Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2

Ketukan di pintu membuat Serena berjalan cepat dari dapur menuju ruang tamu. Tak memiliki banyak kerabat, wanita berusia 37 tahun itu mampu menebak siapa tamunya. Serena menyambut Nana Andri—sepupu mendiang ibunya—dengan senyum tipis.

"Udah mendingan sakitnya?" tanya wanita paruh baya itu.

Serena lebih dulu masuk sehingga sang bibi mengikutinya. "Nggak pusing lagi, Tante. Cuman lemes dikit."

Ketika Serena duduk di kursi kayu usang, Nana duduk tak jauh di hadapannya.

"Siapa semalem?" tanya Nana, sambil mengulas senyum.

Untuk sesaat, Serena berpikir keras lantaran tak mengerti maksud sang bibi. Akan tetapi, ingatan wanita itu kembali pada sosok pria muda yang mengantarnya pulang. Tawa Serena saat itu kian keras karena Vian mengajaknya membeli makanan. Antara tak ingin pergi atau benar-benar merasa kasihan pada Serena, selain memaksa Serena untuk mau diantar pulang, Vian juga mengajaknya ke salah satu rumah makan. Tentu saja Serena menolak.

Serena yakin, Nana melihat pria itu mengantarnya semalam. Ketika Serena menolak ajakannya, Vian keluar mobil dan mengantar wanita itu sampai depan rumah. Vian tak pergi hingga Serena benar-benar masuk rumah.

"Itu pelanggan butik. Kenalannya bos aku, Tante. Jadi, nawarin aku pulang pas dia tau aku nggak enak badan," terang Serena.

"Udah nikah belum kayaknya?"

"Nggak tau juga, sih, Tante."

"Kalo bos kamu kenal, coba aja tanyain."

"Nanya apa?"

Nana sedikit gemas pada wanita berambut hitam panjang itu. "Nanya udah nikah apa belum. Kalo belum, lumayan. Ganteng, kalo diliat-liat."

"Ish, Tante," gerutu Serena, membuat Nana melepaskan tawa.

"Ya, kan, siapa tau. Mungkin taun ini kamu akhirnya dilamar seseorang."

Serena memberengut, sedangkan Nana terkekeh geli.

"Jangan putus harapan. Udah dua taun kamu bener-bener tinggal sendiri. Tante selalu berdoa biar Serena dapet suami yang sayang dan bertanggung jawab sama kamu."

"Ya, Tante."

"Ah, kamu ini kalo diajak ngomong masalah laki-laki selalu cemberut," keluh Nana.

"Abisnya, aku sadar diri, kok. Aku udah 37 taun. Udah tua. Susah nyari cowok."

"Nggak boleh begitu, Serena," tegur Nana dengan nada lembut. "Udah lima tahun lebih kamu ngerawat papa kamu. Mungkin sekarang waktunya kamu mikir masa depan."

Serena hanya diam dan mendengarkan nasihat wanita paruh baya itu. Usia sepuluh tahun, Serena ditinggal sang ibu karena sakit liver. Ketika Serena berumur tiga puluh tahun, ayahnya justru tertabrak mobil hingga lumpuh. Serena hanya membaktikan dirinya untuk merawat sang ayah hingga tutup usia.

Ketukan di pintu dan sapaan dari suara pria membuat kedua wanita itu saling bertatapan. Serena tak merasa ada janji dengan siapa pun. Apalagi, ini masih pagi. Sedangkan Nana segera beranjak dan menuju ruang tamu.

Sosok pria mengenakan kacamata hitam membuat Nana terpana. Pria itu pun terkejut melihat keberadaan si wanita paruh baya. Melepas kacamata hitamnya, Vian segera mengulurkan tangan dan memberi senyum lebar. Sontak saja Nana tersenyum dan menerima jabat tangan pria itu.

"Pagi, Tante. Aku Vian. Serena ada, Tante?"

Nana memiringkan badan hingga tubuhnya tak menghalangi pandangan Serena dari dalam rumah. Melihat Vian berdiri di depan rumahnya pukul delapan pagi, Serena segera berjalan menuju pintu depan. Sedangkan senyum tak sirna dari wajah Vian ketika melihat wanita cantik yang kini hanya memakai pakaian rumahan saja.

"Pak Vian," lirih Serena.

"Oh, mari masuk. Masuk," ajak Nana, mempersilakan Vian masuk. Dia melihat ke arah Serena. "Ada temennya, loh, Ser. Malah diem aja."

"Lagi istirahat? Aku ganggu, nggak?" tanya Vian.

Serena menggeleng cepat.

"Nggak ganggu. Serena bangunnya pagi, kok, walau nggak kerja," ungkap Nana.

Kini Vian sudah masuk rumah dan dipersilakan duduk oleh Serena. Serena sendiri duduk di kursi kayu berhadapan dengan Vian. Sedangkan Nana melihat keduanya bergantian dengan senyum lebar.

"Aku bawa sarapan. Tapi, cuma seporsi. Maaf, Tante, aku kira Serena tinggal sendiri," ucap Vian, pada Nana.

"Serena memang tinggal sendiri. Rumah Tante yang warna biru itu," tutur Nana, menunjuk ke arah pintu keluar.

Nana mengambil tas plastik yang Vian letakkan di atas meja. "Tante ambil, ya. Taruh di piring."

"Mau minum apa, Nak Vian?"

"Oh, nggak. Nggak usah repot-repot," tolak Vian.

"Ah, nggak repot. Cuma air," balas Nana, lalu meninggalkan ruang tamu kecil seraya membawa bungkus plastik itu.

"Sorry, aku dateng nggak bilang dulu. Nggak ngerti nomer kamu juga," ucap Vian, ketika hanya berdua dengan Serena.

"Harusnya nggak usah repot-repot, Pak Vian."

"Panggil nama aja. Kita seumuran, kok," lontar Vian.

"Makasih, Vi."

"Sama-sama. Masih sakit, nggak?"

"Aku cuma nggak enak badan. Bukan sakit yang parah."

"Oke," balas Vian, sambil mengangguk.

Nana datang membawa secangkir kopi. "Silakan, Nak Vian. Kopinya."

"Makasih, Tante," ucap Vian, mengambil cangkir itu. "Tante nggak minum juga?"

"Ah, Tante nggak suka kopi. Ini Serena cuma punya kopi sasetan."

Vian menyesap kopi dua kali lalu meletakkan cangkir itu kembali. Pria itu menatap Serena. "Kalo gitu, aku permisi."

"Loh, kok, buru-buru?"

Vian menatap Nana yang lebih aktif mengajaknya bicara. "Mau ke rumah sakit, Tante. Tadi malem, aku denger Serena sakit. Jadi, aku ke sini barangkali mau ke dokter. Aku anterin sekalian."

"Aku udah baikan," ucap Serena.

Nana tersenyum melihat Serena dan memandang Vian. "Serena kecapekan itu. Padahal Tante udah bilang, jangan diforsir kerjanya. Sehat, kan, buat dia sendiri. Sakit begini, nggak ada yang ngurusin."

"Iya, Tante," balas Vian, tersenyum ramah.

"Kamu ngapain ke rumah sakit?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Serena. Dia hanya berusaha memecah keheningan karena menyadari sejak tadi dirinya banyak diam. Padahal ini rumahnya, Vian datang untuknya dan pria itu membawa buah tangan. Untung saja ada sang bibi di sini. Serena mampu menyembunyikan kecanggungan.

"Aku kerja di sana," jawab Vian, menatap Serena.

"Oh, kirain kamu sakit juga."

Vian terkekeh mendengar ucapan Serena.

"Sebagai apa kerjanya?" tanya Nana.

"Dokter, Tante."

Nana semakin menunjukkan wajah semringah.

Menyadari hal itu, Serena kembali berujar, "Oh, ya, udah. Nanti kamu telat."

Melihat arlojinya, Vian akhirnya beranjak, "Aku permisi. Cepet sembuh, ya, Serena."

"Ya, makasih," tutur Serena, turut berdiri.

Vian menjabat tangan Serena dan berjalan meninggalkan ruang tamu.

"Dokter ... Minggu tetep kerja, ya?" tanya Nana, setelah Vian menjabat tangannya.

"Ah, ya, Tante. Hari ini ada jadwal jaga. Sekalian lewat, sekalian mampir." Vian menatap Serena. "Kalo Serena libur, kan, Minggu gini?"

Serena mengangguk. "Ya, sekarang butik tutup tiap Minggu. Dulu butik buka terus. Liburnya gantian."

Vian mengangguk paham. Setelah berpamitan, pria itu masuk mobilnya. Segera saja Serena masuk rumah dan mengambil cangkir untuk dicuci. Sementara Nana mengikuti wanita itu.

"Kan, baru aja kita omongin. Ini ada calon imam masa depan," gurau Nana.

Serena terkekeh saja. "Nggak, lah, Tante. Dokter dia. Ketinggian."

"Bagus, kok, tinggi, dokter, muda, ganteng," jabar Nana.

"Bukan tinggi badan juga maksudnya," keluh Serena, lalu tertawa bersama sang bibi.

"Kalo masih single, pepet aja terus. Kalo ada istrinya, ya, jangan. Kasian, Ser."

"Iya, Tante," patuh Serena.

"Tante pulang dulu. Dimakan itu, sarapan dari calon pacar."

Serena memberengut lagi membuat Nana tertawa lebih keras. Ketika memeriksa bungkus plastik, tak hanya sarapan pagi yang Vian beri. Ada beberapa roti juga.

"Tante, ini buat Tante. Banyak. Aku nggak abis."

"Jangan, Ser. Vian ngasih buat kamu."

Serena memaksa. "Banyak, Tante. Bagi dua aja."

Tak dapat menolak, Nana akhirnya menerima tiga buah roti dari Serena. Setelah Nana meninggalkan rumahnya, Serena menyantap sarapan dari Vian. Wanita itu tak bodoh. Jika semalam adalah kebetulan, maka kedatangan Vian ke rumahnya pagi ini untuk sekadar memberi makanan, Serena yakini jika pria itu sedang mendekatinya. Meski demikian, Serena tetap berharap ini adalah salah satu kebaikan dari orang asing untuknya tanpa maksud terselubung.

Bersambung~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro