2. Bisikan
Di medan pertempuran antariksa, ledakan sedahsyat apa pun akan tetap sunyi.
Di tengah pertempuran yang sedang berkecamuk, sudah biasa jika aku ditemani kesunyian. Namun kali ini, suara muncul seolah dapat merambat di ruang hampa.
"Yu'zar? Kaukah itu?"
Seketika aku terdiam. Tak kuhiraukan pertempuran untuk sesaat, begitu juga pertempuran yang seolah acuh tak acuh dengan kehadiranku. Pesawat musuh masih ada di sana, begitu juga kapal induknya. Namun, mereka sama sekali tak mengirimi serangan kepadaku, juga Viatrix.
Suara itu ....
"Kau mendengarku, Yu'zar?"
Kedua tanganku tak bisa menggenggam kemudi pesawat. Gemetar. Suara yang kudengar bukanlah suara yang asing. Dia tahu namaku, memanggil namaku, dan aku tahu siapa orang di balik suara itu.
"Han'zia?" ucapku, mencoba memanggil orang itu.
Kapal musuh tampak jelas di depanku, hanya diam seperti pajangan. Sementara pesawat musuh hanya terbang mengitarinya. Tiba-tiba, sebuah serangan berkali-kali menghantam badan musuh. Viatrix menyerang mereka, sementara mereka seolah tak berdaya. Aku bisa melihatnya memerah usai menerima hantaran energi yang dipancarkan meriam utama Viatrix.
"Hentikan!" dia berteriak. Usai menerima serangan yang menghujam tubuh kapalnya, dia meminta belas kasihan, tak melawan. Suaranya terdengar seperti seolah-olah rasa sakit akibat serangan itu dirasakan sekujur kulitnya.
Suara itu ....
Pesawat yang terbang di sekitar kembali ke sarangnya. Kapal musuh mundur begitu saja. Meski beberapa bagian sudah terkena serangan, mereka masih jauh lebih unggul dari Viatrix bahkan setelah serangan tadi. Entah kenapa, mereka memilih tak menuntaskan misi mereka.
Sementara aku masih terdiam. Tak mengerti dengan pemandangan yang seolah ilusi.
Aku tahu betul Serikat ingin kami--dan perompak lainnya-- untuk pergi dari Daerah Belum Terjelajah. Dikirimnya kapal ke Erenam sudah pasti supaya kami terusir atau tertangkap, bahkan terbunuh. Jauh sebelum kami pergi, menyerah, atau bahkan mati, mereka terlebih dahulu pergi. Lama-kelamaan menghilang, pergi dengan kecepatan mahatinggi.
Atau bisa jadi orang itu tak ingin menyakitiku.
"Yu'zar, jawablah!" Suara Kapten Milla kembali terdengar setelah sebelumnya yang masuk ke telingaku hanyalah suara orang itu dan suara kebisingan akibat gangguan saluran komunikasi.
"Aku dan Anra akan kembali, Kapten," balasku. Aku ingin segera kembali ke kapalku, rumahku.
Viatrix berbalik arah, aku terbang di sampingnya disusul pesawat milik Anra. Aku bersandar di kursi, melepaskan helm tempur yang terasa berat di kepalaku. Kuperhatikan berbagai layar dan tombol yang berbinar di kokpitku. Bagian kokpit pesawat ini masih bagian lama yang terpisah dari bagian pesawat yang meledak di pertempuran sebelumnya. Hanya bagian badannya yang berbeda karena sudah mendapatkan modifikasi. Aku tak lagi menerbangkan pesawat curian dari Serikat--pesawatku dulu.
Tapi kenapa orang itu bisa tahu aku yang ada di pesawat ini?
Pesawatku memasuki hanggar yang pintu masuknya berada di bagian bawah kapal. Beberapa orang awak hanggar sudah bersiap untuk perbaikan sepeti biasanya, padahal pesawatku sama sekali tak terluka. Aku melihat Kapten juga ada di sana, berdiri di lantai atas hanggar sembari menopang dagu ke pagar pembatas.
Pesawatku menapakkan kakinya. Dengan segera aku menuruni pesawat ini. Ketika berada di bawah, aku sempat melepas sebagian baju pilotku hingga menyisakan kaus hitam polos di badanku. Ketika aku hendak melepaskan bagian kaki, aku memperhatikan Kapten yang ada di atas. Pandangannya seperti kosong, seolah sedang dalam lamunan dan berpikir keras.
Aku segera berlari menaiki tangga dengan sebagian baju pilot masih terpasang. Ketika aku menghampirinya, dia sama sekali tak menoleh.
"Kapten?" aku memanggilnya.
Dia tak menjawab. Tiba-tiba tangannya langsung menggenggam tanganku. Pandangannya masih lurus ke depan dan wajahnya masih serius.
Aku memanggilnya lagi. "Kapten?"
"Ikut aku. Kita akan mendarat sebentar lagi." Kapten masih enggan menoleh kepadaku.
Viatrix sedang berada di perjalanan kembali menuju Bulan Pertama Erenam. Sementara aku dan Kapten sedang berjalan menuju anjungan. Dia berjalan di depanku, menarik tangan kiriku sembari melangkah dengan cepat. Aku tak melawan dan hanya mengikutinya di belakang.
"Kau pasti tak mengerti dengan yang baru terjadi, bukan?" tanyaku. "Aku juga. Aku juga tak mengerti."
Kapten menghentikan langkahnya. Sejak bertemu di anjungan tadi, baru kali ini dia menatapku. Tatapannya tajam, raut muka seriusnya tak berubah. "Kau pasti tahu orangnya, kan?"
Aku tak menjawab. Tatapan Kapten menjadi semakin tajam setelahnya.
"Kau tahu, kan?" Nada suaranya meninggi.
Aku mengangguk. "Ya," jawabku. "Dulu, dia temanku ketika aku masih seorang kadet. Kami berasal dari planet yang sama, jadi kami saling kenal."
Aku tak mengerti apa yang Kapten rasakan hingga menjadi tempramental seperti tadi. Dia tampak seperti sedang menghela napas panjang. Dari semua orang di kapal ini, hanya Kapten Milla yang tahu tentang masa laluku. Semua ceritaku mulai dari ketika aku menjadi kadet Angkatan Antariksa Serikat, ketika aku tahu Serikat menghianati planetku, juga ketika aku kabur dengan membawa pesawat lamaku, semuanya dia tahu. Mungkin pikirannya menjadi tidak tenang ketika seorang dari Serikat tiba-tiba menyebut namaku di tengah pertempuran.
Kapten tampak lebih tenang. "Ayo, sebentar lagi kita mendarat."
"Kau tak apa?" tanyaku.
Kapten boleh jadi bersikap lebih tenang, tapi sepertinya emosinya masih bergejolak. Dia enggan menjawab, tak seperti biasanya. Aku hanya mengikutinya menuju anjungan.
Kami berdua tiba di anjungan, disambut dengan pintu utama yang membuka otomatis sebelum kami masuk. Ketika berada di dalam, aku pun disambut awak anjungan yang menoleh ke lantai atas. Selain itu, Bulan Pertama Erenam mulai tampak dari jendela utama.
Kapten berdiri di depan meja kendali dengan layar utama yang padam, hanya menyisakan pemandangan dari jendela depan untuknya. Pertama kalinya dia berdiri di anjungan dengan jubah hitam berlis emas--yang dulu milik ayahnya--menutupi pundak hingga punggungnya.
Viatrix mulai mendekat dengan Bulan Pertama Erenam. Sementara itu, anjungan begitu sepi dan canggung.
Aku hendak memulai pembicaraan. "Bagaimana dengan pembangunan pos pertahanan di dekat stasiun?"
"Lancar," jawab Kapten, singkat.
Semakin mendekat dengan Stasiun Bulan Pertama, semakin terlihat pembangunan yang sedang berjalan. Alat-alat berat, kerangka bangunan, serta berbagai perangkat besar lainnya ada di sana, sedang dipasang untuk pembangunan pos dan menara pertahanan.
"Bersiap untuk berlabuh," ucap Kapten.
Viatrix akhirnya masuk ke dalam galangan setelah menghadapi pertempuran dengan kapal milik Serikat. Awak anjungan meninggalkan pos mereka. Sementara itu, Kapten masih berdiri di depan meja kendali. Padahal kursinya ada beberapa langkah di belakangnya.
"Tidak mau istirahat?" tanya Kapten. Syukurlah, dia mulai bertanya duluan.
"Tidak perlu," jawabku. "Aku menemanimu saja di sini."
"Kenapa dia pergi begitu saja setelah tahu kau ada di pesawat?" tanya Kapten lagi.
"Aku juga tidak mengerti."
Kapten kembali meraih telapak tanganku, tetapi pandangannya masih menolak untuk diarahkan kepadaku. "Hei, apakah kita benar-benar bisa membuat Erenam menjadi rumah kita?"
Aku tak menjawab. Ketika kami berhasil mengalahkan kapal yang dipimpin Komandan Cox dan mempertahankan Erenam, kami berpikir tempat ini akan jadi rumah kami. Meski bukan dunia dengan dataran hijau dan laut biru seperti yang Kapten impikan sedari kecil.
Sesederhana apa pun, rumah akan tetap terasa indah.
"Kita bertahan sejauh ini bukan untuk menyerah, bukan?"
Kapten menoleh ke arahku. Bisa jadi dia melihat apa yang sudah dilakukannya di Bulan Pertama Erenam ketika kapal ini hendak berlabuh tadi. Menara turet dibangun di beberapa sisi stasiun, kendaraan berat hilir mudik melintasi padang debu Bulan Pertama. Semuanya dilakukan untuk membangun sebuah 'rumah' di daratan Erenam yang masih sangat tandus.
"Tapi, bisa saja mereka datang lagi," ucap Kapten. "Perburuan perompak sedang terjadi di mana-mana, di seluruh penjuru Daerah Belum Terjelajah."
"Kita bisa memikirkan soal itu nanti," balasku. "Sekarang lebih baik kau beristirahat. Pertempuran pasti menguras tenagamu."
Kapten beralih, membalikkan tubuh dan mulai berjalan keluar anjungan. "Baiklah. Kau juga."
"Jangan tunjukkan ekspresi itu di depan anak buah lainnya," ucapku, menghentikan langkah Kapten ketika pintu anjungan sudah terbuka secara otomatis. Sedari tadi, Kapten menunjukkan raut wajah masam. "Tak apa menunjukkan kekhawatiranmu, tapi hanya kepadaku saja. Anak buah lain akan ikut mengkhawatirkanmu nantinya."
Kapten lanjut melangkah. Ketika dia sudah berada di sisi luar anjungan, dia menoleh ke arahku dan memberikan senyuman. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku pergi dulu."
Pintu anjungan tertutup, wajah Kapten tak terlihat. Aku masih berdiri di dekat mimbar kendali, tak berkutik. Pikiranku masih belum sepenuhnya jernih. Seakan satu demi satu pertanyaan bergantian muncul di kepala.
Suara itu ....
Bagaimana dia bisa mengenaliku?
Apakah Han'zia benar-benar menjadi musuhku?
-----
Aku berada di ruang makan, ditemani musik, suara orang bercengkerama, segelas moktail, dan Saviela yang sedang sibuk di kursi sebelahku. Dia sedang berkutat dengan layar holografik yang ada di depan wajahnya, menekan-nekan dengan jemari dan memperhatikannya dengan serius.
"Tidak bersama Kapten?" tanyanya.
"Tidak," jawabku. Aku menenggak moktailku. "Dia perlu banyak istirahat sekarang."
"Ah, begitu ya." Saviela masih sibuk dengan pekerjaanya hingga melupakan sepiring mie yang ada di meja.
Aku bertanya, "Kau sendiri sedang apa?"
Saviela menoleh. "Menganalisis sinyal yang diterima Viatrix saat pertempuran tadi. Aku heran, transmisinya mengacaukan saluran komunikasi. Mungkin musuh kita tadi hebat dalam membajak."
Aku pikir semua awak anjungan tengah terpusatkan pikirannya kepada suara dari musuh--dari Han'zia-- yang muncul di tengah-tengah pertempuran. Bahkan aku sendiri tak paham dengan yang kudengar beberapa waktu lalu.
Bisakah aku bicara dengan dia lagi sekali saja?
"Kau dan Kapten terlihat dekat," ucapku.
"Seharusnya itu kata-kataku," balas Saviela. "Aku dan Kapten sudah berteman sejak kecil. Kau tahu itu, bukan?"
"Maksudku, mungkin dia bisa menceritakan kepadamu soal kekhawatirannya, sebagai teman baik."
"Kalau itu, kau tidak perlu khawatir, Senior. Kapten Milla pasti jadi orang yang paling kelelahan di pertempuran. Dia menanggung tanggung jawab besar. Biarkan saja dulu, dan dia akan kembali lagi. Percayalah." Perempuan berambut biru tua itu menghentikan pekerjaannya. "Setelahnya dia bisa menceritakan semua kekhawatirannya kepadamu, sebagai pasangan."
Aku tersedak moktail yang sedang kutenggak. "Aku wakilnya, bukan pasangannya."
Saviela tersenyum lebar, mengejek. "Itu maksudku!" Aku tak menanggapinya. Lagi-lagi Saviela sibuk dengan layar holografik dan pekerjaannya.
Dia tiba-tiba berucap, "Siapa itu Han'zia?"
Aku menatap Saviela dalam-dalam. Ekspresinya juga serius, menatapku dengan tajam. "Dari mana kau tahu?"
"Kau menyebutnya ketika saluran komunikasi dibajak," balas Saviela. "Orang itu yang masuk ke dalam saluran, bukan?"
Aku mengangguk. "Ya, dia orangnya."
Saviela, tak seperti Kapten, tak tahu soal latar belakangku sebelum aku menjadi bagian awak Viatrix. Tentang cerita ketika aku menemukan planet rumahku yang tengah diinvasi ratusan kapal besar hingga aku terbang menemukan Viatrix di tengah ruang hampa, hanya Kapten Milla seorang yang tahu di kapal ini.
"Begitu, ya," balas Saviela. "Baiklah, berarti pekerjaanku selesai!" ucapnya sembari meregangkan tubuh.
"Mau kuantar ke ruanganmu?" tawarku.
Saviela menggeleng. "Tak perlu. Aku masih mau makan."
"Baiklah. Sampai jumpa," balasku. AKu segera beranjak dari tempat dudukku.
Setelah aku pergi dari ruang makan, aku langsung menuju kamarku. Setelah Kapten pindah ke kamarnya yang dulu milik orang tuanya, aku menggunakan kamar lama milik Kapten. Semua barang-barangku ada di sini, tetapi tempat tidur dua orang milik Kapten masih ada.
Aku melepaskan jaket yang biasa kupakai. Sebuah jaket lama berwarna abu tua yang umurnya sudah empat tahun. Aku melemparkannya begitu saja ke atas tempat tidur, sebelum aku mendaratkan tubuhku ke atasnya juga.
Aku berbaring, menatap langit-langit berwarna perak. Tanganku melepaskan kalung yang menggantung di leher--sebuah kompas tua. Kupandangi kompas itu saat tanganku mengangkatnya hingga ke atas kepala. Mau bagaimanapun, kompas ini tak akan berfungsi di sini. Namun, ini selalu mengingatkanku tentang kakekku yang sekarang bahkan aku tak tahu seperti apa nasibnya.
Planet itu, kilatan cahaya yang muncul dari daratan, ratusan kapal tempur yang terbang mengelilinginya, sinar laser yang ditembakkan dari langit layaknya hujan. Semua itu terjadi di tanah tempatku lahir dan besar sebelum aku mengenal angkasa lepas.
"Bagaimana jika Han'zia tahu apa yang terjadi di Sensira dulu?"
Tanganku secara tak sadar melepaskan kompas itu dari cengkramanku. Kompas itu jatuh bebas ke atas kepalaku. Sakit, tetapi tak kuhiraukan. Aku hanya menutup mataku ketika kompas itu menghalangi pandangan.
Aku tahu betul, mengingat apa yang terjadi di masa lalu hanyalah akan memberi rasa sakit. Namun, rasa sakit yang terukir di memori ini tak akan pernah hilang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro