15. Sudut Pandang
Manusia itu fluktuatif, berubah-ubah. Namun, manusia pula yang gemar memberi label pada satu sama lain, buta pada perjuangan yang lain.
Jam menunjukkan pukul 08.27 pagi saat Sega berhasil menginjakkan kakinya memasuki gerbang sekolah. Helaan napas panjang terdengar begitu sadar dirinya tidak terlambat hari ini.
Andai si pemuda September berangkat lima menit lebih lama, sudah bisa dipastikan dia akan terlambat yang artinya, ruang BK siap menunggu pada jam istirahat nanti.
Kedua kaki jenjangnya melangkah gontai menuju kelas yang beruntungnya ada di lantai dasar, tepat di sebelah ruang guru. Sehingga, Sega tidak butuh banyak waktu berjalan untuk dirinya sampai ke ruang kelas.
Hanya saja, ada masalah.
Batok kepala Sega serasa dipukul keras-keras, meninggalkan pening yang menyiksa di antara matanya. Sakit dan pandangannya sedikit kabur. Sega perlu menumpukan tangan pada tiang-tiang lobi agar badannya tidak oleng dan terjerembab di atas lantai dingin.
Untuk berjalan dari gerbang depan sampai ke kelasnya saja, si pemuda sudah terengah berat dengan keringat dingin bercucuran. Padahal, dia sudah biasa berlarian mengelilingi sekolah. Tapi hari ini, untuk jarak sedekat itu saja Sega sudah nyaris merasa kesadarannya disedot habis dan pingsan.
Sudah satu minggu ini, Sega tidak memiliki jam tidur yang ideal. Menutup mata saat adzan Subuh berkumandang, dan sudah harus bangun satu setengah jam setelahnya.
Mungkin karena itu, badan si pemuda Virgo meneriakkan protes, meminta istirahat yang lebih layak pada si pemilik kuasa. Namun, tidur adalah kemewahan yang tidak bisa Sega harapkan sekarang. Terlalu banyak tanggung jawab yang harus dia kerjakan daripada membiarkan diri menikmati kelembutan kasur dan hangatnya selimut di balik kamarnya.
Sampai di depan pintu kelas, badan Sega nyaris limbung saat tiba-tiba kehilangan pegangan. Dito sengaja menabraknya bercanda, hanya kebiasaan mereka setiap berpapasan tanpa sengaja.
"Anjing, Se, lo kenapa gak bilang kalau sakit!" seru Dito langsung, saat sadar nyaris membuat Sega mencium lantai keramik kelasnya.
Tanpa diminta, laki-laki dengan nama lengkap Radityo Fenzi itu membantu menopang badan Sega, dan menuntun temannya ke bangku.
"Lo kalau sakit kenapa masuk, sih?" tanya Dito, terdengar sedikit kewalahan karena tiba-tiba mendapat beban berat di lengannya.
"Berisik!" sergah Sega dengan suara lemah dan serak, tapi tetap menerima bantuan Dito. Sadar dia sudah tidak kuat menopang badannya sendiri.
Dito mendudukkan Sega pelan-pelan di kursinya, menatap miris kondisi temannya yang tidak jauh berbeda dengan mayat hidup.
"Ke UKS aja, Se, gue anter. Nanti gue izinin sekalian, lo sakit gini."
Mendengar kekhawatiran dari suara Dito, Sega jadi tertawa kecil. Ternyata, mendapat perhatian sesederhana ini saja sudah terasa menyenangkan, ya. Sega jadi terdengar seperti lelaki haus perhatian, tapi dia serius.
"Gue gak apa-apa, masih kuat."
Dito mendesah pasrah, mengangguk mengerti. "Gue udah minta Leva beliin lo makan sama susu anget, belum sarapan kan lo?"
Lagi, senyum tipis terpatri di bibir Sega. Kapan ya terakhir dia makan? Sepertinya kemarin siang, itu pun hanya mie ayam dari kantin.
Memang, si bodoh ini suka sekali membuat sakit badan sendiri. Nasib baik Dito berinisiatif, jika tidak, mungkin Sega tidak sadar dirinya memang sangat kelaparan sekarang.
"Lo kalau mau belajar macam setan tuh gak masalah, Se. Tapi kesehatan lo dipikirin juga." Dan Sega memilih menelungkulkan kepala di atas meja.
Gak bisa, Dit. Pikiran gue sekarang cuma belajar belajar belajar, biar nilai gue gak bikin papa mama kecewa.
Rangkaian kata yang hanya bisa Sega suarakan dalam diam, sebelum kantuk membawa mata si lelaki sepenuhnya terpejam.
Tidur sedikit banyak membantu Sega kembali mendapatkan fokus. Meski sakit kepalanya masih ada, setidaknya sudah sedikit berkurang setelah dipaksa memakan satu porsi soto ayam dan susu hangat. Rona wajahnya belum kembali, tapi si lelaki meyakinkan dirinya sudah jauh lebih baik sekarang.
Yang aneh adalah, sedari tadi Dito jadi menempeli Sega macam lalat bertemu makanan basi. Temannya itu selalu mencari-cari cara agar bisa berada di sisi Sega.
"Apaan, sih?" sungut Sega dengan suara kecil, karena Dito kembali merusuh di bangkunya. "Lo balik aja deh, gue makin pusing lihat lo berantem sama Leva."
Sega tidak mengada-ngada saat mengatakan Dito jadi suka menempeli Sega. Sampai laki-laki sinting itu beradu mulut dengan Leva—yang menjadi penghuni sah kursi di sebelah Sega—dan memaksa duduk di sisi Sega.
"Gantian kali, Lev. Gue juga mau duduk bareng Sega," yang langsung dihadiahi tendangan tidak terima.
"Udah-udah sana lo, ganggu Sega aja. Sakit temen lo tuh, jangan malah digangguin!" Leva ikut bersungut-sungut.
Protes Dito tidak berlangsung lama karena guru mata pelajaran selanjutnya sudah memasuki kelas. Memaksa Dito, mau tidak mau kembali ke bangkunya sendiri.
Sega baru bisa bernapas sedikit saat gurunya baru memasuki kelas. Dia tidak akan banyak menaruh perhatian pada kelas, sebenarnya. Hanya, perkataan beliau di depan kelas sukses menarik seluruh atensi Sega.
"Saya sudah selesai menilai lembar kerja kalian." Dan entah kenapa, Sega merasa guru di depan sempat melempar tatapan ke arahnya. "Hasilnya cukup mengejutkan untuk saya."
Pada detik yang sama Bu Fira menutup kalimatnya, Sega kembali merasa kepalanya dihantam palu godam keras-keras. Namun si pemuda berusaha menahan pening dan memaksa mendengarkan perkataan Bu Fira lebih lanjut.
"Sega," kata Bu Fira di antara pusing dan sakit yang mendera kepala Sega, "selamat nilai kamu paling bagus kali ini. Saya senang ada kemajuan pesat dari kamu."
Desahan napas lega lolos begitu saja dari bibir Sega. Padahal bebannya terlepas satu, tapi pening memaksa Sega menelungkupkan kepala di atas meja.
"Selanjutnya Dilla, selamat, nilai kamu hanya berbeda 3 poin dari milik Sega."
Pikir Sega, pembicaraan tentang nilai sudah berakhir begitu saja sampai sana. Namun, dia masih bisa mendengar suara Bu Fira dengan jelas, di tengah sakit yang dia tahan-tahan.
"Dilla mungkin bisa diperiksa ulang pensilnya, sudah benar 2B kan? Bulatin jawabannya juga dicek ulang, mungkin ada yang kurang penuh. Saya rasa nilai kamu nggak maksimal karena pensil atau cara jawabnya kurang pas."
Sega tertawa sekarang, memaksa kepalanya terangkat meski pening semakin mendera tanpa ampun. Begitu, ya. Bahkan di mata gurunya pun, Sega masih diremehkan seperti sekarang.
Memangnya kenapa dia mendapat nilai paling bagus sekarang? Apa seorang seperti Sega tidak pantas? Apa murid seperti dirinya tidak layak memperbaiki nilainya?
Bukankah Bu Fira menyiratkan pada Sega barusan? Dia tidak layak, atau nilainya kali ini hanya sebuah kesalahan dan dia tidak berhak. Hanya mereka yang pintar saja yang layak menduduki tempat teratas di kelas ini. Bukan orang seperti Sega.
"Se, lo mimisan!" pekik Leva memutus monolog tidak jelas di kepala Sega.
Diusapnya darah yang mengalir dari hidung itu sekali, lantas dia tatap lamat-lamat. Ah, bahkan sampai dia menjadi seperti ini pun, orang-orang masih enggan menerima.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro