Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1

Langit mulai petang. Vianzo Dewantara mengendarai mobilnya dengan pelan. Mata pria itu cermat mencari-cari butik yang akan dituju.

Begitu ponselnya berdering, Vian menghentikan laju kendaraan di depan salah satu gedung bangunan bercat putih. Pria itu segera menerima panggilan seraya memperhatikan butik di sisi kanannya.

"Halo?"

"Ketemu?"

"Ada, nih. Laksmi. Depan butik temboknya putih ada lampu sisi pintu. Model klasik gitu," jabar Vian.

"Bener. Lo buruan ambil jas lo terus ke sini."

"Iya, sabar." Vian keluar dari mobilnya.

Begitu seseorang di ujung sana memutuskan sambungan telepon, Vian menyimpan ponsel di saku celana. Pria itu berjalan cepat masuk butik. Di dalam, dia disapa salah satu pramuniaga. Segera saja pria yang hanya mengenakan kemeja merah tua dan celana hitam itu menyampaikan tujuannya.

"Mau ambil jas aku. Atas nama Vian. Vianzo."

"Dengan Pak Vian sendiri?"

Vian mengangguk sebagai responnya.

"Sebentar, Pak. Silakan duduk. Saya akan segera kembali," ucap perempuan muda itu.

Beberapa saat Vian menunggu. Dia bahkan mendengar perdebatan kecil, tetapi tak menangkap pembicaraan dua staf butik yang tak jauh darinya. Perempuan muda itu bergegas menemui Vian.

"Maaf, Pak. Ada kesalahan. Jas punya Bapak belum siap?"

Vian segera berdiri dari tempat duduknya. "Belum siap gimana?"

"Maaf sekali, Pak. Besok akan diantarkan langsung ke tempat Bapak."

"Aku butuh hari ini. Sekarang. Kenapa harus besok?"

Perempuan muda itu nampak takut dan sedikit khawatir. "Ini kesalahan kami, Pak. Jas punya Pak Vian tertukar. Kami akan bertanggungjawab. Besok jasnya akan disiapkan."

Vian semakin kalut. "Nggak bisa gitu juga, dong. Aku udah pesen. Temenku yang pesenin."

"Maaf, Pak."

"Terus gimana? Aku mesti pake sekarang, tau. Jangan maaf-maaf terus," keluh Vian.

Pria itu sudah terlambat menghadiri salah satu acara. Seharusnya dia tinggal memakai jas yang saat ini disiapkan oleh butik rekomendasi sahabatnya. Jika Vian kembali ke rumah, jaraknya semakin jauh dari lokasi acara.

Di sisi lain, Serena Lorin mendengar perbincangan salah satu rekannya. Dia mendekati staf butik lain untuk bertanya.

"Lin, Dea kenapa?"

Lina menoleh ke arah Serena dan menunjukkan wajah kesal. "Ngaco banget, tuh, si Dea. Tadi sore, Bu Amara ke sini, bawa pesenan jas mas-mas itu. Dea malah kasih liat jasnya ke pembeli. Ya, dibeli, lah," jelasnya.

Serena memperhatikan Dea dan pelanggan dari jauh. "Terus?"

"Kayaknya itu mas-mas sewot, deh."

"Gue coba ngomong, deh. Kasian Dea masih baru."

"Ah, empat bulan kerja, baru mulu," lontar Lina.

"Empat bulan, ya, baru. Gue di sini sebelas taun." Sambil berjalan meninggalkan rekannya dan menuju area depan.

"Kak Ser, kan, emang fosil," lontar Lina.

Serena mendelik pada Lina. "Lo nggak gue bawain ayam goreng kremes lagi, loh."

Seketika Lina menangkupkan kedua tangan di depan dada, menundukkan kepala, seraya berucap, "Ampun, Suhu."

Mengabaikan Lina, Serena mendekati Dea dan pria yang nampak kesal itu. "Maaf, Pak, untuk keteledoran kami."

Vian melihat pramuniaga lain dan semakin kesal. "Tanggung jawab kalian."

"Baik," sanggup Serena sambil mengangguk sopan.

"Kami punya koleksi lain. Mungkin Pak Vian berkenan liat-liat. Tapi memang harganya lebih mahal," usul Dea.

"Nggak masalah harganya. Yang penting ada ukurannya buat aku."

"Tentu, Pak Vian," balas Serena. "Mari, saya tunjukkan koleksi dari butik kami."

"Dari tadi, kek," gerutu Vian, berjalan ke sisi lain butik.

Serena menatap rekan kerjanya. "Nggak apa-apa, De. Sama gue," ucap Serena serupa bisikan.

"Sorry, Kak. Makasih," balas Dea, hampir menangis.

Hanya ukuran jas yang Serena tanyakan. Namun, Vian menjelaskan bahwa dirinya akan menghadiri resepsi pernikahan salah seorang teman. Dia hanya membutuhkan jas yang sesuai untuk kemeja dan celana yang saat ini pria itu pakai. Serena mengangguk paham.

Setelah mengetahui jenis jas pesanan Vian, Serena mengambil dua potong jas lain yang cocok untuk padu padan busana pria itu malam ini. Dia menunjukkan dua potong jas pada pria itu.

"Kami punya beberapa koleksi. Tapi, mengingat Bapak buru-buru, saya ambil dua model yang saya kira cocok untuk dikenakan malam ini. Jika Bapak berkenan, silakan dicoba."

Vian mengambil salah satu jas. "Aku coba dulu."

Masuk kamar pas, Vian tak menutup pintunya. Dia bahkan meminta Serena berdiri di sana–melihat pria itu memakai jas. Beberapa saat memperhatikan pantulan cermin, Vian meminta jas lain di tangan Serena.

"Tolong," pinta Vian.

Refleks Serena pun membantu pria itu memakai jas kedua. Aroma dari tubuh Vian tertangkap oleh indra penciuman Serena. Dia tak sadar memperhatikan wajah pelanggan butik.

Pria muda itu cukup tampan. Nampak percaya diri dan dia mampu menebak bahwa pria ini berasal dari golongan orang berada. Bisa-bisanya Dea tadi menyinggung masalah harga jas. Tentu saja pria itu tak nyaman.

"Mending yang mana?" tanya Vian.

Suara berat pria itu membuat Serena terpana sesaat. Semakin pria itu merendahkan nada suara, pesonanya kian menggoda. Serena kembali menguasai dirinya.

"Bapak lebih suka yang mana?"

"Yang pertama aja, deh, kayaknya."

Serena tersenyum. "Baik, saya bungkus jasnya."

"Nggak. Aku langsung pake aja," putus Vian.

"Boleh. Saya bantu buatkan notanya, ya."

Serena mohon diri dan Vian menuju kasir setelah memastikan kembali penampilannya. Di kasir, Vian sempat mendengar percakapan dua staf butik.

"Pulang sekarang?"

Serena menjawab, "Iya. Sorry, ya, duluan."

"Nggak apa-apa. Gue yang makasih, udah dibantu, Kak. Lo istirahat, gih. Nanti pingsan."

Begitu melihat pramuniaga yang membantunya tadi keluar butik, Vian bertanya pada kasir.

"Kok, dia pulang duluan? Butiknya belum mau tutup, 'kan?"

"Kami tutup jam delapan, Pak. Staf tadi izin pulang karena nggak enak badan. Saya bisa panggilkan staf lain buat bantu Pak Vian kalo butuh sesuatu."

"Oh, nggak. Makasih."

Setelah menerima nota, segera saja Vian keluar butik. Beberapa meter dari butik, Vian melihat wanita yang tadi melayaninya di butik. Memelankan mobil, dia menurunkan jendela.

"Hei, sorry kepo. Kamu pulang jalan kaki?"

Serena terkejut ketika tiba-tiba mobil pelanggan mendekatinya. Dia juga menyapa dengan nada yang lebih santai. Senyum Serena terukir.

"Eh, Pak Vian. Ini saya mau nyari ojek. Tadi jasnya udah, kan, Pak?" tanya Serena, meski dia dapat melihat jas itu dipakai Vian sekarang.

"Udah. Mau nebeng sekalian?" tawar Vian, seraya menyebutkan arah hotel di mana pesta pernikahan temannya berlangsung.

"Nggak usah, Pak. Terima kasih."

"Aku nggak enak. Kamu mau pulang cepet tapi malah ngelayani aku dulu nyari jas. Aku anter aja, ayo. Tante Laksmi itu temen bunda aku. Nggak usah takut."

Serena spontan tertawa kecil. Memang dirinya tak biasa dan tak akan sembarangan ikut mobil orang. Akan tetapi, kali ini dirinya seolah terhipnotis akan bujukan Vian. Tubuh Serena terasa pegal dan sakit kepalanya semakin menjadi.

Dalam keadaan sakit, Serena memang butuh bantuan seseorang seperti saat ini.

"Ngerepotin."

"Nggak. Aku yang mau. Ayo."

Setelah Serena masuk mobil, Vian bertanya alamat tujuan wanita itu. Dalam perjalanan, Vian tak banyak bicara karena mengetahui sosok di sampingnya sedang tak enak badan. Sedangkan Serena kian susah membuka obrolan karena demam.

"Nama kamu sapa?"

"Serena."

"Bagus banget nama kamu."

"Makasih, Pak Vian." Serena tersenyum kecil.

"Udah lama kerja di butik?"

"Sebelas taun ada, Pak."

"Lama betul. Berarti kenal ...."

Vian tak sempat melanjutkan kalimatnya karena ponsel pria itu berbunyi.

"Sebentar, ya, Ser. Aku ada telepon."

Serena mengangguk sopan. "Silakan, Pak."

"Halo?" sapa Vian.

"Lo di mana? Lama banget ambil jas doang. Jangan bilang, lo nggak jadi dateng."

"Di jalan. Bentar."

"Gue tunggu. Buruan."

"Iya," balas Vian, lantas memutuskan sambungan telepon.

Sedangkan Serena teringat jika Vian sedang terburu-buru. Mengapa pria itu harus mengantarnya lebih dulu? Serena menyangka jika Vian lupa.

"Pak Vian katanya mau pergi. Udah ditungguin, ya?"

"Ya, mau kondangan," jawab Vian, tanpa menoleh.

"Telat, dong, Pak, kalo nganter saya dulu?"

"Biar nanti aku nyampe sana langsung makan."

Meski menahan sakit, Serena tertawa dengan jawaban Vian.

"Depan situ ada tempat makan enak. Kita beli makanan dulu buat kamu bawa pulang, ya?"

Bersambung~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro