2. Kehilangan
Dedaunan jatuh, seiring dengan patahnya harapan satu hati pada satu kabar pilu hari itu.
Meski berat, Sega memaksakedua matanya terbuka. Mengerjap-ngerjap cepat, saat hujan cahaya terlalumenyilaukan bagi pupil matanya yang masih menyesuaikan diri. Begitu berhasilmengatur intensitas cahayanya, yang pertama dilihat Sega adalah sorot kabur limabuah lampu berjajar berdekatan. Dia menutup mata dua detik, lantas mengerjapbeberapa kali.
Sorot lampu yang semula kabur mulai berimpitan, menyatukan diri. Dari lima, menjadi tiga, lantas semua mulai jelas di mata Sega.
Plafon putih yang tidak familier di matanya membuat dia mengernyit, bertanya-tanya. Namun, begitu menurunkan pandangan, sebuah tiang besi yang berdiri canggung di kiri ranjang membuat Sega sadar di mana ia sekarang.
Kepalanya berdenyut nyeri, membawa sensasi pusing menyakitkan. Tidak hanya kepala, sekujur tubuhnya pun terasa sakit, seolah semua tulangnya terlepas dari persendian, sampai seperti mati rasa. Saat akan mengerang, hanya letupan kecil dari suaranya yang keluar. Dan dia sudah terengah kelelahan.
Tempatnya terbaring sekarang, dengan aroma antiseptik yang menusuk, mengingatkan Sega pada apa yang terjadi sebelum dia terbaring menyedihkan di sini. Kelebatan tentang segala jenis makian papa dan mama. Sega yang tak mau mengalah, ikut tersulut emosi. Dan akhirnya, dia terjebak di tempat ini.
Namun, dia selamat. Maka seharusnya—
"Sudah puas kamu?"
Suara dingin bernada tajam itu menyentakkan lamunan Sega. Ia membeliak, menemukan mama yang melemparkan tatapan benci dengan mata sembab. Di belakang mama, ada papa yang terdiam, seperti enggan menatap Sega sedikit pun.
Belum sembuh benar keterkejutan Sega, mama tiba-tiba menerjang ke arahnya. Meraih kerah baju pasien Sega, menariknya sampai sedikit terangkat dari ranjang. Jika merasa pusing dan kepala hampir pecah berserakan, Sega berhasil menyembunyikannya dengan ringisan kecil. Tidak juga berusaha melawan.
"Kamu, anak tidak tahu diri!" Menampar Sega keras, sampai tubuh laki-laki itu sedikit terempas ke kanan. Sega mengurungkan kalimat protesnya saat mendapati mata mama kembali berair, walau masih menyiratkan sorot tajam di sana.
Detik itu juga, Sega lupa pada sensasi remuk-redam yang dirasakan sekujur tubuhnya. Lupa juga emosinya untuk balik memarahi mama. Bahkan, saat mama menarik-narik bajunya dengan brutal, Sega diam tanpa perlawanan. Tidak mengindahkan tubuhnya yang memprotes ingin dilepaskan.
Mamanya, tidak pernah lepas kendali seperti ini sebelumnya.
Mama lanjut meraung dengan ceracauan yang tidak Sega pahami. "Tega kamu sama Mama? Mama salah apa?" Melepaskan cengkeraman dan mulai memukul-mukul dada Sega tanpa ampun. "Kenapa kamu lakuin ini? Kenapa? Kenapa bukan kamu saja?"
Sega masih diam, mencoba mencerna situasi. Mama yang tiba-tiba datang, meraung-raung di depan wajahnya, memukulinya tanpa ampun. Papa tidak mengatakan apa pun, membiarkan mama menganiaya tubuh ringkih Sega.
Mereka kenapa?
Sega hanya belum tahu, badai yang sebenarnya baru akan datang. Badai yang siap membuat perasaannya hancur, porak-poranda tanpa sisa. Menjebaknya pada jurang penyesalan tanpa dasar. Dan semua dimulai—
"Jangan berani-berani," mama menuding Sega tepat di mata, "menunjukkan wajah kamu di pemakaman!"
—sekarang. Detik itu juga, jiwanya ikut melayang. Pada kata terakhir yang mama ucapkan. Pemahamannya mengerti dengan sempurna.
Suara pantulan bola basket,dan dua pasang sepatu berlarian terdengar dari halaman belakang rumah keluargaDirendra. Diiringi embusan sejuk angin sore, dua laki-laki dengan paras serupatengah berebut bola.
"Lo oke?" tanya salah satu, yang mengenakan kaus biru. Saga, namanya, berusaha merebut bola dari lawannya.
Sega mengangguk, sembari mempertahankan bola dari curian Saga. "Udah biasa." Terus memantulkan bola basketnya, lantas melempar tembakan tiga poin ke arah ring yang masuk dengan mulus. "Poin ke-32," bangga Sega, melemparkan bola pada Saga.
Namun, alih-alih memantulkannya untuk menyerang balik, Saga malah mengapit bola oranye itu di ketiak kanan. "Jangan cuma biasa-biasa," omelnya, memelotot sebal pada si yang lebih tua. Laki-laki itu duduk, lantas berbaring terlentang dengan bola di atas perut. Langit sore ini begitu cerah, dan itu membuat Saga kesal. Seolah-olah, semesta pun bersekongkol mengolok dirinya dan Sega.
"Lo tuh kebiasaan apa-apa dipendem sendiri. Ada pikiran apa, nggak pernah mau cerita sebelum dipaksa. Gue gak suka."
Saga bisa mendengar embusan napas Sega di sela matanya menghitung awan yang berarakan. Detik berikutnya, laki-laki berkaus hitam itu sudah duduk meluruskan kaki di sebelah Saga. "Nggak bisa," jawab Sega, mulai memijat kaki kanan. "Lo udah punya masalah se—"
"Gue bukan cenayang, Se, yang bisa tahu gimana perasaan lo tanpa dikasih tahu." Saga tercenung sebentar, kembali mengingat bagaimana cara papa dan mama membanding-bandingkan dirinya dengan Sega. Bagaimana komentar menyakitkan papa dan mama pada laki-laki yang lebih tua empat belas menit darinya itu. "Kalau gue gak lihat sendiri pas papa sama mama ngomelin lo tadi, mungkin selamanya pun gue gak bakal pernah tahu."
Kadang Saga tidak mengerti. Kenapa? Mereka berdua lahir dari rahim yang sama. Sega dan dirinya, tinggal di rumah yang sama. Hidup dengan cara yang sama. Tapi kenapa kedua orang tuanya sampai sebenci itu pada kakak kembarnya?
Bagi Saga, Sega tidak seburuk itu, kok. Kakak kembarnya pun sama berprestasinya dengan dia. Hanya saja, letak bidangnya yang berbeda. Namun, harus seperti itu kah, membuang mentah-mentah pencapaian Sega, padahal saudara kembarnya mengeluarkan usaha yang sama kerasnya dengan dia.
Konsep membanggakan bagi kedua orang tuanya hanya terbata pada akademis. Di luar itu, prestasi apa pun tidak akan ada gunanya.
Sedikit apresisi saja, sesulit itu?
Terdengar kekehan menggelikan dari bibir Sega, sebelum laki-laki itu mengibaskan tangan di depan wajah. "Gak usah alay. Gue gak apa-apa, ini."
"Apa-apa!" Saga menyanggah cepat, keras, dan tidak ingin dibantah. Hampir saja dia melempar bola pada Sega, saking gemasnya. Menoleh sengit ke arah kakak kembarnya. "Belum aja gue nemu lo kolaps nanti gara-gara stres. Bisa-bisa gue yang mati muda."
Tanpa aba-aba, Sega memukul bibir yang lebih muda keras-keras. "Mulut lo, tuh, yang kudu dijahit."
"Anjir, panas!" umpat Saga, balas melemparkan bola yang ditangkap Sega tanpa kesulitan.
"Serius, deh, Se. Jangan buat gue makin gak berguna." Saga menerawang jauh. "Paling gak, gue mau lo nyaman di rumah. Walaupun cuma pas lagi sama gue."
Sega memberi senyum lebar yang menurut Saga menjemukan. "Gue serius. Masih bisa ditahan." Menepuk bahu Saga sekali, lantas berdiri. "Gue bakal cerita, kalau memang kenapa-kenapa."
"Gak pake nendang, Pinter!" sungut Saga, jengkel karena kakinya ditendang sebelum Sega melangkah menjauh. Tatapannya menghunus kesal pada punggung kakaknya. "Ke mana?"
"Udah sore!" balas Sega, melambaikan tangan. "Nanti singa betinanya marah kalau telat."
Jawaban Sega disambut senyuman miring oleh Saga, sebelum laki-laki itu mengikuti Sang Kakak memasuki rumah.
Seperti ini saja terus, selamanya. Sega dengan punggung tegap itu, tetap berdiri setegap sekarang. Permintaan Saga ini ... tidak berlebihan, kan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro