Chapter 11.3 - Caught In The Middle
Lysandra melirik jam yang tertera di ponsel. "Aish! Mereka akan pergi berapa, sih!" gerutunya di dalam kamar.
Quentine mengetuk dua kali dan menyembulkan kepala dari sela yang terbuka sedikit. "Pops? Ada apa?" Lysandra mengintip dari balik bukunya.
"Tidak apa-apa." Quentine tersenyum lalu menutup pintu pelan-pelan.
Lysandra buru-buru memanggil sebelum pintu benar-benar rapat kembali, "Pops. Boleh tanya?"
"Apa?" Quentine mendorong pintu kembali.
"Apa ... Pixie bisa 'bim salabim' seperti penyihir?"
"Tentu saja, kita memang penyihir, bukan 'seperti' penyihir."
Lysandra berbinar-binar membayangkan sesuatu akan tercipta sewaktu mengayunkan tangan seperti tokoh-tokoh penyihir dalam cerita fantasi terkenal. "Kalau begitu, apa ada mantra untuk membaca dengan cepat?" tanyanya antusias, sangat berharap mendapat jawaban yang positif.
"Hmmm ... ada, tapi aku tidak terlalu menguasainya."
"Bisa ... aku tahu manteranya?" Lysandra malu-malu mengutarakan keinginannya.
"Sebentar." Quentine berpikir sejenak sebelum melanjutkan, "Bafastram. Seperti itu manteranya."
"Trims, Pops." Lysandra tersenyum sangat lebar.
"Ya. Hazel, bila sampai malam kami belum pulang, panggil Excelsis untuk menemani, ok?" Quentine baru bergeser dari tempatnya berdiri setelah mendapat anggukan dari Lysandra. Ia menutup pintu dan masuk ke kamar tidur untuk mencari sesuatu yang tersimpan dalam sebuah peti kayu.
Sepeninggalan Quentine, Lysandra langsung mencoba mantra pertamanya. "Bafastram!"
Tidak ada yang terjadi.
"Bafastram ...?" Kali ini Lysandra menutup buku dan menyentuh sampulnya.
Tetap tidak ada yang terjadi.
"Ba~fas~tram!"
Seketika buku yang teronggok diam dalam pangkuan Lysandra terbuka dan membalik satu per satu, makin lama makin cepat seperti ditiup angin hingga dirinya kewalahan. "Wuah, wuah ... wuah!" Halaman demi halaman terus bergulir hingga menutup dengan sendirinya.
Selagi diliputi ketakjuban, hal takjub datang menyergap secepat kilat. Kepala Lysandra telah dipenuhi informasi dari buku yang baru saja menutup. "Keren! Kalau begini Sebelum Lysandra menyadari apa yang terjadi, di kepalanya mulai dipenuhi dengan isi buku yang baru saja menutup.
"Keren! Kalau begini caranya aku bisa membaca semua buku meresahkan ini dalam waktu lima menit saja! Mantra yang keren! Sangat keren!" serunya sambil melompat-lompat di atas ranjang.
***
Mendengar kegaduhan yang bersumber dari kamar Lysandra, Myristica menatap suaminya berjalan ke arahnya sambil menenteng sesuatu yang terbungkus kain putih. "Ada apa dengan anak itu?"
"Mungkin berhasil belajar mantra pertamanya."
"Mantra? Kau mengajarinya mantra?"
"Ya. Tadi dia tanya tentang mantra penghemat waktu untuk membaca. Apa aku benar? Bafastram?"
"Ya, memang itu mantranya." Myristica mengulas senyum singkat, maklum dengan keterbatasan suaminya untuk mengingat mantra yang sangat jarang digunakannya. "Aku akan melihatnya."
Quentine menyusul Myristica menuju kamar Lysandra.
"Ada apa, Lisy? Kelihatannya gembira sekali?" tanya Myristica. Tangannya masih memegang kenop pintu.
"Ah, Moms! Sini Moms, sini! Mantra yang diajarkan Pops keren sekali, Moms! Tiga buku lagi dan aku selesai membaca buku-buku kamus ini!"
"Oh, ya?"
"Hazel, bila kau mematahkan kaki ranjang, jangan harap kami akan menggantinya!"
"Gampang! Tinggal belajar mantra pembalik waktu, Pops."
"Kau pikir semudah itu—" Quentine tidak berhasil menamatkan kalimatnya karena sentuhan Myristica, sinyal memintanya tidak merusak antusias putri mereka.
"Coba lihat ini, Moms! Ba~fas~tram!"
Kejadian sebelumnya terulang kembali. Lysandra berhasil menyelesaikan tiga ratus halaman buku kedua dalam waktu tiga menit.
"Wow! Hebat, Lisy. Kau tahu, ada seseorang yang bahkan harus menghabiskan waktu setengah jam untuk membaca buku setebal itu, meski sudah memakai mantra tersebut." Quentine yang merasa tersindir oleh perkataan istrinya hanya berdeham kasar.
"Benarkah?" Tawa Lysandra pecah membayangkan lembaran-lembaran halaman yang membalik dengan malas sewaktu seseorang—Quentine—menggunakan mantra yang sama, tapi tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
"Sudah selesai kalian mengolokku?" Quentine pura-pura merajuk.
"Quentine ... seharusnya kau senang Lisy mewarisi kepiawaianku," goda Myristica sambil memamerkan lesung pipinya.
Quentine tidak bisa membantah fakta yang terpapar. Sejak dulu Myristica memang selangkah lebih berbakat darinya. Satu hal yang bisa membuatnya menang dari sang istri hanyalah status Pixie yang setingkat lebih tinggi. Namun, ia tidak pernah berkecil hati atau iri. Kelebihan Myristica di antara rekan sejawatnya memang membuatnya bersinar sekaligus penyeimbang kekurangan dirinya.
"Baiklah. Hazel, kami pergi sekarang. Jangan berpikir atau berbuat aneh."
"Aku sudah mendengar larangan itu ratusan kali hari ini, Pops."
"Betapa bahagianya kami berdua bila kau menjadi anak penurut, Hazel."
"Kami pergi, Sayang." Myristica memeluk Lysandra sebelum berdiri dan keluar dari kamarnya.
Sembari menunggu kedatangan keluarga Vladimatvei, Quentine duduk bersebelahan dengan Myristica.
"Kau yakin sudah sehat?" Quentine mengusap-usap punggung tangan Myristica.
"Tidak pernah sesehat ini, Zeafer," balas Myristica sembari mengulas senyum terindahnya, aset berharga yang membuat Quentine bertekuk lutut.
***
Klakson mobil meraung dari luar. Quentine mengintip dari jendela dan Jeep merah telah terparkir di depan pagar rumah.
"Mereka sudah datang." Quentine mengambilkan jaket panjang milik Myristica dan membantu memakaikan sepotong kain tebal cokelat tua tersebut. Selanjutnya, ia menyambar baju hangatnya sendiri lalu keluar menjumpai pasangan Vladimatvei.
"Lisy, kunci pintunya!" panggil Myristica sebelum membuntuti Quentine.
"Iya, Moms! Hati-hati ...!"
Di luar, Myristica menyapa tamunya. "Selamat Pagi."
"Pagi," balas Maeveen dan Aithne kompak.
Jeep merah meluncur menjauh hingga menjadi titik merah dari jendela kamar Lysandra. Tanpa buang-buang waktu, ia mengirim pesan singkat pada Excelsis supaya mereka bertemu di perpustakaan kota.
"Saatnya meminjam buku lain yang berhubungan dengan Vampire dan makhluk air sialan itu!"
***
Selama perjalanan, semua mengunci rapat-rapat mulut mereka. Suasana yang telalu hening membuat Aithne tidak nyaman. Ia menyalakan radio dan mendengarkan alunan lagu-lagu lawas. Meski keheningan sudah menyingkir, Aithne tetap saja merasa bosan.
"Seharusnya Excelsis diajak." Aithne menunggu reaksi suaminya.
"Untuk apa? Dia hanya akan menjadi hambatan untuk kita," respon Maeveen, dingin seperti biasa.
"Ya ... sebagai latihan untuknya, tidak lama dia akan genap enam belas tahun." Aithne berusaha mengingatkan betapa krusial usia enam belas tahun bagi ras mereka.
"Dia berbeda, tidak akan ada yang terjadi." Maeveen tidak yakin Excelsis mewarisi kemampuan Vyraswulf, kejadian pemukulan yang dilakukan Lysandra karena dirasuki mahluk air menurutnya sudah menjadi pembuktian. Seorang Vyraswulf sejati memiliki refleks yang sangat bagus, seharusnya Excelsis bisa menghindar dengan mudah.
Rupa-rupanya Maeveen tidak memperhitungkan Schifar. Si kaki jerapah memiliki refleks yang luar biasa dibandingkan Aether lainnya tapi ternyata ia masih bisa mendapatkan dua pukulan telak dari Lysandra, artinya bangsa air masih menjadi ancaman serius bagi seorang Vyraswulf.
"Apa maksudmu? Kemampuan bertahan dari serangan mematikan waktu itu dia dapatkan dari mana kalau bukan karena warisan?"
"Itu masih perlu pembuktian lebih lanjut. " Maeveen masih sangat meragukan Excelsis mewarisi kemampuan yang dimiliki oleh Vyraswulf. Di matanya, sebagai seorang Virwulf Excelsis tidak memenuhi kualifikasi.
Excelsis hanya menyukai daging ayam. Berdasarkan penelitiannya, seorang Vyraswulf sangat menyukai daging musang dan tidak akan melewatkan daging musang dari menu harian mereka. Excelsis bahkan tidak akan menyentuh daging musang bila dihidangkan di depan hidung, malah menunjukkan gejala akan muntah karena tidak tahan dengan aroma dagingnya.
Satu kejadian yang sangat meyakinkan Maeveen bahwa Excelsis tidak mewarisi darah seorang Vyraswulf adalah kecintaan sang putri terhadap air. Aithne dan beberapa Vyraswulf yang ia kenal sangat menghindari kegiatan yang melibatkan air. Mereka tidak akan pernah terlihat di tempat pemandian umum, kolam renang, laut maupun lokasi-lokasi wisata air lainnya.
Berbeda dengan Excelsis, ia akan sangat gembira bila kelasnya mengadakan tur wisata ke daerah perairan. Tempat favoritnya adalah laut Ak'e Bay, suatu wilayah di selatan kota Wichzkita yang berdekatan dengan Pantai Lumicola. Laut Ak'e Bay memiliki pemandangan laut yang sangat indah dengan pasir keemasan bila terkena sinar matahari, juga keindahan eksotis bawah airnya. Tempat ini menjadi ajang langganan perlombaan selancar tahunan karena ombaknya yang tinggi.
Aithne tidak akan pernah mendekati bibir pantai bila mereka tengah berlibur. Ia memilih duduk di serambi vila yang disewa sambil mengawasi dari kejauhan. Sementara Excelsis akan menjadi bebek liar tanpa induk bila sudah berada di air. Ia akan berenang bolak-balik tanpa merasa letih sedikit pun, bahkan sanggup berada di bawah air selama satu jam tanpa muncul ke permukaan untuk mengambil napas.
***
Sepertinya Dewi Fortuna tengah mengabaikan Lysandra. Meski sudah menunda kepergiannya, bus bercat kuning cerah yang ditumpangi tetap berhasil menyusul Jeep merah yang ditumpangi Quentine dan Myristica.
Lampu merah menyetop kendaraan mereka. Mau tidak mau, Lysandra yang duduk di dekat jendela harus merunduk sambil berdoa dalam hati supaya luput dari mata elang orang tuanya.
Kesialan macam apa ini!
Beruntung angka mundur pada lampu lalu lintas segera menuju angka satu dan berganti warna menjadi hijau. Lysandra bersorak dalam hati sewaktu roda kendaraan besar yang ditumpanginya mulai bergulir maju. Namun, seketika kepalanya menanduk sandaran bangku di depan akibat ulah sang sopir yang mengerem mendadak. Beberapa penumpang melancarkan protes.
Sang sopir segera meminta maaf dan berbicara melalui mikrofon di depannya, "Maaf. Tadi ada yang melintas tiba-tiba."
Rasa ingin tahu Lysandra kembali bertingkah. Kepalanya menyembul ke luar jendela. "Apa itu?"
Walaupun sudah memicingkan mata, Lysandra tetap tidak bisa melihat dengan jelas sesuatu yang tergeletak diam di depan bus. Tidak ingin terus-terusan terganggu dengan tanda tanya yang memenuhi kepala, ia segera berdiri dan berjalan cepat menuju kaca depan bus.
"Kau tahu itu apa?" Lysandra menoleh ke arah sopir yang tampak tegang hingga butir-butir keringat perlahan mengucur dari dahi lebarnya. Sebelum sempat mendapat jawaban, sudut mata Lysandra menangkap sekelebat gerakan ke arah hutan pinus di sebelah kanan mereka. Tanpa pikir panjang ia langsung menoleh.
"I—itu! Kau lihat juga, kan? Makhluk berbulu putih tengah mengejar makhluk sejenis berwarna hitam itu!"
"Ber-bulu katamu?Wujudnya seperti apa?" Lysandra tidak sadar bila suaranya yang meninggi dan masih serak terdengar seperti membentak.
"Se—serigala? Tapi, yang itu besar sekali, tidak mungkin ada serigala sebesar itu, kan?" Sang sopir semakin gugup, sama sekali tidak mau dicap gila. Ia sangat yakin yang dilihatnya memang serigala, tapi sangat besar? Siapa yang akan percaya padanya?
"Dia lari ke arah hutan, kan?"
"I—iya ...," balas si sopir. Ia terheran-heran pada sosok mungil yang malah bersemangat, seperti gentar tidak ada dalam prinsip hidupnya. Namun, ia juga lega karena ada yang percaya dan bisa menjadi saksi mata bersama.
"Baiklah. Aku turun di sini, terima kasih atas tumpangannya." Lysandra menekan tombol untuk membuka pintu lipat pegas dan tergesa-gesa menuruni tangga bus, tidak acuh pada teriakan sopir bus yang berusaha mencegahnya. Menurunkan penumpang di tengah jalan raya memang dilarang dan dia bisa terkena sanksi.
***
Sesaat menjejak aspal, Lysandra melambai pada pengemudi yang masih tidak percaya dengan tindakannya. Namun, ia harus segera menginjak gas sebelum menjadi sasaran kekesalan penumpang lain.
Lysandra segera berlari ke tepi jalan dan menghadap ke arah hutan pinus yang lebat. "Sial, kenapa aku malah turun." Meski menyalahkan diri sendiri, jantungnya tetap berdebar kencang. "Mungkinkah itu Schifar?"
Jeep merah berhenti di samping Lysandra dan kacanya diturunkan. "Apa-apaan ini, Hazel!" sembur Quentine.
"Ha—hai, Pops. Kok kita bisa ketemu, ya?" balas Lysandra sambil tersenyum konyol. Ia benar-benar lupa dengan keberadaan jeep merah hanya karena mendengar kata 'serigala'.
Argh! Harusnya otak tidak kutinggal di rumah!
"Mana janjimu!" dengkus Quentine.
"Bu—bukan begitu, Pops. Tadi petugas perpustakaan menelepon dan memberitahu bila aku harus segera mengembalikan bukunya atau aku akan kena denda. Jadi, aku janjian ketemu EG di sana," elak Lysandra. Dalam hati ia bersyukur memiliki alasan yang bagus untuk berkelit.
"Lalu kenapa kau turun dari bus?" selidik Quentine, tidak mau begitu saja menelan alasan Lysandra yang sedikit mencurigakan.
"Salahkan sopirnya, Pops. Tadi dia menabrak sesuatu, Pops tahu apa yang dia tabrak? Serigala besar, Pops!" timpal Lysandra. "Tadi aku sempat lihat bayangan hitam tergeletak, tapi waktu aku maju ke depan, bayangan hitam itu melesat ke arah sana. Kata sopirnya bayangan hitam itu dikejar serigala putih!"
Aithne turun dari mobil dan mengendus-ngendus udara sebelum masuk kembali dan menatap Maeveen sambil mengangguk. Ia mengintip ke belakang dan berkata, "Tidak salah lagi, itu sentira mereka."
Myristica hanya menghela napas pendek lalu menatap suaminya. "Bagaimana ini, Quentine? Kita tidak bisa membiarkannya di sini."
Aithne menurunkan kaca jendela dan memanggil Lysandra, "Naiklah."
"Tidak, tidak. Hazel tidak boleh ikut ke sana, terlalu berbahaya!" protes Quentine. Ia merasa Aithne sudah kehilangan akal sehatnya dengan mengizinkan anak di bawah umur pergi ke wilayah yang mengancam keselamatan jiwa.
"Aku tidak mengatakan akan membawa anakmu ke tempat itu, Quentine," sanggah Aithne, "kami akan mengantarnya ke perpustakaan. Kita masih punya waktu yang cukup untuk tiba di sana sebelum sore."
"Terima kasih, Tante Aithne." Lysandra segera membuka pintu, membuat Quentine tidak punya pilihan selain turun dan membiarkannya naik.
"Sampai kapan kau berhenti menyusahkan, Hazel ...," desah Quentine sembari menggeleng pelan sewaktu naik kembali dan menutup pintu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro