi mereka yang bermasalah karena tak perlu mendengar lebih jauh untuk mengetahui kekurangan lain yang terletak pada petikan buta nada dan ritme dari sang gitaris yang sebenarnya paling tampan di antara mereka berempat. Baiklah, memang tidak ada hubungan langsung antara berwajah menawan dan keahlian bernyanyi, tapi bila memiliki keduanya tentu hidup akan lebih menyenangkan. Mungkin.
***
Selesai melayani para tamu, Daniel berjalan santai menuju pondok kecil di tengah hutan bambu buatan yang menjadi sumber nafkah selama ini. Sudut matanya menangkah sesuatu hingga ia terhenti dan menoleh pada seberkas cahaya putih yang disertai kabut tipis datang dari arah pantai.
Ia mengayun langkah kembali menuju tepi pantai dan baru berhenti sewaktu lututnya terendam air. Kabut tipis yang dilihat tadi perlahan merangkak mendekati. Tidak ada raut panik atau ketakutan di wajah Daniel yang justru malah mengumbar senyum hingga ia dinaungi kabut. Dalam sekejap Daniel terkungkung kabut yang perlahan menebal.
"Hei, hei ... kalian lihat itu? Dan—Daniel ditelan kabut!" Lay, lajang yang menolak menikah karena pengalaman getirnya dengan wanita, menyikut Nick di sampingnya yang telah mabuk setelah menenggak habis sekaleng minuman beralkohol.
"Hmm, yeah kabut ... cantik, dia ditelan si cantik! Wuahahahahaha ...," racau Nick.
"Yah ... baru satu kaleng udah kumat!" Sang gitaris buta nada yang merasa sangat ahli bermusik menggelengkan kepala melihat kondisi Nick yang sedari dulu kadar toleransinya terhadap alkohol paling menyedihkan di antara mereka.
"Tama ... kemari cantik, sini kupeluk ... Tamaaa ...." Nick berdiri dan merentangkan tangan lebar-lebar sambil berlari ke arah kabut yang telah menelan penyedia minuman dan makanan kecil mereka. Tama adalah kucing betina persia berbulu putih peliharaannya.
"Nick!" Lay langsung mengejar Nick karena orang mabuk yang bertemu dengan air, apalagi dalam jumlah yang banyak bukanlah perpaduan yang serasi. Arus yang kuat akan dengan mudah menyeret Nick dari tepi pantai dan menenggelamkannya.
Dua orang yang tersisa memilih tidak menyusul karena yakin Lay bisa menyeret Nick untuk duduk bersama mereka lagi. Keduanya malah sibuk dengan permainan melempar kacang dan menangkap dengan mulut, siapa pun yang tidak berhasil menyarangkan butiran kacang dalam mulut harus menenggak kaleng bir yang dibuka.
Mereka tenggelam dalam kompetisi konyol tersebut hingga pria yang bernama Chris tiba-tiba diam terpaku sambil menatap lurus ke depan dan bertanya, "Greg, sejak kapan ada tenda di sana?"
Greg yang mengikuti arah pandang Chris langsung mengangkat alis dan berdengung singkat, mempertanyakan tingkat kemabukan orang di sampingnya. Tidak ada yang bisa dilihat dari area gelap tersebut.
"Kelihatan?"
Greg memicingkan mata untuk memperjelas penglihatannya lalu mengetes Chris. "Bagaimana bentuknya?"
"Aneh." Dahi Chris berkerut sambil mengucak-ngucak matanya beberapa kali lalu berpaling pada Greg. Bingung.
"Apanya yang aneh?" Menurut Greg jawaban dan reaksi Chris sangat ambigu. Pertama, bisa merujuk pada bentuk tenda yang aneh, dan ini pun perlu ditanyakan lebih lanjut mengapa Chris memilih kata 'aneh'. Kedua, bahasa tubuh Chris sama sekali tidak merujuk pada bentuk tenda tersebut tapi pada penampakan yang telah menipu indera penglihatannya.
"Tenda atau ... Lay ...?" Kebingungan yang membayang pada suara Chris yang pelan, terus turun hingga seperti bisikan, terutama saat menyebut nama teman mereka.
"Chris, dua pilihan ... balik sekarang dan tidur enak di kasur atau tidur di pasir sampai pagi. Bila kau roboh, aku tak sudi menyeretmu lagi!"
Greg tidak akan pernah lupa bagaimana Chris—seorang pria dewasa berusia 33 tahun—menangis tersedu-sedu, meronta bahkan menggigit lengannya sewaktu ia berada dalam pengaruh alkohol.
Kejadian memalukan sekaligus mengerikan yang menjadi tontonan seluruh pengunjung bar itu terjadi sewaktu Greg hendak membawanya pulang. Memalukan, karena ia harus berteriak-teriak histeris sambil berurai air mata meminta siapa pun menolongnya lepas dari gigitan Chris. Mengerikan, karena gigitan Chris membangkitkan ingatan buruk di masa lalu, sewaktu seekor anjing tiba-tiba melompat dan mencaplok lengannya hingga ia harus disuntik anti rabies. Sejak saat itu Greg memiliki radar anti anjing yang tinggi. Bulu romanya tahu-tahu bisa berdiri bila ada seekor anjing dalam radius satu meter.
"Tidak, tidak. Aku tidak mabuk, Greg."
"Jangan berkilah! Bila kau tidak mabuk, tentu kau bisa membedakan antara tenda dan Lay!"
"Tentu saja aku bisa membedakan keduanya, makanya aku bilang aneh!" Chris ikut menaikkan intonasi suara untuk menyamai keketusan Greg. Tapi setelah bertemu dengan pelototan mata lawan bicaranya yang menakutkan, nyali Chris langsung ciut.
Meski tinggi Greg yang paling rendah di antara mereka berenam, tetap saja jumlah usia yang lebih banyak menjadi penentu. Dengan kepala menunduk, Chris meminta maaf sambil tersedat-sedat.
"Ha~ah! Sudah, sudah, lupakan." Greg bangkit berdiri dan mendekati apa pun itu yang telah mengganggu penglihatan Chris hingga mereka harus berselisih di malam terakhir mereka yang seharusnya menyenangkan.
"A—aku ikut!" teriak Chris menyusul Greg.
"Berani? Bagaimana kalau ada hantu, hah?" ledek Greg.
"Ada kau yang bisa menakuti mereka."
***
Note: Jangan lupa klik tanda bintang untuk vote and komen, ma pren. Peace, Love, And Enjoy \o/
N
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro