B A B 1 0
--VERSUCHEN MALOVE--
[ B A B 1 0]
by: MeAtWonderland ft. rebel_hurt
STRATEGI.03
Lembut Dalam Tingkah Laku Dan Tutur Kata
Jika ada yang bilang masa koas adalah masa terberat untuk menjadi seorang dokter, maka opini itu salah besar.
Semua tergantung bagaimana pribadi individu itu sendiri.
Nyali langsung ciut akibat dicaci-maki karena tidak becus bekerja adalah suatu hal biasa.
Pertanyaannya: bagaimana berubah menjadi individu yang lebih cerdas dari sebelumnya?
Dan jawabannya adalah belajar.
Kenapa? Karena dengan belajar, seseorang bisa sampai melampaui batasan-batasan pemikirannya. Dan darisanalah pula penemuan-penemuan jenius tercipta.
Tentu hal ini tidak semudah kenyataannya.
Dibutuhkan komitmen dan konsentrasi tinggi untuk tetap fokus disaat suasana genting, seberapun berat tantangannya.
Itu yang gue barusan dengar lewat voicemail dari Dokter Vena, yang dia kirim ke grup obrolan.
"Pagi-pagi sudah dimotivasi sama beginian. Hati senang, otak pun adem," Penyegaran yang sangat dibutuhkan.
Omong-omong soal Dokter Vena, gue sampe sekarang masih nggak nyangka dia bisa nyanyi dengan suara seindah dan selembut itu. Raisa bisa lewat lawan dia. Dan sekarang dia sibuk berputar-putar di kepala gue. Dasar!
Lamunan gue terhenti ketika sebuah tangan menyentuh bahu gue, "Yud! Lo denger nggak sih apa yang gue omongin barusan?" Ternyata Rena. Dia duduk di samping gue dengan ekspresi tidak sukanya; kedua alis tertaut, mata yang menatap tajam, dan bibir yang mengerucut. Gue yang sedari tadi melamun sontak menyadari betapa lucunya dia. No!
"Hah? A-apa Ren?" jawab gue spontan.
"Ih Yud nyebelin deh lo!" gumam Rena yang masih terdengar jelas, dia kemudian bersedekap sambil sengaja mendudukkan diri di kursi yang agak jauh dari gue. "Bodo. Gue ngambek." katanya.
"Yah jangan gitu dong, Ren!" Gue mendekati Rena, kemudian memgoyang-goyangkan lengannya, "masa lo marah sama gue gara-gara hal sepele. Lo mau kemanain persahabatan kita selama ini?" sambung gue lagi, biar makin dramatis. Gue takut Rena marah dan ngambek. Kalau udah begitu, bisa-bisa dia dan gue nggak bertegur sapa sampai berbulan-bulan. Lagipula perempuan kan suka yang dramatis-dramatis. Itu yang gue pelajari dari anak tante kos gue.
"GUE BUANG KE LAUT!" pekik Rena, melepaskan dirinya dari tangan gue dan berlari, "Bwee.., Yudha oon!" katanya lagi sambil menjulurkan lidahnya. Lagi! Gue kembali menyadari betapa manis tingkahnya. Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat ke atas.
Tidak lama setelah kepergian Rena, Dokter Vena menghubungi gue melalui pesan singkat. Katanya dia mau gue menemui Dokter Aditya secepatnya. Gue pun mengiyakan perintah dari Dokter Vena tersebut dan pergi menuju ke ruangan Dokter Aditya.
Di tengah jalan menuju ruangan Dokter Aditya, gue disambut percekcokan kecil antara Si bule, Steve dan seorang wanita paruh baya. Dilihat dari situasinya, percekcokan itu bisa menjadi besar bila tidak segera dilerai. Mereka ngotot dengan argumen mereka masing-masing. Gue putuskan untuk menghampiri Steve dan menenangkannya.
"Steve apa-apaan sih? Kok lo gak sohpan sama hibu ithu?" gumam gue pelan di samping telinganya. Bodoh amat kalo Steve rada-rada keluar radar dalam mencerna bahasa gahol gue. Setidaknya dia paham inti dari ocehan gue.
"Ibu ini nekad banget mau masuk ke ruang Dokter Aditya, padahal saya sudah bilang kalau beliau sedang ada seminar di luar." Lah? Seminar? Kok gue nggak tau? Kok nggak ada yang kasih tahu?
"Serius?" Steve mengangguk.
"Kamu pasti cuman nipu saya! Kamu tahu? Gak begini caranya memperlakukan saya! Seenaknya kamu!" Ibunya baper gara-gara Steve.
"Maaf, ibu jangan salah paham dulu. Mari kita bicarakan baik-baik." Steve menelan napas kesal sementara gue menggiring beliau ke area tunggu. Steve kemudian meninggalkan kami.
"Saya pokoknya mau ketemu Dokter Aditya!" ngotot si ibu.
Gue menoleh ke Steve, dari gestur mukanya dia tampak sangat kesal terhadap perilaku si ibu.
Gue kembali konsen ke si ibu, "Saya tahu keperluan ibu pasti penting banget. Tapi saat ini beliau memang sedang tidak ada di ruang kerjanya. Seperti kata temen saya yang ganteng itu, beliau saat ini sedang dalam kegiatan di luar rumah sakit."
"Tapi kalau saya boleh tahu, ada keperluan apa ya bu?" tanya gue ke si ibu.
"Saya ibunya. Kebetulan dia lupa kasih jatah bulanan saya. Kan saya mau shopping! Saya hubungin juga nggak bisa, jadi yah saya samperin kesini. Jadi, dia beneran gak ada ya? Kamu gak lagi bohong sama saya kan?"
"I have no words, Ma'am," kata gue akhirnya.
- V e r s u c h e n M a l o v e-
Setelah selesai meladeni Dokter Aditya, gue menemui Rena saat jam makan siang. Wanita itu tengah sibuk mengurus file- file yang diperintahkan seorang Dokter---gue juga nggak tau siapa, tapi yang pasti itu cukup membuatnya sibuk setengah mati.
Gue mendekatinya dan coba ikut membantu. By the way, ruang berkas rumah sakit ini tampak sangat suram dan gelap---penerangannya dipasang lampu bercahaya remang-remang, cukup ada hawa horrornya. Gue sebagai cowok berani-berani aja. Nggak tau deh, Rena terlihat santai-santai begitu bearti dia memang cewek pemberani.
Iyalah, namanya dokter.
Harus punya karakter berani.
"Ren, lo ngapain sih?" kata gue sambil ikut menyusun file-file yang sengaja Rena berantakin karena kesulitan menemukan file yang dia cari. Gue kemudian memasukkannya sesuai tahunnya ke dalam lemari yang disediakan, Rena melirik ke arah gue dengan tangan yang tetap sibuk dengan file-file di lemari tahun sembilan puluhan, "Astaga lo ngeliat gue gitu amat, Ren. Gue bantuin lo ini," sambung gue, tidak terima dilirik Rena dengan mata yang terlihat menyerigai.
"Huh, Iya-iya. Gue cuman kaget aja. Makasih ya," kata Rena, kemudian menghela napasnya panjang.
Gue menjawab dengan hanya mengangguk-anggukan kepala gue, tanda gue mengiyakan kata-kata Rena. Tidak lama---bahkan tidak sampai lima menit, setelah itu, file yang Rena cari berhasil ditemukan. Dia berteriak kegirangan, seolah-olah sudah menemukan kupon lotere yang pasti akan memenangkan undian, "Yeay, akhirnya ketemu!" pekiknya, mengema ke seluruh sela ruangan, bahkan sampai ke luar.
Gue mengeleng-geleng sambil menutup telinga gue yang merasa pekak---gendang telinga gue perlahan bisa bocor jika terus mendengarkan teriakan cempreng dari Rena, "Astaga, mbak. Berasa toa' itu mulutnya. Gede banget volumenya." komplain gue ke Rena. Namun orang yang disindir oleh gue itu justru malah memeletkan lidahnya---mengejek balik gue,
"Biarin, bwee...," teriaknya, lagi.
Rena kemudian membenahkan dirinya dan merapikan nametag yang terlihat miring---entahlah, menurut gue sih gak miring-miring amat dan penampilan dia juga normal-normal aja, tapi buat seorang wanita macam Rena, itu udah amburadul banget. Gue mendengus pelan melihat penampilan gue yang bahkan bisa dibilang amburadul banget---bahkan sekarang ada berkas-berkas debu yang menempel di jas gue, akibat ruangan ini yang juga berdebu banget. Gue mungkin penampilannya gembel banget di depan wanita semacam Rena.
Selesai berbenah, dan melempar file yang menurutnya tidak penting---padahal gue udah baik banget mau bantuin dia membereskan map-map yang bertebaran, eh dia seenaknya ngelempar itu semua ke sembarang arah. "Oke, Yud. Tolong diberesin ya! Gue mau ke ruangan...," kata-katanya terhenti ketika tiba-tiba saja keseimbangan tubuhnya menjadi ambruk karena tidak sengaja menginjak file yang covernya licin. Dan seakan slow motion, gue langsung berdiri, meneriaki namanya, dan berakhir dengan Rena yang kini berada di dekapan gue---rasanya refleks aja untuk mencoba menyelamatkan Rena. Gue takut banget dia jatuh dan kenapa-kenapa.
Sayangnya niat baik gue itu terasa sia-sia karena ekspresi tidak sukanya Rena yang tiba-tiba tertuju ke gue, dan tambahannya, pipinya juga ikut bersemu merah saking meletup-letupnya emosinya dia. Sontak gue melepaskan gengaman gue dan tidak sengaja menjatuhkan tubuh mungil tapi berisi macam Rena, "Awww!!" pekik Rena, mengelus-ngelus bokongnya yang lebih dulu terjatuh menimpa lantai. Kemudian dia berdiri dan mencubiti gue habis-habisan sebagai hukuman karena telah menghempaskan tubuhnya secara tiba-tiba.
Gue pun mencoba meminta pengampunan, "Lo kenapa ngelepasin gue dari pelukan lo?!" pekik Rena keras-keras, tanpa sadar sudut mata gue menangkap sosok yang gue kenal. Dokter Vena. Gue berusaha memberhentikan gerakan tangannya yang terlalu banget ngecubitin gue. Alhasil kami malah seperti pasutri yang kebelet pengen ciuman setelah berpisah lama. Tanpa sadar, gue mengunci gerak tangan Rena dengan agresif banget sampai kami melimpir ke tembok dan tentu saja tangan gue mengenggam tangannya dengan jarak pandang yang cukup intens. Bibir kami hampir saling mencumbu.
"Apa itu file yang saya suruh cari?" Gue tersentak kaget dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Dokter yang ternyata adalah Dokter Vena. Gue melirik Dokter Vena dan Rena dengan pandangan harap-harap cemas. Gue baru sadar kalau jarak gue dan Rena ternyata bisa sedekat yang gue jelasin tadi, dan gue beneran nggak nyangka. Sekarang yang ada di pikiran gue adalah apa yang sekarang terlintas di pikiran Dokter Vena. Gue takut Dokter Vena salah sangka dan berpikir yang macam-macam tentang gue dan Rena. Gue takut dia berpaling dari gue. Apa yang harus gue lakukan Tuhan?
Sekarang gue bener-bener udah nggak punya muka lagi di depan Dokter Vena. Gue mau taruh muka gue dimana coba?
"I-iya, Dok." gumam Rena sambil melepaskan tubuhnya dari gue. Dia kemudian menyerahkan berkasnya dan Dokter Vena pun kemudian meneliti setiap isi dari file itu terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pergi tanpa mengomentari aksi dokter koas yang enggak ada sopan-sopannya macam gue dan entahlah, Rena mungkin.
"Oke. Terima kasih ya. Lain kali jangan lama-lama kamu kalau saya suruh," kata Dokter Vena, yang dibalas anggukan oleh Rena.
Dan tanpa disuruh, "Ma-maaf." gumam gue juga yang tentunya bisa terdengar jelas oleh Dokter Vena. Dia berhenti dari jalannya dan menoleh ke arah gue. Gue pikir dia akan berlalu begitu aja tanpa mau denger apapun dari gue, otomatis gue menarik napas lega karena aksi Dokter Vena yang mau berhenti untuk gue.
Di luar dugaan gue juga, dia mengulum senyum dan berkata, "Kamu punya rasa empati yang bagus juga ternyata. Jika saya jadi kamu, saya akan biarkan dokter muda itu terjatuh dan menertawainya." Dokter Vena berhenti sejenak, "Jadi untuk apa kamu minta maaf ke saya?" sambungnya sambil geleng-geleng kepala sendiri.
Dokter Vena kemudian pergi meninggalkan gue dan Rena tanpa sepatah kata-kata lagi.
Sumpah gue nggak bisa berkata-kata. Gue sama sekali nggak ngerti jalan pikiran cewek. Aneh.
🌸
Kena tag:
Cathetel MosaicRile matchaholic stnurlaila Cleviya Choco_latte2 MykaFadia_ blueincarnation cupchocochip Ray_Hush unemiraille rahmimth Jou-chan AlfiNurhasanah Salviniamei @Hldrsd
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro